Tulisan seorang sahabat saya bung Adhi Purwono (seorang praktisi kompatiologi) :
Serial Tulisan Kitab Masuk Angin KMA : Berkomunikasi empati lagi dengan realitas Realitas yang saya maksudkan dalam tulisan ini adalah realitas tunggal. Artinya tidak ada yang disebut sebagai non-realitas. Realitas yang dimaksud adalah keseluruhan dimensi realitas yang kita alami seperti realitas mimpi, realitas khayalan, realitas maya, realitas gaib, dsb. Intinya, apapun yang kita alami kita sebut sebagai realitas. Tentu saja terdapat realitas yang tidak kita alami. Namun jelaslah jika ada yang bisa kita alami itu pastilah suatu realitas. Tidak mungkin kita mengalami hal yang non-realitas. Karena akan menjadi kontradiksi, atau malah paradoks? Jadi dengan demikian tidak ada pemisahan antara diri kita dengan realitas. Karena diri kita dengan realitas adalah sama-sama disebut realitas. Non-realitas hanyalah penyebutan yang merupakan ilusi untuk menutupi atau menyangkal suatu realitas. Jadi, kita tidak mungkin melarikan diri dari realitas! Karena apa? Karena semua adalah realitas! Semua tercakup menjadi realitas tunggal. Ketercakupan inilah yang memberikan alasan, semua usaha untuk menyadari realitas adalah sia-sia belaka! Mengapa kita berusaha untuk menyadari realitas sedangkan realitas selalu mencakup diri kita sendiri? Bisakah diri kita memisahkan diri sehingga dapat menyadari realitas yang mencakup dirinya tersebut? Mungkinkah tanpa memisahkan diri kita tetap dapat menyadari/mengamati realitas diri kita? Sedangkan kegiatan mengamati/menyadari membutuhkan entitas diri yang terpisah sebagai PELAKU pengamat atau yang menyadari? Tanpa pelaku tentu tidak sanggup mengetahui/membaca hasil dari pengamatan/penyadaran. Karena siapakah nanti yang mengetahui/membaca hasil dari pengamatan/penyadaran selain oleh si pelaku yang muncul dari pemisahan yang mengamati dengan yang diamati? Seiring kata, praktis dibutuhkan sang pelaku untuk dapat melakukan pengamatan/penyadaran. Munculnya sang pelaku inilah yang menjadi kesulitan dalam kegiatan menyadari/mengamati realitas, karena otomatis sang pelaku luput dari fokus pengamatan. Padahal sang pelaku adalah suatu entitas realitas pula yang seharusnya tidak luput tercakup dalam fokus pengamatan. Namun sekali lagi bagaimana bisa kita mengamati sang pelaku? Ini mirip analoginya seperti sebilah pisau yang mencoba mengiris dirinya dengan dirinya sendiri. Lalu, jika kita tidak dapat berusaha menyadari realitas, apakah ketidaksadaran itu sendiri? Menurut saya, ketidaksadaran dalam hal menyadari realitas berada pada kepercayaan (belief) bahwa dunia ini adalah ilusif. Jadi, karena memang realitas itu tidak dapat diamati/disadari seutuhnya, maka banyak orang yang karena penasarannya dengan misteri kehidupan/realitas berangkat dari asumsi bahwa dunia ini adalah ilusi, dengan harapan dapat menemukan dunia yang merupakan realitas sesungguhnya. Namun ironisnya yang ditemukan oleh mereka akhirnya hanyalah ilusif mereka sendiri pula. Membagi- bagi realitas tunggal menjadi pecahan-pecahan parsial (misalnya dalam melatih konsentrasi atau dalam mengamati nafas) dan menyebutnya pecahan parsial itu sebagai realitas tunggal adalah pemahaman yang ilusif adanya. Dalam pemahaman seperti itu selalu ada yang tertinggal untuk disadari atau dipahami, yaitu dirinya sendiri sebagai PELAKU pengamatan yang sesungguhnya tercakup pula dalam realitas tunggal. Akhirnya hanya menyebabkan sang pelaku merasa terasing dari pengamatannya/penyadarannya sendiri. Begitu pula sebaliknya dengan usaha menemukan diri. Sia-sialah berusaha menemukan diri kita sendiri. Karena apa? Karena diri kita sebenarnya melebur menjadi satu dalam realitas tunggal. Dan dengan berusaha memisahkan entitas diri kita dari keberagaman entitas realitas yang lain untuk menemukan diri kita, sama-saja analoginya dengan berusaha memisahkan setitik air dari samudra untuk menemukan air. Sia-sia belaka bukan? Tidaklah salah kalau mengatakan, "kompie ini adalah aku" atau "batu itu termasuk diriku" atau "diri si Fulan adalah diriku juga" atau "wah diriku ternyata berantakan, terlihat dari kamarku yang seperti kapal pecah", dsb. Karena memang karakteristik diri kita merupakan kumpulan data/memori dan karma (sebab-akibat). Mengapa misalnya kita memilih yang ini bukannya memilih yang itu? Itu karena karma dan data/memori kitalah yang mendorong diri kita sepertinya mempunyai karakter khas tertentu dalam tindakan-pilihan kita. Apa yang kita sebut sebagai ego, tidak lain hanyalah karakter diri yang mewujud. Atau dengan kata lain ego adalah ikatan kita saat ini terhadap data/memori dan karma tertentu. Atau istilah populernya, ego adalah ikatan dengan pola pikir/paradigma tertentu. Ikatan ini terbentuk karena kita MEMANG sengaja mengikatkan diri baik disadari maupun tidak disadari. Bagi yang menyadari ikatan ini, akan menganggapnya sebagai pilihan-pilihan dalam bermain. Dan bagi yang belum menyadari ikatannya, akan menganggap setiap pilihan adalah tugas/kerja keras yang harus dihadapi. Yang mana kedua-duanya juga menyadari bahwa ada suatu takdir/karma sekaligus pilihan bebas (free will) yang terasa berayun membentuk suatu paradoks dalam siklus kehidupan masing-masingnya. Ada jebakan berikutnya. Yaitu dalam hal berusaha melepaskan ide/konsep/kepercayaan/paradigma/pola pikir karena mengira dengan melepaskan hal-hal tersebut maka diri kita bersentuhan dengan realitas sesungguhnya (realitas tunggal). Padahal sesungguhnya usaha melepaskan sesuatu itu tidak mempunyai relevansi apa-apa dalam bersentuhan dengan realitas tunggal. Jika kita sedang melepas sesuatu, ya kita berarti sedang melakukan suatu perlawanan untuk melepaskan hal itu. Dan hal itu akan cukup menguras energi diri kita karena aksi dan reaksi dari usaha melepaskan itu sendiri yang sedang kita lakukan. Dan bilapun akhirnya kita bisa terlepas dari sesuatu itu (misalnya konsep tertentu), yah kita hanyalah mendapatkan diri kita terlepas dari sesuatu. Dan apa hubungannya dengan realitas??? Kita melepaskan, yah hasilnya terlepaskan! So what? Apakah dengan terlepaskan dari sesuatu itu dan kemudian kita menganggap mulai bisa menyentuh realitas berarti kita memang telah sanggup menyentuh realitas tunggal? Jawabannya, kesanggupan kita menyentuh realitas tunggal tidak ada hubungan sama-sekali dengan kesanggupan kita melepaskan sesuatu itu. Alih-alih kita malah menganggap sesuatu yang telah kita lepaskan itu kita anggap sebagai sesuatu yang ilusif. Sebagai contoh, ketika kita berusaha melepaskan keyakinan agama kita karena menganggap keyakinan agama tersebut dapat menghalangi kita menyentuh realitas. Kemudian setelah keyakinan agama itu benar-benar terlepas, apakah berarti realitas yang kita temukan SETELAH keyakinan agama kita telah dilepaskan tidak mencakup atas keyakinan agama itu sendiri? Yang artinya kita telah menganggap keyakinan agama kita BUKAN sebagai realitas sesungguhnya (realitas tunggal)? Jadi mana yang ilusif sekarang? Keyakinan agama yang telah kita lepaskan atau realitas yang kita temukan setelah melepaskan keyakinan agama? Sederhananya, realitas tunggal mencakup kedua-duanya sekaligus. Jadi tidak ada yang perlu dilepaskan, sekaligus perlu juga melepaskan sesuatu agar dapat menyadari sesuatu tersebut ternyata tidak perlu dilepaskan. Jika menyadari realitas, menemukan diri atau melepas sesuatu adalah usaha yang sia-sia, lalu apa yang tersisa? Nah, paradigma `yang tersisa' ini juga masihlah ilusif pula, juga termasuk tulisan ini yang mengatakan hal-hal diatas adalah ilusif. Membagi-bagi atau menyatu-nyatukan masihlah ilusif karena masih berupa pengkonsep- konsepan dan pemisah-misahan. Pengilusifan seperti yang diklaim oleh tulisan ini jugalah masih ilusif! Jadi logika dari realita tunggal adalah berlogika dan tanpa logika sekaligus! Sesungguhnya setiap manusia TELAH PASTI hidup dalam realita tunggal, namun PEMAHAMANNYA tidak mungkin menyadari realita tunggal. Realita tunggal TIDAK DAPAT BERUSAHA DISADARI. Realita tunggal HANYA DAPAT DIALAMI. Itulah maksudnya mengapa kita hidup saat ini. Yah untuk mengalami realita tunggal sekaligus mempunyai fokus dan lokusnya masing-masing yang memang sepertinya terlihat terpecah-pecah namun sesungguhnya saling berkelidan dan mengait satu sama-lain dengan begitu mesranya seperti sup kuantum kental. Lalu apakah kematian itu sendiri? Kematian adalah saatnya menjadi fokus yang lain. Menerima dalam penerimaan dan penolakan diri adalah jalan termudah dalam melihat dan membaca data/memori dan karma. Tak ada yang perlu disangkal juga sepertinya jalan yang termudah pula. Namun sesungguhnya pula, sangkalan, jugalah suatu pilihan bebas yang tak ada hubungannya dengan empatik. Empatik di sini diartikan sebagai kegiatan `membaca' memori/data dan karma. Dan komunikasi diartikan sebagai hubungan timbal-balik. Kita sesungguhnya selalu melakukan komunikasi empatik terhadap siapa saja dan terhadap apa saja. Empati terhadap buku, batu, kompie, telor, dsb. Empati terhadap si Fulan, si Udin, si Oon, dsb. Komunikasi juga berlangsung terus sepanjang hayat. Permasalahannya (kalau mau dibilang sebagai masalah) adalah kita sering menyangkal (kalau menyangkal kita anggap ternyata bukan pilihan bebas kita) informasi yang masuk, terutama informasi yang bersifat empatik yaitu informasi dari data/memori dan karma. Ditilik dari sifatnya, informasi yang bersifat empatik sebenarnya sangat mudah untuk dibaca/diketahui karena informasi ini langsung terasa secara fisik, tidak berupa model enkripsi seperti yang terdapat pada simbol bahasa. Contoh : `Tahu sama tahu' adalah budaya modern yang sering menggunakan informasi empatik. Begitu juga dengan `rahasia umum' atau `kemunafikan' atau `topeng-menopeng' bahkan dalam budaya jawa unggah-ungguh atau dalam sopan-santunpun sebenarnya melatih kita untuk mendapatkan informasi empatik (non verbal) dari pergaulan sosial seperti itu. Hanya saja informasi empatik yang kita dapatkan seringkali KITA DORONG KE BAWAH SADAR! Mengapakah? Karena alasan utamanya adalah kita hidup di dunia empiris atau dunia pembuktian atau dunia pengakuan! Bisa disebut juga dunia logika dan pemikiran linier. Kita terobsesi dengan segala sesuatu yang termaterialisasi. Terutama sekali adalah materialisasi pemikiran. Pikiran dianggap sebagai materi yang patut dipertahankan atau dilindungi. Sehingga banyak sekali dari diri kita yang menjadi terikat dengan pikiran atau konsep. Konsep-konsep yang termaterialisasi inilah yang terus-menerus menghujam diri kita melalui kebudayaan modern sehingga sebenarnya telah mengambil alih tugas yang seyogyanya dilakukan oleh intuisi atau perasaan (yang mana merupakan antena penerima langsung informasi empatik), malah dikuasai hampir 100 persen oleh pikiran atau konsep terutama pada bidang-bidang yang penting. Bila suatu informasi empatik masuk, bakal hanya dianggap perasaan yang tidak dapat dimaterialisasikan dan tidak intelektuil. Sehingga pikiran atau konsep-konsep perlu untuk turun tangan menyortir informasi mana yang layak dan memang dapat dibuktikan keandalannya (tentu saja ala pola pikiran), yang sering kali perasaan-perasaan malah perlu disingkirkan dengan alasan supaya dapat berpikir dengan jernih! Dengan senjata ketakutan dan kegelisahan (juga kesenangan dan kebahagiaan ; dualitas), pikiran dengan penuh kedigdayaan (memetika) membuat informasi empatik menjadi terfilter sedemikian rupa sehingga hanya menjadi label-label, stereotip-stereotip, prasangka-prasangka, nilai- nilai dalam memandang orang lain atau objek-subjek lain. Sesungguhnya membaca memori itu sesungguhnya tanpa usaha. Paling tidak kalaupun ada usaha, itu pastilah berasal dari pikiran atau konsep yang berusaha memfilter/menginterpretasi informasi empatik yang masuk tersebut. Bagaimana dalam sudut pandang berkomunikasi empatik dengan realitas tunggal? Berkomunikasi dengan siapa/apa pun adalah berkomunikasi juga dengan realitas tunggal. Jangan membatasi diri dalam berkomunikasi. Kita bisa berkomunikasi dengan siapa/apa pun. Ada yang ingin berkomunikasi dengan roh halus? Silahkan. Ada yang ingin berkomunikasi dengan jin? Silahkan pula. Ada yang ingin berkomunikasi dengan pohon beringin? Monggo. Ada yang ingin berkomunikasi dengan pulpen mungkin? Silahkan saja. Tidak ada yang tidak bisa. Hanya saja tentu konteks yang termudah dalam berkomunikasi ternyata adalah berkomunikasi secara empatik. Yang ironisnya kebudayaan modern malah mengurutkannya sebagai komunikasi yang cukup sulit sehingga harus dipelajari. Padahal komunikasi empati adalah kemampuan yang sudah pasti ada ketika kita eksis di dunia realita tunggal ini. Dan komunikasi empati PALING MUDAH digunakan SECARA TIMBAL-BALIK. Cukup memakai antena terdekat yaitu perasaan kita. Dan lagi pula dalam membaca/mengkomunikasikan perasaan kita SERING KALI TIDAK MEMAKAI BAHASA APAPUN! Bukankah kita sering mendengar ungkapan, `bahasa perasaan'. Atau ada sepasang kekasih yang tidak perlu saling berbicara sepatah-katapun untuk dapat merasa dekat dan saling mengaitkan perasaan cinta masing-masing. Atau ungkapan para pasutri yang mengatakan tidak perlu memakai kata-kata lagi untuk menyatakan keinginan atau ketidaksetujuan pada lawan pasangannya. Atau juga pada budaya organisasi/kantor yang telah harmonis, justru menemukan bahwa pertemuan rapat untuk konsolidasi menjadi semakin sedikit karena mereka sudah saling berempati. Dan banyak contoh lain yang menyatakan komunikasi melalui perasaan menembus waktu dan ruang (tidak seperti simbol bahasa formal yang memerlukan medium gelombang suara dan waktu untuk mengkomunikasikannya). Kemudian, berkomunikasi empati pada realita tunggal dapat saja terjadi ketika kita tidak sedang berkomunikasi dengan orang lain atau bahkan objek/benda lain. Selagi bengong atau melamun bisa saja kita merasakan aliran informasi empatik yang berasal dari mana-mana. Dan bisa saja secara timbal-balik kita membalaskan/mengirimkan balik informasi dari kita sendiri. Contoh nyatanya adalah yang biasanya kita dapat rasakan pada SUASANA di suatu ruangan yang berisi beberapa orang. Atau suasana kamar tidur pribadi seseorang, walaupun pemiliknya sedang tidak berada di kamar tersebut. Kita ambil saja contoh dari suasana kamar tidur pribadi. Dari suasananya/keadaan kamar tidur tersebut dengan mudah kita menebak/menginterpretasikan (karena informasi empatik yang masuk harus diinterpretasikan menjadi bahasa formal/suara untuk dapat dijelaskan melalui gambaran tulisan di tulisan ini), sifat pemiliknya atau karakter dasar dari pemiliknya. Bila misalnya kamar itu terlihat berantakan atau seperti kapal pecah, berarti pemiliknya kurang peduli dengan kebersihan atau bisa juga sering menunda persoalan hidupnya. Jika kamarnya terlihat bersih-resik, maka pemiliknya bisa jadi seorang yang perfeksionis atau bisa juga disebut dingin, kurang bersahabat, bila kita menangkap suasana kamar itu walaupun bersih tapi dingin/kurang bersahabat. Dan lain sebagainya. Kesimpulannya, kita bisa LAGI berkomunikasi empatik dengan realitas tunggal. Tersenyum-senyum sendirian misalnya sehingga dianggap lagi sableng, mungkin bisa dibilang lagi empatik kali. Atau para pembaca pikiran, para pembaca tarot, para pembaca fengsui atau paranormal sekalian, itu juga bisa dikelompokkan sebagai orang yang berbahasa perasaan (empatik). Jika tidak, maka dipastikan mereka bermain belief atau sugesti atau hipnotis atau malah penipu? Bermain belief adalah cukup melelahkan, cukup berbahaya kalau tidak tahu rantai karma yang dihasilkannya, bahkan bisa jadi beda tipis dengan menipu diri sendiri atau orang lain. Toh menyugesti diri juga dapat dibilang sebagai menipu diri sendiri akan keadaan yang lama sehingga sanggup melepaskannya dan berubah menjadi keadaan yang diinginkan. Menghipnotispun demikian, menipu diri sendiri atau orang lain dengan memanipulasi sistem kontrol diri bawah/atas sadar sehingga tubuh benar-benar tertipu dan dapat mengambil/menjalankan perintah yang baru. Mengapa disebut menipu? Karena hipnotis tidak dapat berlangsung selamanya. Dan seringkali memasukkan perintah tanpa keinginan sadar dari yang dihipnotis. Berempati dengan realitas membuat diri kita tidak memerlukan kata- kata. Bahkan terkadang tidak memerlukan pertahanan diri. Tidak memerlukan juga penilaian atas diri. Semua informasi tentang/dari/ke diri dan alam semesta dengan mudah diperoleh begitu saja tanpa usaha. Begitu pula dengan informasi karma dan informasi data/memori yang melekat pada setiap objek/subjek. Begitu jelas terlihat. Kalau kita TERLALU berempati, mungkin inilah yang disebut sebagai BUGIL tapi GAK TAHU MALU. Karena memang setiap tekanan pada perasaan yang terjadi dapat tersalurkan dengan mudah karena memang katupnya selalu terbuka. Diri sendiri akan semakin ringan tiap harinya, karena memang tak ada yang tertinggal oleh realitas tunggal. Alias kalaupun ada beban, beban itu akan dibawa oleh realita tunggal yang artinya beban kita lagi digotong rame-rame oleh manusia sedunia. Lucu khan? Makanya buruan didekons oleh saya. Tulisan ini memang sengaja sebagai madu untuk menarik klien yang pengen didekons.