"Multitasking" dan Konsekuensinya 
Ninok Leksono 
"Anak yang mengirim SMS ketika membuat pekerjaan rumah, main game online, dan 
nonton TV, saya ramal, tidak akan berprestasi dalam jangka panjang."

 
Jordan Grafman Bagian Ilmu Saraf Kognitif, National Institute of Neurological 
Disorders and Stroke, AS

  
Di bawah ini ada empat pertanyaan yang dapat mengungkap satu gejala yang 
dialami oleh manusia abad ke-21. Pertama, "Apakah Anda memberi perhatian, 
perhatian penuh, perhatian eksklusif terhadap orang ketika ia berbicara kepada 
Anda dalam satu rapat atau di tempat kerja?" Kedua, "Apakah Anda memeriksa 
e-mail ketika sedang menelepon?" Ketiga, "Apakah Anda membaca koran atau bicara 
di telepon ketika sedang nonton TV?" Yang keempat, "Apakah Anda mendengarkan 
radio atau pemutar MP3/iPod ketika sedang menelepon?"

 
Jawaban "Tidak" untuk nomor 1 dan "Ya" untuk nomor dua, tiga, dan empat 
menyimpulkan bahwa Anda—seperti umumnya kita dewasa ini—hidup dengan apa yang 
disebut sebagai CPA (continuous partial attention). Seperti tersirat dari 
istilah itu, CPA menjelaskan orang yang tak bisa memberi perhatian penuh 
terhadap satu urusan karena konsentrasi terbagi-bagi untuk urusan atau 
aktivitas lain.

 
Meluasnya pemandangan orang yang mengerjakan berbagai aktivitas dalam satu 
waktu yang sama semula dianggap sebagai fenomena multitasking abad ke-21. 
Namun, seperti ditulis dalam situs PR/Media Connection/Restivo Communications, 
banyak orang yang menyalahartikan multitasking, memercayai bahwa itu adalah 
melakukan banyak hal dengan sama baiknya pada waktu yang bersamaan. Yang 
diambil sebagai analogi adalah komputer.

 
Padahal—kecuali untuk beberapa mesin berkemampuan amat tinggi dengan prosesor 
paralel—sebagian besar komputer sebenarnya tidak mengerjakan lebih dari satu 
tugas dalam satu waktu. Mereka memproses satu tugas atau satu perintah pada 
satu waktu, memang dengan sangat cepat, sehingga terkesan mesin itu melakukan 
lebih dari satu pekerjaan dalam satu waktu.

 
Selain itu, yang juga terjadi adalah komputer melakukan prioritas terhadap 
perintah dan kode menurut sejumlah konsep sederhana, seperti "yang datang 
pertama, dilayani pertama, dan perintah sederhana dikerjakan sebelum perintah 
kompleks".

 
Manusia dalam banyak hal juga bekerja dengan cara serupa. Kita menyusun 
prioritas. Namun, juga diamati bahwa kemampuan memprioritaskan perintah dan 
kode tersebut sering kali didasarkan pada kriteria subyektif daripada obyektif.

 
Dari berbagai pertimbangan, tampak kemampuan multitasking manusia lebih 
terbatas dibandingkan dengan komputer. Sebab itu, secara alamiah manusia tidak 
disarankan untuk memberi perhatian secara sama dan penuh terhadap semua input 
sensori yang datang sekaligus.

 
Epidemik  
Di luar keterbatasan yang ada, gejala multitasking dan multiple sensory 
input—seperti dikemukakan oleh Linda Stone, mantan periset di perusahaan Apple 
dan Microsoft dalam satu konferensi bulan Maret 2006—kini telah mencapai 
proporsi epidemik. Sebagai akibatnya, dengan hinggapnya CPA, kemampuan untuk 
memberi perhatian secara penuh terhadap satu input sensori tak bisa penuh. Yang 
terjadi kemudian bukan multitasking, melainkan kekacaubalauan.

 
Riset puluhan tahun—ditambah dengan akal sehat—mengindikasikan bahwa kualitas 
output dan kedalaman berpikir seseorang akan menurun ketika ia melakukan 
tugas-tugas yang makin banyak.

 
Sementara ilmuwan sosial mencemaskan hal lain, yaitu bahwa generasi digital 
akan tumbuh sebagai orang-orang yang tidak acuh dengan dunia di sekeliling 
mereka. Dengan stimulasi SMS, MP3, telepon, chatting yang bersifat 
terus-menerus, pada anak-anak akan terbentuk lapis ketidakpekaan dan 
ketidakacuhan saat mereka berusia 25 atau 30-an nanti. (Time, 19/3/2006)

 
Memang manusia selalu punya kapasitas untuk mengerjakan beberapa hal sekaligus. 
Para ibu sejak zaman berburu-pengumpul sudah mengumpulkan buah-buahan sambil 
menyusui bayi dan menyiapkan makan untuk anak yang lebih besar. Namun, tak 
diragukan lagi bahwa fenomenon ini mencapai taraf menggila dengan munculnya 
komputer yang tersambung internet, ketika chatting dengan enam teman jadi rutin 
dengan messenger, nonton American Idol di TV, dan meng-Google nama finalis 
lomba yang lalu, semuanya pada saat bersamaan.

 
Kini, serangkaian riset, baik yang sudah terbit maupun yang belum, 
memperlihatkan kembali limit multitasking. Penemuan terbaru, menurut ahli saraf 
(neuroscientist), psikolog, dan profesor manajemen menyarankan agar orang 
mengendalikan kebiasaan multitasking ketika bekerja di kantor, belajar, atau 
mengemudi mobil.

 
Seiring dengan itu, para ahli juga memberi sejumlah nasihat: periksa pesan 
e-mail sekali setiap jam. Mendengarkan musik latar belakang yang lembut sambil 
belajar bisa saja meningkatkan konsentrasi. Tetapi, pemecah perhatian 
lain—sebagian besar lagu dengan lirik, SMS, acara TV—diyakini akan menurunkan 
performa. Mengemudi sambil menelepon, sekalipun dengan perangkat tangan bebas, 
bukan hal baik.

 
Ringkas kata, jawaban ada dalam mengelola teknologi, bukan semata menyerah pada 
kemampuannya yang menggoda. Ini karena multitasking diyakini akan memperlambat 
seseorang, meningkatkan peluang terjadinya kesalahan, ujar David Mayer, ilmuwan 
kognitif dan Direktur Laboratorium Otak, Kognisi, dan Aksi di Universitas 
Michigan. (IHT, 26/3/2007)

 
"Gangguan dan interupsi merupakan hal buruk ditinjau dari sisi kemampuan 
memproses informasi," tambahnya.

  
Otak manusia yang terdiri dari ratusan miliar neuron dan ratusan triliun 
koneksi sinaptik dalam banyak hal merupakan sumber tenaga kognitif. Hanya saja, 
kata Rene Marois, ilmuwan ahli saraf di Lab Pemprosesan Informasi Manusia di 
Universitas Vanderbilt, ada keterbatasan dalam berkonsentrasi pada dua hal 
sekaligus.

 
Dalam riset ditemukan adanya perlambatan respons otak, katakan dalam orde 
detik. Tetapi, kalau itu terjadi pada orang yang mengemudi dengan kecepatan 100 
km per jam, hal itu bisa menimbulkan akibat fatal.

 
Jalan keluar  
Generasi digital dihadapkan pada godaan teknologi yang, antara lain, membuat 
fenomena seperti multitasking jadi tampak di mana-mana. Sekadar melarang orang 
melakukan multitasking jelas bukan hal mudah. Tetapi, tetap perlu disadari 
bahwa otak manusia punya keterbatasan melakukan hal itu.

 
Atas dasar itu, kini juga dipikirkan untuk menemukan cara agar pekerja dapat 
mengelola kelebihan beban dalam komunikasi digital secara efisien.

 
Eric Horvits, ilmuwan peneliti di Microsoft, mengibaratkan, kita sekarang hidup 
di zaman Wild West komunikasi digital. Tetapi, tetap ada harapan bagi masa 
depan. Hanya saja, bila risiko multitasking yang ada saat ini tak disadari, 
konsekuensinya akan bermunculan tak lama lagi.

 


Nyanabhadra
Tibetan Language & Buddhist Philosophy

Library of Tibetan Works & Archives
Centre for Tibetan Studies & Researches
Gangchen Kyishong Dharamsala - 176215
Himachal Pradesh - I n d i a

"May I become at all times, both now and forever; a protector for those without 
protection; a guide for those who have lost their way; a ship for those with 
oceans to cross; a bridge for those with rivers to cross; a sanctuary for those 
in danger; a lamp for those without light; a place of refuge for those who lack 
of shelter; and a servant to all in need"-- H.H. The 14th Dalai Lama, Tenzin 
Gyatso -- Bodhicharyavatara [Tib. 
J'ang.chub.sem.pa'i.c'od.pa.nyid.jug.pa.zhug.so; Ing. Guide to the 
Bodhisattva's Way of Life, Chapter III, Verse 18-19]~ Shantideva
 
---------------------------------
Don't pick lemons.
See all the new 2007 cars at Yahoo! Autos.

Kirim email ke