IPDN
Ibu di Rumah Turut Cemas

Cornelius Helmy

Para praja duduk di ruang makan Institut Pemerintahan
Dalam Negeri Sumedang. Mereka tidak berkata-kata,
hanya saling memandang dan menghela napas panjang. Ada
pula yang memerhatikan jam dinding yang sudah mati.
Meski waktu sebenarnya menunjukkan pukul 13.00, jam
itu menunjukkan pukul 17.30.

Kebekuan baru pecah setelah di ruang makan terdengar
lagu Let It Be dari The Beatles. Selepas makan siang,
barisan praja mulai ditata kembali. Sebelum
meninggalkan ruangan, dengan aba-aba pemimpin regu,
mereka memberikan hormat mengarah kepada gubernur
praja dan pembantunya. Itu salah satu ritual yang
wajib dilakukan, baik sebelum maupun sesudah acara
makan berlangsung.

Ritual semacam itu bisa jadi tidak bertahan lama.
Terjadinya penganiayaan yang mengakibatkan matinya
praja madya Cliff Muntu membuat aktivitas berhenti.
Salah satunya kegiatan bernama Wahana Bina Praja.

Wahan Bina Praja adalah kegiatan yang dilakukan praja
IPDN dengan mengacu pada sistem pemerintahan. Di sana
ada struktur gubernur, wali kota, bupati, hingga
kepala desa. Mereka biasanya bertanggung jawab
terhadap suatu kelompok, sesuai hierarkinya. Mereka
yang tidak termasuk dalam struktur pemerintahan
dianggap masyarakat biasa. Di samping itu, dalam
Wahana Bina Praja juga bernaung kegiatan lain, seperti
drumband dan olahraga.

"Rencananya yang dibekukan bukan kegiatannya. Namun,
pengawasannya akan lebih ketat. Awalnya akan dibekukan
selama dua bulan, tapi mungkin bisa seterusnya," kata
Gubernur Praja Dino Aries Fahrizal.

Dino menyayangkan pembekuan ini. Pasalnya, hanya
karena ulah oknum tertentu, kegiatan yang ada tidak
dapat berjalan baik. Namun, ia sangat mendukung
pemerintah untuk membuat sistem pendidikan IPDN tetap
berjalan baik.

Selain di dalam, kegiatan yang dilakukan praja di luar
kampus pun menjadi sangat terbatas. Ruang gerak mereka
hanya berada di seputar lingkungan sekolah. Lebih dari
itu, belum ada jaminan keamanan bagi praja. Dino
mengatakan, pada dasarnya, kegiatan sehari-hari
kebanyakan masih berjalan. Hanya saja, untuk keluar
kampus, para siswa belum dapat izin dari sekolah.
Pasalnya, pascakematian Cliff Muntu, pihak sekolah
belum bisa menjamin emosi warga sekitar telah redam.

Anggapan arogan

Hal ini diperparah dengan anggapan arogansi yang
dikatakan sejumlah warga sekitar. Menurut salah
seorang perwakilan Masyarakat Sumedang Anti Kekerasan,
atribut dan seragam yang dipakai IPDN dinilai sebagai
bentuk arogansi. Hal itu dianggap tidak perlu
dilakukan karena tidak ada gunanya.

Hal yang sama dikatakan Wakil Ketua Dewan Perwakilan
Daerah Laode Ida. Menurut Laode, atribut seragam yang
dipakai saat ini sama sekali tidak menunjukkan
kemampuan dan kecerdasan otak dan strategi dengan
baik. Bahkan, hal itu hanya menunjukkan kekuasaan yang
ada dalam diri praja. Laode mengatakan, hal-hal
seperti itu harus segera direkonstruksi.

"Seragam itu tidak sesuai dengan semangat otonomi saat
ini. Di tengah era otonomi, IPDN justru masih
menggunakan hal seperti itu," kata Laode.

Menanggapi itu, Dino mengatakan, hal itu mungkin baik
dilakukan. Namun, pihaknya tetap membutuhkan identitas
yang bisa membedakan dengan mahasiswa lainnya.

Selain di dalam dan di luar lingkungan, imbas kematian
ini terjadi di daerah asal mereka. Selain beberapa
daerah enggan mengirimkan siswanya ke IPDN, pihak
keluarga dari para praja pun masih dilanda kecemasan.

Menurut Aries, yang berasal dari Kalimantan Barat,
setelah peristiwa kematian Cliff Muntu, ia selalu
diingatkan ibunya untuk tidak ikut serta dalam
kegiatan penganiayaan. Dino mengatakan, sama seperti
orangtua lainnya, hal itu dilatarbelakangi kecemasan
akibat tewasnya salah seorang praja.

"Ibu di rumah mengatakan kepada saya agar tak
ikut-ikutan dengan kegiatan kekerasan yang dilakukan
beberapa oknum. Beliau mengatakan agar belajar saja
sebaik-baiknya," kata Aries.

Senada dengan Aries, Wakil Ketua DPD asal Sulawesi
Utara Ariyanthi Baramuli Putri mengatakan, orangtua
almarhum Cliff hingga kini tetap mengatakan agar semua
praja yang ada di sana bisa belajar dengan baik. Asal
dengan catatan, terjadi perombakan dalam sistem
pendidikan dan keberanian mengatakan yang salah itu
salah dan benar itu benar.

Tidak hanya dari praja yang masih berada di IPDN,
beberapa kasus kekerasan di Kampus IPDN pun kembali
menguat setelah lama dilupakan. Puncaknya ketika
Kepala Kepolisian Daerah Jawa Barat Inspektur Jenderal
Sunarko Danu Ardanto mengatakan akan melakukan
pengembangan kasus. Dalam pemeriksaan itu akan
dilakukan pemeriksaan beberapa kasus sebelumnya yang
pernah terjadi sebelum kematian Cliff. Beberapa orang
yang sebelumnya mengetahui, tetapi tak melapor,
mungkin akan dijerat hukum.

"Saat ini dari 44 orang yang diperiksa, tujuh
ditetapkan sebagai tersangka. Selanjutnya pihak
kepolisian dari Polres Sumedang, Polwil Priangan, dan
Polda Jabar akan bekerja sama menyelesaikan kasus
ini," kata Sunarko.

Tak hanya itu, kasus kematian yang menimpa Wahyu
Hidayat pun terbuka kembali. Setelah kabar lama
menghilang, diketahui, Mahkamah Agung telah menolak
peninjauan kembali yang diminta sembilan praja IPDN
yang terlibat. Dengan itu, mereka harus ditahan dan
dijerat hukum yang sebelumnya didapat. Hal itu sangat
ironis karena mereka saat ini telah bertugas di
pemerintahan daerah.

"Kami telah menerima surat penahanan untuk sembilan
praja dari Kejaksaan Negeri Sumedang. Selanjutnya,
setelah dikirimkan, akan diproses daerah
masing-masing," kata mantan Rektor IPDN I Nyoman
Sumaryadi. 


       
____________________________________________________________________________________
Be a PS3 game guru.
Get your game face on with the latest PS3 news and previews at Yahoo! Games.
http://videogames.yahoo.com/platform?platform=120121

Kirim email ke