Beberapa artikel menarik tentang Visi 2030 dan Pendidikan.

Semoga bermanfaat.

salam

Jati

---------- Forwarded message ----------
From: Agus Hamonangan <[EMAIL PROTECTED]>
Date: May 29, 2007 3:47 AM
Subject: [Forum-Pembaca-KOMPAS] Tentang Mimpi Besar Indonesia
To: [EMAIL PROTECTED]

Oleh ST SULARTO
http://www.kompas.co.id/kompas-cetak/0705/29/humaniora/3561240.htm
===================

Mari kita bermimpi dan berhitung. Melalui Visi 2030 apa yang kira-kira
dialami anak Indonesia yang lahir tahun 2007? Ketika berumur 23 tahun
nanti, mereka yang telah menyelesaikan pendidikan tinggi, kalau
mendapatkan pekerjaan akan membentuk angkatan kerja dengan pendapatan
per kapita 18.000 dollar AS per tahun. Mereka akan berpenghasilan Rp
15 juta per bulan, atau Rp 500.000 per hari dengan kurs Rp 10.000.
Merekalah sebagian dari 285 juta jiwa penduduk Indonesia.

Visi Indonesia 2030 itu ketika dipertemukan dengan realitas aktual,
terbentang jurang besar, kata Romo Pujasumarto. Pada tahun 2006,
misalnya, dengan penduduk lebih dari 220 juta orang, kondisi kehidupan
ekonomi Indonesia masih sangat memprihatinkan.

Kemiskinan adalah kenyataan hidup. Sampai Februari 2005, misalnya,
35,10 juta warga negara, artinya 15 persen dari 97 juta
penduduk—membengkak menjadi 35,1 juta orang (15,97 persen) dari jumlah
penduduk Indonesia—menderita kemiskinan. Jumlah itu meningkat menjadi
39,05 juta (17,97 persen) pada bulan Maret 2006. Merekalah orang
miskin dengan biaya hidup di bawah Rp 14.000 per hari per orang,
artinya per bulan Rp 420.000. Ketika kemiskinan diukur dengan biaya
hidup sekitar Rp 18.000 per orang per hari, jumlah orang miskin
Indonesia menjadi 108,78 juta atau sekitar 49 persen penduduk Indonesia.

Kalau data di atas disandingkan dengan data pengangguran, dua entitas
yang punya relasi saling memengaruhi, dijumpai betapa negeri ini
secara kualitatif merosot. Laporan PBB yang terakhir, Mei 2007,
menyebutkan tingkat pengangguran di Indonesia merupakan yang tertinggi
di antara negara-negara ASEAN. Sepanjang tahun 2000-2006 tingkat
pengangguran di sebagian besar negara ASEAN stabil atau menurun,
sebaliknya di Indonesia naik dari 6 persen menjadi 10,4 persen.

Jurang besar visi dan realitas itulah yang dihadapi. Visi Indonesia
2030 tidak memperhitungkan tantangan riil yang dihadapi. Visi memang
mimpi. Sehingga ketika dibuat dengan mengabaikan faktor ruang
kontekstual, visi menjadi utopia. Ngawang-awang di langit takkan
tercapai. Padahal ada hitung-hitungan yang dibuat Tujuan Pembangunan
Abad Milenium (Millenium Development Goals/MDGs). MDGs dengan rinci
menegaskan tingkat capaian pembangunan sampai 2015.

Mengenai bidang pendidikan yang tidak dirumuskan Visi 2030, MDGs
menargetkan pada 2015 semua anak di mana pun dapat menyelesaikan
pendidikan dasar. "Saya melihat rumusan MDGs realistis dan terukur
baik dalam hal menanggulangi kemiskinan dan kelaparan maupun
pendidikan," kata Tukiman Taruna. Dengan tidak menyebutkan pendidikan
dan semata-mata capaian ekonomi, rupanya Visi 2030 beranggapan,
"Sejauh perekonomian membaik apalagi estimasi pendapatan 50 dollar AS
sehari, sejauh itu pula pendidikan semakin mencerdaskan bangsa."

MDGs mencantumkan 41 indikator. Semua indikantor terukur dengan jelas,
misalnya, target menurunkan proporsi penduduk yang menderita kelaparan
menjadi setengahnya pada tahun 2015. Indikatornya, prevalensi anak
balita kurang gizi, proporsi penduduk yang berada di bawah garis
konsumsi minimal 21.000 kalori per kapita per hari. Sementara dalam
Visi 2030 masih sangat global dan umum.

Bicara mengenai angkatan kerja berarti juga bicara tentang pendidikan.
Artinya, apakah angkatan kerja nanti sudah siap dan sudah dengan baik
dipersiapkan. Sebuah penelitian yang pernah dilakukan sebuah fakultas
Universitas Gadjah Mada, menunjukkan ketika kita berbicara tentang
perkembangan anak, 76 persen keberhasilannya sangat tergantung dari
program intervensi yang kita lakukan. Intervensi antara lain dilakukan
lewat Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) yang diluncurkan
pemerintah tahun 2006.

Ketika program intervensi dilakukan terhadap kesejahteraan keluarga,
kontribusinya hanya 50 persen bagi perkembangan anak. Sementara
pendapatan 18.000 dollar AS per tahun menurut Visi 2030 mau digenjot.
Berdasar penelitian ini sumbangannya terhadap perkembangan anak hanya
50 persen.

Pendidikan = jembatan

Hitung-hitungan logis diskusi sehari itu menegaskan persyaratan yang
disampaikan kepala negara. Mengutip Presiden, "bangsa yang besar
adalah bangsa yang mampu mewujudkan mimpi yang besar", perwujudan itu
memerlukan sejumlah syarat. Salah satu jembatan yang perlu mendapat
perhatian serius adalah pendidikan; bagaimana mempersiapkan anak didik
agar mengalami "impian 2030" itu.

Sebaliknya pada saat yang sama, kita memang bangsa gampang lupa,
pengidap amnesia.

Dalam konteks pengidap amnesia, tahun 1957 Presiden Soekarno pernah
kecewa. Dia kecewa atas pengembangan pembangunan nasional yang perlu
diberi basis pada pengembangan sumber daya manusia. Dua puluh lima
tahun kemudian kondisi itu tidak jauh berbeda. Menurut Soedijarto,
panelis, di tengah kondisi semakin tertinggal jauh dari perkembangan
global, tahun lalu Indonesia belum termasuk dalam 10 besar ekonomi .

Menurut Soedijarto, dalam kondisi mencemaskan itu, Indonesia Forum
meramalkan tahun 2030 Indonesia akan muncul sebagai salah satu lima
besar ekonomi dunia. Perkembangan pesat itu menurut Soedijarto
disebabkan keberhasilan mengembangkan pendidikan tinggi.

India, misalnya, yang pada 2005 berada di luar 10 besar diramalkan
pada 2040 masuk menjadi nomor tiga. India diramalkan menghasilkan
hampir 700.000 sarjana IPA dan teknik yang pada tahun 1990-1991 baru
lebih kurang 200.000 sarjana. China yang pada 1990-1991 menghasilkan
200.000 sarjana IPA dan teknik, tahun 2004 menghasilkan lebih dari
500.000 sarjana. AS yang pada 1990-1991 menghasilkan lebih dari
300.000 sarjana IPA dan teknik, tahun 2004 telah menghasilkan 400.000
sarjana.

Cerita sukses mereka menunjukkan bahwa pendidikan, utamanya pendidikan
tinggi, merupakan faktor yang menentukan keberhasilan pembangunan
negara, terutama ekonomi. Karena itu, menarik dipersoalkan Visi
Indonesia 2030 kurang mendudukkan peran pendidikan tinggi. Memang
tidak langsung disebutkan, pada 2030 Indonesia masuk 10 besar dunia,
tetapi bagaimana "jembatan" itu dikembangkan tidak dijelaskan rinci.

Pertanyaannya, bagaimana strategi pendidikan nasional Indonesia
menghadapi tantangan ke depan itu. Selain menyangkut dana pendidikan
yang belum mencapai 20 persen, AS pada tahun 2005 menyediakan beasiswa
100 miliar dollar AS, di samping dana-dana lain untuk meningkatkan
jumlah lulusan bermutu dan kompeten.

Belum ketemu

Kalau segala ketentuan dalam Pasal 31 UUD 1945, terutama yang terkait
Pasal 31 Ayat 2: "setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar
dan pemerintah wajib membiayainya," Pasal 31 Ayat 5: "pemerintah
berkewajiban memajukan iptek" dilaksanakan secara konsekuen, perkiraan
visi Indonesia 2030 bukanlah mimpi besar.

Menurut Soedijarto, pasal-pasal dengan konsekuensi anggaran 20 persen
itu mengarahkan, kalau Indonesia akan membangun kehidupan bangsa yang
cerdas, amat tergantung keberhasilan menyelenggarakan sistem
pendidikan nasional yang bermutu dan merata. Hal itu tercermin dari
keberhasilan Singapura, Korea Selatan, Taiwan, dan Jepang yang
didasarkan atas keberhasilannya membangun infrastruktur sebagai bagian
dari fase awal industrialisasi. Infrastruktur dimaksud meliputi fisik,
teknologi, SDM, dan kewirausahaan/usaha kecil. Keempatnya prasyarat
keberhasilan pembangunan ekonomi.

Dalam hal infrastruktur teknologi yang terkait dengan penyiapan SDM,
terlihat jelas hubungan universitas dan produktivitas universitas
utamanya bidang iptek. Pada abad ke-21 ini universitas merupakan mesin
utama lembaga pendidikan dan riset, dan pembangunan ekonomi berdasar
iptek. Karena itu, AS menyediakan anggaran belanja untuk pendidikan
tinggi 2,5 persen PDB-nya, sedangkan dana pendidikan bagi SD hingga
universitas di Indonesia hanya 0,2 persen PDB. Akibatnya, walau lulus,
tak ada hubungannya dengan dunia industri.

Strategi dan sistem pendidikan di Indonesia terlihat tidak gayut
(ketemu), dengan Visi 2030. Praksis pendidikan tidak relevan dengan
pembangunan ekonomi, tidak relevan dengan pembangunan untuk
mencerdaskan kehidupan bangsa. Sebagai sebab atau akibat, hal itu
terlihat belum dibiayainya secara penuh penyelenggaraan pendidikan
dasar, sehingga sekitar 30 persen anak usia SD tidak dapat
menyelesaikan pendidikan tingkat SD, hanya 60 persen lulusan SD
meneruskan ke jenjang SMP. Dari sisi hukum terlihat tidak
dilaksanakannya ketentuan Pasal 12 Ayat 6 UU Nomor 20 Tahun 2003
tentang hak anak untuk memperoleh pelayanan pendidikan sesuai bakat,
minat dan kemampuannya.

Penyelenggaraan ujian nasional mempersulit upaya menjadikan sekolah
sebagai tempat pembelajaran segala kemampuan, nilai, dan sikap yang
diperlukan. Padahal, lembaga pendidikan bukanlah untuk memilih dan
memilah mereka dari segi kemampuan kognitif, suatu praksis pendidikan
yang a-demokratis. Lebih parah lagi, mereka berasal dari keluarga
tidak mampu. Apalagi dengan kelalaian Indonesia membiayai pendidikan
tinggi, semakin terlihat sulit merealisasikan Visi 2030.

Karena berbagai ketentuan dalam UUD 1945, dan UU No 3/2003 tidak
dilaksanakan, artinya perlu tinjauan budaya politik di Indonesia.
Tidak dilaksanakannya ketentuan mendasar untuk masa depan bangsa,
masih menjadi salah satu karakteristik praktik politik di Indonesia;
menunjukkan belum cerdasnya kehidupan bangsa ini.

Diskusi menawarkan jalan keluar. Satu di antaranya bagaimana partai
tidak hanya berkutat pada persoalan hak-hak politik, tetapi juga
hak-hak dasar sebagai hak asasi manusia, di antaranya hak memperoleh
pendidikan baik dan kompeten.

Dengan fokus itu politisi dan birokrat Indonesia memperjuangkan secara
serius dalam wacana maupun eksekusi tentang terealisasinya pasal-pasal
UUD berikut turunannya, termasuk terealisasinya 20 persen anggaran
nasional untuk pendidikan. Kalau tidak, gagal pernyataan Presiden,
bahwa "bangsa yang besar adalah bangsa yang bisa mewujudkan mimpinya".

Visi Indonesia 2030 tetap jadi mimpi besar.



---------- Forwarded message ----------
From: Agus Hamonangan <[EMAIL PROTECTED]>
Date: May 31, 2007 4:23 AM
Subject: [Forum-Pembaca-KOMPAS] Visi 2030 dan Pendidikan (2)
To: [EMAIL PROTECTED]

Kontribusi untuk Masa Depan Ekonomi

Oleh Erwin Edhi Prasetya
http://www.kompas.co.id/kompas-cetak/0705/30/humaniora/3563004.htm
=========================

Manusia selalu senang bermimpi. Dalam mimpi, apa pun selalu bisa
diwujudkan sesuai dengan keinginan pemimpi. Bangsa Indonesia agaknya
senang bermimpi. Melalui Visi Indonesia 2030 negeri ini bermimpi.

Bermimpi menjadi negara makmur yang sedikit di bawah Uni Eropa,
menurut panelis A Tony Prasetiantono, anggota tim penyusun Visi
Indonesia 2030, sebenarnya amat menyadari bahwa ketika merumuskan visi
itu mereka benar-benar sedang membuat "mimpi". Karena pada dasarnya,
visi adalah mimpi.

"Prediksi ini masuk akal karena keempat negara itu memiliki jumlah
penduduk amat besar sehingga menjadi potensi ekonomi yang amat besar.
Apalagi, keempat negara itu berstatus (negara-negara yang
perekonomiannya tengah menanjak tajam)," tutur Tony.

Sektor riil belum berjalan semestinya karena sekitar 39 persen dana
masyarakat di perbankan menganggur. Itu berarti, aliran investasi
tersendat. Karena itu, diharapkan suku bunga diturunkan dan iklim
investasi diperbaiki agar aliran dana ke sektor riil lancar sehingga
bisa lebih memacu perekonomian.

Rusia adalah salah satu, dengan menargetkan pertumbuhan "hanya" 8,5
persen. Tetapi, dalam kuartal pertama 2007, perekonomian China malah
tumbuh lebih cepat hingga 11,1 persen.

Belajar dari sejarah

Disadari saat itu, kemajuan ekonomi tak akan bertahan lama jika
pendidikan tidak ikut dimajukan. Pendidikan penting dibangun karena
menjadi kunci keberlanjutan kemakmuran.

Menurut Parera, Philip Kotler dalam penelitiannya menyatakan,
pendidikan formal berperan strategis dalam pembangunan ekonomi. Tanpa
pendidikan, berdiri kokoh penghalang upaya pembangunan ekonomi.
Melalui manusia terdidik akan diseminasikan nilai-nilai yang relevan
dengan pembangunan ekonomi. Kesimpulan ini terutama diambil dari
pengalaman Singapura dan Korea Selatan yang dalam permulaan
pembangunannya di samping membangun infrastruktur fisik juga membangun
infrastruktur sumber daya manusia, yaitu sistem persekolahan dan
pelatihan.

Panelis JC Tukiman Taruna mengingatkan, sebelum muncul Visi Indonesia
2030, telah ada rumusan Tujuan Pembangunan Abad Milenium (MDGs) yang
secara umum menegaskan tingkat capaian pembangunan bagi negara-negara
seperti Indonesia sampai tahun 2015. Salah satu tujuan yang ingin
dicapai adalah menanggulangi kemiskinan dan kelaparan. Targetnya
menurunkan proporsi penduduk yang tingkat pendapatannya di bawah 1
dollar AS per hari menjadi setengahnya pada 1990-2015. Target kedua
menurunkan proporsi penduduk yang kelaparan menjadi setengahnya pada
1990-2015. Di bidang pendidikan, pada 2015 semua anak, laki-laki
maupun perempuan harus dapat menyelesaikan pendidikan dasar. Sepanjang
waktu, kebijakan dan praksis pendidikan seluruhnya tidak bisa
dibebaskan dari politik kekuasaan.

Dalam kondisi seperti itu, komitmen untuk mengutamakan kepentingan
bersama guna memajukan pendidikan adalah mutlak. Apalagi jika
pendidikan diharapkan berkontribusi bagi kemajuan ekonomi. Ini agar
mimpi kemakmuran itu tidak sekadar menjadi mimpi kosong.



---------- Forwarded message ----------
From: Agus Hamonangan <[EMAIL PROTECTED]>
Date: May 31, 2007 4:25 AM
Subject: [Forum-Pembaca-KOMPAS] Visi 2030 dan Pendidikan (3-Habis)
To: [EMAIL PROTECTED]

Kurikulum Beridentitas Kerakyatan

Oleh A FERRY T INDRATNO
http://www.kompas.co.id/kompas-cetak/0705/31/humaniora/3563011.htm
=========================

"Kurikulum memang bukan satu-satunya penentu mutu pendidikan. Ia juga
bukan perangkat tunggal penjabaran visi pendidikan. Meskipun demikian,
kurikulum menjadi perangkat yang strategis untuk menyemaikan
kepentingan dan membentuk konsepsi dan perilaku individu warga," kata
panelis Agus Suwignyo.

Dalam sejarah pendidikan di Indonesia, pada rentang waktu tahun
1945-1949 dikeluarkan Kurikulum 1947. Tahun 1950-1961, ditetapkan
Kurikulum 1952. Kurikulum terakhir pada masa Orde Lama adalah
Kurikulum 1964.

Masa Orde Baru lahir empat kurikulum. Kurikulum 1968 ditetapkan dan
berlaku sampai tahun 1975. Selanjutnya muncul Kurikulum 1975. Pada
tahun 1984 dibuat kurikulum baru dengan nama Kurikulum 1975 yang
Disempurnakan dengan pendekatan Cara Belajar Siswa Aktif (CBSA). Pada
tahun 1994 dikeluarkan kurikulum baru, yakni Kurikulum 1994. Kurikulum
itu menjadi kurikulum terakhir yang dikeluarkan oleh rezim Orde Baru.

Pada era reformasi muncul Kurikulum 2004 yang dikenal dengan nama
Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) yang pada tahun 2006 dilengkapi
dengan Standar Isi dan Standar Kompetensi (Sisko) yang memandu sekolah
menyusun Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP).

Apabila dicermati, penyusunan kurikulum yang silih berganti di
Indonesia itu menunjukkan betapa kekuasaan yang berlaku menancapkan
kukunya dalam penentuan isi kurikulum.

Menurut Bourdieu, setiap tindakan pedagogis yang bertujuan untuk
mereproduksi kebudayaan dapat disebut kekerasan simbolis yang sah.
Kekuatan kekerasan ini berasal dari hubungan kekuasaan sesungguhnya
yang disembunyikan oleh kekuatan pedagogis.

Kurikulum yang berlaku dalam suatu negara, termasuk Indonesia, sering
digunakan sebagai sarana indoktrinasi dari suatu sistem kekuasaan.

Umumnya para pendidik dan masyarakat luas tidak menyadari apa
sebenarnya peranan kurikulum di dalam proses pembelajaran peserta didik.

Dunia pendidikan memang sering kali menganggap bahwa kurikulum adalah
soal teknis belaka. Namun, sebenarnya, berbicara tentang kurikulum
adalah berbicara tentang sumber-sumber kekuasaan dalam dunia pendidikan.

Kurikulum adalah program dan isi dari suatu sistem pendidikan yang
berupaya melaksanakan proses akumulasi ilmu pengetahuan antargenerasi
dalam suatu masyarakat.

Dalam sebuah masyarakat yang homogen, masalah kurikulum tidak terlalu
merisaukan. Namun dilihat dari konteks masyarakat yang majemuk seperti
Indonesia, kurikulum adalah pertarungan antarkekuasaan yang hidup
dalam suatu masyarakat. Kelompok masyarakat yang dominan akan
mempertahankan kurikulum untuk mempertahankan dominasinya melalui
sistem persekolahan.

Sampai sejauh ini pendidikan di Indonesia menggunakan satu kurikulum,
yaitu Kurikulum Nasional yang dipakai sebagai acuan tunggal. Semua
lembaga pendidikan formal di negeri ini, baik di kota besar, pelosok
gunung, maupun di pinggiran pantai, punya kurikulum sama.

Dengan demikian, proses pendidikan yang diterapkan adalah dalam upaya
membentuk keseragaman berpikir. Melalui proses pendidikan nasional,
generasi muda Indonesia dibentuk oleh sistem pendidikan yang mengacu
kepada politik etatisme.

Melalui Kurikulum Nasional, pendidikan di Indonesia telah menjalani
proses yang amat berlainan dengan perkembangan kebudayaan sehingga
pendidikan di Indonesia bukan lagi sebagai persoalan kebudayaan,
melainkan lebih sebagai kepentingan politik di satu sisi, dan
kepentingan ekonomi di sisi lain.

Dengan demikian, jika orang masuk ke lorong pendidikan di Indonesia,
ia tidak menemukan proses berpikir kritis, tetapi justru menjadi
terasing dari lingkungan sosialnya.

Identitas kerakyatan

Munculnya Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) tampaknya
menunjukkan bahwa politik kebijakan pemerintah dalam pengembangan dan
operasionalisasi kurikulum mulai desentralistis, akomodatif, dan
terbuka. Meskipun demikian, efektivitas perubahan politik kebijakan
tersebut dalam menjawab problem fungsional kurikulum masih harus
dibuktikan.

Melalui kebijakan KTSP, sekolah-sekolah diberi kebebasan menyusun
kurikulum sendiri sesuai dengan konteks lokal, kemampuan siswa, dan
ketersediaan sarana-prasarana. Kebebasan semacam itu tentu dilatari
semangat pembaruan dalam bidang pendidikan yang selama ini dinanti.

Pemberian kebebasan kepada sekolah dan guru ini bukan tanpa persoalan.
Umumnya para guru yang memang tidak dipersiapkan untuk menyusun
kurikulum, tidak cukup memiliki kompetensi dan kreativitas dalam
menyiapkan kurikulum dan segenap perangkat pembelajaran. Belum lagi
masih ada tuntutan ujian nasional di tengah disparitas mutu, kualitas
guru, dan sarana-prasarana belajar yang sangat tajam antardaerah.

Bagaimana KTSP menjadi kurikulum yang berfungsi sebagai pedoman dan
sarana pencerdasan peserta didik?

Menurut seorang pakar pendidikan dari Malanag, T Raka Joni,
ketersampaian pesan pada kurikulum bukan bergantung pada materi pesan
yang ingin disampaikan, melainkan lebih pada cara menyampaikan pesan
(the process is the content, the medium is the message).

Dia mengatakan, dampak proses penyampaian pesan itulah yang
dimanfaatkan untuk menyampaikan sisi-sisi pesan pendidikan
lain—humanisme, kerakyatan, nasionalisme, kebangsaan—yang juga penting
dalam kerangka tujuan utuh pendidikan.

Akan tetapi, ini justru tidak tepat apabila disampaikan hanya dalam
kerangka pikir content transmission model. Sebaliknya, sasaran-sasaran
pembentukan seperti kebiasaan bekerja secara sistematis, kepekaan
sosial, dan tanggung jawab harus diwujudkan sebagai dampak pengiring
(nurturant effects) dari keterlibatan siswa dalam berbagai kegiatan
dan peristiwa pembelajaran yang dialami siswa.

Berdasarkan dampaknya kepada siswa, kurikulum dibedakan menjadi lima
tataran, yaitu kurikulum ideal, formal, instruksional, operasional,
dan eksperiensial.

Kurikulum eksperiensial adalah makna dari pengalaman belajar yang
terhayati oleh siswa sementara mereka terlibat dalam berbagai kegiatan
dan peristiwa pembelajaran yang dikelola oleh guru dan sekolah. Oleh
karena itu, kurikulum eksperiensiallah yang membuahkan dampak, dalam
bentuk perubahan cara berpikir dan bertindak para siswa yang bersangkutan.

Oleh karena itu, dilihat dari sudut pandang keberdampakan kurikulum
terhadap tingkah laku siswa, pada dasarnya yang eksis hanyalah
kurikulum lokal—yang bisa dimanifestasikan dalam KTSP—yang berupa
pengalaman belajar yang di- gelar oleh guru dari hari ke hari. Ini
berarti, kurikulum formal "tidak banyak bicara" tanpa penerjemahan
yang setia di lapangan.

KTSP sangat berpeluang untuk mewujudkan kurikulum sekolah yang
beridentitas kerakyatan, artinya kurikulum yang benar-benar berpihak
kepada khalayak—dalam hal ini anak didik—dalam konteks sosial-budaya
dan kehidupan sehari-hari. Identitas dapat dicapai dengan penyusunan
pengalaman belajar yang dikontekstualisasi dengan kebutuhan setempat.

Dalam konteks Asmat yang berawa, misalnya, tentu pelajaran yang paling
berguna adalah penguasaan alam, khususnya sungai serta pengelolaan
sumber daya air dan laut.

Anak-anak di Langsa, Aceh Timur, perlu belajar mengolah hasil laut,
khususnya ikan dan rumput laut, yang selama ini belum tergarap,
sedangkan anak-anak Halmahera sangat perlu mengembangkan kesenian
tradisional dan bahasa yang beraneka ragam, penyelidikan flora dan
fauna. Anak-anak di tempat lain pun mengembangkan pengalaman belajar
yang sesuai dengan kebutuhan hidupnya dan masyarakatnya.

Di sini kreativitas dan keberpihakan guru menjadi sangat penting.
Sekolah bisa menjadi arena (field) anak-anak untuk membentuk habitus
(kebiasaan) baru tanpa didominasi kepentingan sentralistis yang
sebenarnya secara diam-diam masih ditengarai termuat dalam standar
isi, standar kompetensi, dan kompetensi dasar yang disusun secara
terpusat.

Dengan demikian, kebebasan mengembangkan pengalaman belajar itu
sungguh terjadi. Tujuan pendidikan yang sesuai kerangka Visi Indonesia
2030—menciptakan masyarakat maju, sejahtera, mandiri, dan berdaya
saing tinggi—dapat diarahkan.

A FERRY T INDRATNO Magister Ilmu Religi dan Budaya Universitas Sanata
Dharma, Yogyakarta


[Non-text portions of this message have been removed]



 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/dosen-peneliti/

<*> Your email settings:
    Individual Email | Traditional

<*> To change settings online go to:
    http://groups.yahoo.com/group/dosen-peneliti/join
    (Yahoo! ID required)

<*> To change settings via email:
    mailto:[EMAIL PROTECTED] 
    mailto:[EMAIL PROTECTED]

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    [EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 

Kirim email ke