Beberapa artikel menarik tentang Visi 2030 dan Pendidikan. Semoga bermanfaat.
salam Jati ---------- Forwarded message ---------- From: Agus Hamonangan <[EMAIL PROTECTED]> Date: May 29, 2007 3:47 AM Subject: [Forum-Pembaca-KOMPAS] Tentang Mimpi Besar Indonesia To: [EMAIL PROTECTED] Oleh ST SULARTO http://www.kompas.co.id/kompas-cetak/0705/29/humaniora/3561240.htm =================== Mari kita bermimpi dan berhitung. Melalui Visi 2030 apa yang kira-kira dialami anak Indonesia yang lahir tahun 2007? Ketika berumur 23 tahun nanti, mereka yang telah menyelesaikan pendidikan tinggi, kalau mendapatkan pekerjaan akan membentuk angkatan kerja dengan pendapatan per kapita 18.000 dollar AS per tahun. Mereka akan berpenghasilan Rp 15 juta per bulan, atau Rp 500.000 per hari dengan kurs Rp 10.000. Merekalah sebagian dari 285 juta jiwa penduduk Indonesia. Visi Indonesia 2030 itu ketika dipertemukan dengan realitas aktual, terbentang jurang besar, kata Romo Pujasumarto. Pada tahun 2006, misalnya, dengan penduduk lebih dari 220 juta orang, kondisi kehidupan ekonomi Indonesia masih sangat memprihatinkan. Kemiskinan adalah kenyataan hidup. Sampai Februari 2005, misalnya, 35,10 juta warga negara, artinya 15 persen dari 97 juta pendudukmembengkak menjadi 35,1 juta orang (15,97 persen) dari jumlah penduduk Indonesiamenderita kemiskinan. Jumlah itu meningkat menjadi 39,05 juta (17,97 persen) pada bulan Maret 2006. Merekalah orang miskin dengan biaya hidup di bawah Rp 14.000 per hari per orang, artinya per bulan Rp 420.000. Ketika kemiskinan diukur dengan biaya hidup sekitar Rp 18.000 per orang per hari, jumlah orang miskin Indonesia menjadi 108,78 juta atau sekitar 49 persen penduduk Indonesia. Kalau data di atas disandingkan dengan data pengangguran, dua entitas yang punya relasi saling memengaruhi, dijumpai betapa negeri ini secara kualitatif merosot. Laporan PBB yang terakhir, Mei 2007, menyebutkan tingkat pengangguran di Indonesia merupakan yang tertinggi di antara negara-negara ASEAN. Sepanjang tahun 2000-2006 tingkat pengangguran di sebagian besar negara ASEAN stabil atau menurun, sebaliknya di Indonesia naik dari 6 persen menjadi 10,4 persen. Jurang besar visi dan realitas itulah yang dihadapi. Visi Indonesia 2030 tidak memperhitungkan tantangan riil yang dihadapi. Visi memang mimpi. Sehingga ketika dibuat dengan mengabaikan faktor ruang kontekstual, visi menjadi utopia. Ngawang-awang di langit takkan tercapai. Padahal ada hitung-hitungan yang dibuat Tujuan Pembangunan Abad Milenium (Millenium Development Goals/MDGs). MDGs dengan rinci menegaskan tingkat capaian pembangunan sampai 2015. Mengenai bidang pendidikan yang tidak dirumuskan Visi 2030, MDGs menargetkan pada 2015 semua anak di mana pun dapat menyelesaikan pendidikan dasar. "Saya melihat rumusan MDGs realistis dan terukur baik dalam hal menanggulangi kemiskinan dan kelaparan maupun pendidikan," kata Tukiman Taruna. Dengan tidak menyebutkan pendidikan dan semata-mata capaian ekonomi, rupanya Visi 2030 beranggapan, "Sejauh perekonomian membaik apalagi estimasi pendapatan 50 dollar AS sehari, sejauh itu pula pendidikan semakin mencerdaskan bangsa." MDGs mencantumkan 41 indikator. Semua indikantor terukur dengan jelas, misalnya, target menurunkan proporsi penduduk yang menderita kelaparan menjadi setengahnya pada tahun 2015. Indikatornya, prevalensi anak balita kurang gizi, proporsi penduduk yang berada di bawah garis konsumsi minimal 21.000 kalori per kapita per hari. Sementara dalam Visi 2030 masih sangat global dan umum. Bicara mengenai angkatan kerja berarti juga bicara tentang pendidikan. Artinya, apakah angkatan kerja nanti sudah siap dan sudah dengan baik dipersiapkan. Sebuah penelitian yang pernah dilakukan sebuah fakultas Universitas Gadjah Mada, menunjukkan ketika kita berbicara tentang perkembangan anak, 76 persen keberhasilannya sangat tergantung dari program intervensi yang kita lakukan. Intervensi antara lain dilakukan lewat Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) yang diluncurkan pemerintah tahun 2006. Ketika program intervensi dilakukan terhadap kesejahteraan keluarga, kontribusinya hanya 50 persen bagi perkembangan anak. Sementara pendapatan 18.000 dollar AS per tahun menurut Visi 2030 mau digenjot. Berdasar penelitian ini sumbangannya terhadap perkembangan anak hanya 50 persen. Pendidikan = jembatan Hitung-hitungan logis diskusi sehari itu menegaskan persyaratan yang disampaikan kepala negara. Mengutip Presiden, "bangsa yang besar adalah bangsa yang mampu mewujudkan mimpi yang besar", perwujudan itu memerlukan sejumlah syarat. Salah satu jembatan yang perlu mendapat perhatian serius adalah pendidikan; bagaimana mempersiapkan anak didik agar mengalami "impian 2030" itu. Sebaliknya pada saat yang sama, kita memang bangsa gampang lupa, pengidap amnesia. Dalam konteks pengidap amnesia, tahun 1957 Presiden Soekarno pernah kecewa. Dia kecewa atas pengembangan pembangunan nasional yang perlu diberi basis pada pengembangan sumber daya manusia. Dua puluh lima tahun kemudian kondisi itu tidak jauh berbeda. Menurut Soedijarto, panelis, di tengah kondisi semakin tertinggal jauh dari perkembangan global, tahun lalu Indonesia belum termasuk dalam 10 besar ekonomi . Menurut Soedijarto, dalam kondisi mencemaskan itu, Indonesia Forum meramalkan tahun 2030 Indonesia akan muncul sebagai salah satu lima besar ekonomi dunia. Perkembangan pesat itu menurut Soedijarto disebabkan keberhasilan mengembangkan pendidikan tinggi. India, misalnya, yang pada 2005 berada di luar 10 besar diramalkan pada 2040 masuk menjadi nomor tiga. India diramalkan menghasilkan hampir 700.000 sarjana IPA dan teknik yang pada tahun 1990-1991 baru lebih kurang 200.000 sarjana. China yang pada 1990-1991 menghasilkan 200.000 sarjana IPA dan teknik, tahun 2004 menghasilkan lebih dari 500.000 sarjana. AS yang pada 1990-1991 menghasilkan lebih dari 300.000 sarjana IPA dan teknik, tahun 2004 telah menghasilkan 400.000 sarjana. Cerita sukses mereka menunjukkan bahwa pendidikan, utamanya pendidikan tinggi, merupakan faktor yang menentukan keberhasilan pembangunan negara, terutama ekonomi. Karena itu, menarik dipersoalkan Visi Indonesia 2030 kurang mendudukkan peran pendidikan tinggi. Memang tidak langsung disebutkan, pada 2030 Indonesia masuk 10 besar dunia, tetapi bagaimana "jembatan" itu dikembangkan tidak dijelaskan rinci. Pertanyaannya, bagaimana strategi pendidikan nasional Indonesia menghadapi tantangan ke depan itu. Selain menyangkut dana pendidikan yang belum mencapai 20 persen, AS pada tahun 2005 menyediakan beasiswa 100 miliar dollar AS, di samping dana-dana lain untuk meningkatkan jumlah lulusan bermutu dan kompeten. Belum ketemu Kalau segala ketentuan dalam Pasal 31 UUD 1945, terutama yang terkait Pasal 31 Ayat 2: "setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya," Pasal 31 Ayat 5: "pemerintah berkewajiban memajukan iptek" dilaksanakan secara konsekuen, perkiraan visi Indonesia 2030 bukanlah mimpi besar. Menurut Soedijarto, pasal-pasal dengan konsekuensi anggaran 20 persen itu mengarahkan, kalau Indonesia akan membangun kehidupan bangsa yang cerdas, amat tergantung keberhasilan menyelenggarakan sistem pendidikan nasional yang bermutu dan merata. Hal itu tercermin dari keberhasilan Singapura, Korea Selatan, Taiwan, dan Jepang yang didasarkan atas keberhasilannya membangun infrastruktur sebagai bagian dari fase awal industrialisasi. Infrastruktur dimaksud meliputi fisik, teknologi, SDM, dan kewirausahaan/usaha kecil. Keempatnya prasyarat keberhasilan pembangunan ekonomi. Dalam hal infrastruktur teknologi yang terkait dengan penyiapan SDM, terlihat jelas hubungan universitas dan produktivitas universitas utamanya bidang iptek. Pada abad ke-21 ini universitas merupakan mesin utama lembaga pendidikan dan riset, dan pembangunan ekonomi berdasar iptek. Karena itu, AS menyediakan anggaran belanja untuk pendidikan tinggi 2,5 persen PDB-nya, sedangkan dana pendidikan bagi SD hingga universitas di Indonesia hanya 0,2 persen PDB. Akibatnya, walau lulus, tak ada hubungannya dengan dunia industri. Strategi dan sistem pendidikan di Indonesia terlihat tidak gayut (ketemu), dengan Visi 2030. Praksis pendidikan tidak relevan dengan pembangunan ekonomi, tidak relevan dengan pembangunan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Sebagai sebab atau akibat, hal itu terlihat belum dibiayainya secara penuh penyelenggaraan pendidikan dasar, sehingga sekitar 30 persen anak usia SD tidak dapat menyelesaikan pendidikan tingkat SD, hanya 60 persen lulusan SD meneruskan ke jenjang SMP. Dari sisi hukum terlihat tidak dilaksanakannya ketentuan Pasal 12 Ayat 6 UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang hak anak untuk memperoleh pelayanan pendidikan sesuai bakat, minat dan kemampuannya. Penyelenggaraan ujian nasional mempersulit upaya menjadikan sekolah sebagai tempat pembelajaran segala kemampuan, nilai, dan sikap yang diperlukan. Padahal, lembaga pendidikan bukanlah untuk memilih dan memilah mereka dari segi kemampuan kognitif, suatu praksis pendidikan yang a-demokratis. Lebih parah lagi, mereka berasal dari keluarga tidak mampu. Apalagi dengan kelalaian Indonesia membiayai pendidikan tinggi, semakin terlihat sulit merealisasikan Visi 2030. Karena berbagai ketentuan dalam UUD 1945, dan UU No 3/2003 tidak dilaksanakan, artinya perlu tinjauan budaya politik di Indonesia. Tidak dilaksanakannya ketentuan mendasar untuk masa depan bangsa, masih menjadi salah satu karakteristik praktik politik di Indonesia; menunjukkan belum cerdasnya kehidupan bangsa ini. Diskusi menawarkan jalan keluar. Satu di antaranya bagaimana partai tidak hanya berkutat pada persoalan hak-hak politik, tetapi juga hak-hak dasar sebagai hak asasi manusia, di antaranya hak memperoleh pendidikan baik dan kompeten. Dengan fokus itu politisi dan birokrat Indonesia memperjuangkan secara serius dalam wacana maupun eksekusi tentang terealisasinya pasal-pasal UUD berikut turunannya, termasuk terealisasinya 20 persen anggaran nasional untuk pendidikan. Kalau tidak, gagal pernyataan Presiden, bahwa "bangsa yang besar adalah bangsa yang bisa mewujudkan mimpinya". Visi Indonesia 2030 tetap jadi mimpi besar. ---------- Forwarded message ---------- From: Agus Hamonangan <[EMAIL PROTECTED]> Date: May 31, 2007 4:23 AM Subject: [Forum-Pembaca-KOMPAS] Visi 2030 dan Pendidikan (2) To: [EMAIL PROTECTED] Kontribusi untuk Masa Depan Ekonomi Oleh Erwin Edhi Prasetya http://www.kompas.co.id/kompas-cetak/0705/30/humaniora/3563004.htm ========================= Manusia selalu senang bermimpi. Dalam mimpi, apa pun selalu bisa diwujudkan sesuai dengan keinginan pemimpi. Bangsa Indonesia agaknya senang bermimpi. Melalui Visi Indonesia 2030 negeri ini bermimpi. Bermimpi menjadi negara makmur yang sedikit di bawah Uni Eropa, menurut panelis A Tony Prasetiantono, anggota tim penyusun Visi Indonesia 2030, sebenarnya amat menyadari bahwa ketika merumuskan visi itu mereka benar-benar sedang membuat "mimpi". Karena pada dasarnya, visi adalah mimpi. "Prediksi ini masuk akal karena keempat negara itu memiliki jumlah penduduk amat besar sehingga menjadi potensi ekonomi yang amat besar. Apalagi, keempat negara itu berstatus (negara-negara yang perekonomiannya tengah menanjak tajam)," tutur Tony. Sektor riil belum berjalan semestinya karena sekitar 39 persen dana masyarakat di perbankan menganggur. Itu berarti, aliran investasi tersendat. Karena itu, diharapkan suku bunga diturunkan dan iklim investasi diperbaiki agar aliran dana ke sektor riil lancar sehingga bisa lebih memacu perekonomian. Rusia adalah salah satu, dengan menargetkan pertumbuhan "hanya" 8,5 persen. Tetapi, dalam kuartal pertama 2007, perekonomian China malah tumbuh lebih cepat hingga 11,1 persen. Belajar dari sejarah Disadari saat itu, kemajuan ekonomi tak akan bertahan lama jika pendidikan tidak ikut dimajukan. Pendidikan penting dibangun karena menjadi kunci keberlanjutan kemakmuran. Menurut Parera, Philip Kotler dalam penelitiannya menyatakan, pendidikan formal berperan strategis dalam pembangunan ekonomi. Tanpa pendidikan, berdiri kokoh penghalang upaya pembangunan ekonomi. Melalui manusia terdidik akan diseminasikan nilai-nilai yang relevan dengan pembangunan ekonomi. Kesimpulan ini terutama diambil dari pengalaman Singapura dan Korea Selatan yang dalam permulaan pembangunannya di samping membangun infrastruktur fisik juga membangun infrastruktur sumber daya manusia, yaitu sistem persekolahan dan pelatihan. Panelis JC Tukiman Taruna mengingatkan, sebelum muncul Visi Indonesia 2030, telah ada rumusan Tujuan Pembangunan Abad Milenium (MDGs) yang secara umum menegaskan tingkat capaian pembangunan bagi negara-negara seperti Indonesia sampai tahun 2015. Salah satu tujuan yang ingin dicapai adalah menanggulangi kemiskinan dan kelaparan. Targetnya menurunkan proporsi penduduk yang tingkat pendapatannya di bawah 1 dollar AS per hari menjadi setengahnya pada 1990-2015. Target kedua menurunkan proporsi penduduk yang kelaparan menjadi setengahnya pada 1990-2015. Di bidang pendidikan, pada 2015 semua anak, laki-laki maupun perempuan harus dapat menyelesaikan pendidikan dasar. Sepanjang waktu, kebijakan dan praksis pendidikan seluruhnya tidak bisa dibebaskan dari politik kekuasaan. Dalam kondisi seperti itu, komitmen untuk mengutamakan kepentingan bersama guna memajukan pendidikan adalah mutlak. Apalagi jika pendidikan diharapkan berkontribusi bagi kemajuan ekonomi. Ini agar mimpi kemakmuran itu tidak sekadar menjadi mimpi kosong. ---------- Forwarded message ---------- From: Agus Hamonangan <[EMAIL PROTECTED]> Date: May 31, 2007 4:25 AM Subject: [Forum-Pembaca-KOMPAS] Visi 2030 dan Pendidikan (3-Habis) To: [EMAIL PROTECTED] Kurikulum Beridentitas Kerakyatan Oleh A FERRY T INDRATNO http://www.kompas.co.id/kompas-cetak/0705/31/humaniora/3563011.htm ========================= "Kurikulum memang bukan satu-satunya penentu mutu pendidikan. Ia juga bukan perangkat tunggal penjabaran visi pendidikan. Meskipun demikian, kurikulum menjadi perangkat yang strategis untuk menyemaikan kepentingan dan membentuk konsepsi dan perilaku individu warga," kata panelis Agus Suwignyo. Dalam sejarah pendidikan di Indonesia, pada rentang waktu tahun 1945-1949 dikeluarkan Kurikulum 1947. Tahun 1950-1961, ditetapkan Kurikulum 1952. Kurikulum terakhir pada masa Orde Lama adalah Kurikulum 1964. Masa Orde Baru lahir empat kurikulum. Kurikulum 1968 ditetapkan dan berlaku sampai tahun 1975. Selanjutnya muncul Kurikulum 1975. Pada tahun 1984 dibuat kurikulum baru dengan nama Kurikulum 1975 yang Disempurnakan dengan pendekatan Cara Belajar Siswa Aktif (CBSA). Pada tahun 1994 dikeluarkan kurikulum baru, yakni Kurikulum 1994. Kurikulum itu menjadi kurikulum terakhir yang dikeluarkan oleh rezim Orde Baru. Pada era reformasi muncul Kurikulum 2004 yang dikenal dengan nama Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) yang pada tahun 2006 dilengkapi dengan Standar Isi dan Standar Kompetensi (Sisko) yang memandu sekolah menyusun Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Apabila dicermati, penyusunan kurikulum yang silih berganti di Indonesia itu menunjukkan betapa kekuasaan yang berlaku menancapkan kukunya dalam penentuan isi kurikulum. Menurut Bourdieu, setiap tindakan pedagogis yang bertujuan untuk mereproduksi kebudayaan dapat disebut kekerasan simbolis yang sah. Kekuatan kekerasan ini berasal dari hubungan kekuasaan sesungguhnya yang disembunyikan oleh kekuatan pedagogis. Kurikulum yang berlaku dalam suatu negara, termasuk Indonesia, sering digunakan sebagai sarana indoktrinasi dari suatu sistem kekuasaan. Umumnya para pendidik dan masyarakat luas tidak menyadari apa sebenarnya peranan kurikulum di dalam proses pembelajaran peserta didik. Dunia pendidikan memang sering kali menganggap bahwa kurikulum adalah soal teknis belaka. Namun, sebenarnya, berbicara tentang kurikulum adalah berbicara tentang sumber-sumber kekuasaan dalam dunia pendidikan. Kurikulum adalah program dan isi dari suatu sistem pendidikan yang berupaya melaksanakan proses akumulasi ilmu pengetahuan antargenerasi dalam suatu masyarakat. Dalam sebuah masyarakat yang homogen, masalah kurikulum tidak terlalu merisaukan. Namun dilihat dari konteks masyarakat yang majemuk seperti Indonesia, kurikulum adalah pertarungan antarkekuasaan yang hidup dalam suatu masyarakat. Kelompok masyarakat yang dominan akan mempertahankan kurikulum untuk mempertahankan dominasinya melalui sistem persekolahan. Sampai sejauh ini pendidikan di Indonesia menggunakan satu kurikulum, yaitu Kurikulum Nasional yang dipakai sebagai acuan tunggal. Semua lembaga pendidikan formal di negeri ini, baik di kota besar, pelosok gunung, maupun di pinggiran pantai, punya kurikulum sama. Dengan demikian, proses pendidikan yang diterapkan adalah dalam upaya membentuk keseragaman berpikir. Melalui proses pendidikan nasional, generasi muda Indonesia dibentuk oleh sistem pendidikan yang mengacu kepada politik etatisme. Melalui Kurikulum Nasional, pendidikan di Indonesia telah menjalani proses yang amat berlainan dengan perkembangan kebudayaan sehingga pendidikan di Indonesia bukan lagi sebagai persoalan kebudayaan, melainkan lebih sebagai kepentingan politik di satu sisi, dan kepentingan ekonomi di sisi lain. Dengan demikian, jika orang masuk ke lorong pendidikan di Indonesia, ia tidak menemukan proses berpikir kritis, tetapi justru menjadi terasing dari lingkungan sosialnya. Identitas kerakyatan Munculnya Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) tampaknya menunjukkan bahwa politik kebijakan pemerintah dalam pengembangan dan operasionalisasi kurikulum mulai desentralistis, akomodatif, dan terbuka. Meskipun demikian, efektivitas perubahan politik kebijakan tersebut dalam menjawab problem fungsional kurikulum masih harus dibuktikan. Melalui kebijakan KTSP, sekolah-sekolah diberi kebebasan menyusun kurikulum sendiri sesuai dengan konteks lokal, kemampuan siswa, dan ketersediaan sarana-prasarana. Kebebasan semacam itu tentu dilatari semangat pembaruan dalam bidang pendidikan yang selama ini dinanti. Pemberian kebebasan kepada sekolah dan guru ini bukan tanpa persoalan. Umumnya para guru yang memang tidak dipersiapkan untuk menyusun kurikulum, tidak cukup memiliki kompetensi dan kreativitas dalam menyiapkan kurikulum dan segenap perangkat pembelajaran. Belum lagi masih ada tuntutan ujian nasional di tengah disparitas mutu, kualitas guru, dan sarana-prasarana belajar yang sangat tajam antardaerah. Bagaimana KTSP menjadi kurikulum yang berfungsi sebagai pedoman dan sarana pencerdasan peserta didik? Menurut seorang pakar pendidikan dari Malanag, T Raka Joni, ketersampaian pesan pada kurikulum bukan bergantung pada materi pesan yang ingin disampaikan, melainkan lebih pada cara menyampaikan pesan (the process is the content, the medium is the message). Dia mengatakan, dampak proses penyampaian pesan itulah yang dimanfaatkan untuk menyampaikan sisi-sisi pesan pendidikan lainhumanisme, kerakyatan, nasionalisme, kebangsaanyang juga penting dalam kerangka tujuan utuh pendidikan. Akan tetapi, ini justru tidak tepat apabila disampaikan hanya dalam kerangka pikir content transmission model. Sebaliknya, sasaran-sasaran pembentukan seperti kebiasaan bekerja secara sistematis, kepekaan sosial, dan tanggung jawab harus diwujudkan sebagai dampak pengiring (nurturant effects) dari keterlibatan siswa dalam berbagai kegiatan dan peristiwa pembelajaran yang dialami siswa. Berdasarkan dampaknya kepada siswa, kurikulum dibedakan menjadi lima tataran, yaitu kurikulum ideal, formal, instruksional, operasional, dan eksperiensial. Kurikulum eksperiensial adalah makna dari pengalaman belajar yang terhayati oleh siswa sementara mereka terlibat dalam berbagai kegiatan dan peristiwa pembelajaran yang dikelola oleh guru dan sekolah. Oleh karena itu, kurikulum eksperiensiallah yang membuahkan dampak, dalam bentuk perubahan cara berpikir dan bertindak para siswa yang bersangkutan. Oleh karena itu, dilihat dari sudut pandang keberdampakan kurikulum terhadap tingkah laku siswa, pada dasarnya yang eksis hanyalah kurikulum lokalyang bisa dimanifestasikan dalam KTSPyang berupa pengalaman belajar yang di- gelar oleh guru dari hari ke hari. Ini berarti, kurikulum formal "tidak banyak bicara" tanpa penerjemahan yang setia di lapangan. KTSP sangat berpeluang untuk mewujudkan kurikulum sekolah yang beridentitas kerakyatan, artinya kurikulum yang benar-benar berpihak kepada khalayakdalam hal ini anak didikdalam konteks sosial-budaya dan kehidupan sehari-hari. Identitas dapat dicapai dengan penyusunan pengalaman belajar yang dikontekstualisasi dengan kebutuhan setempat. Dalam konteks Asmat yang berawa, misalnya, tentu pelajaran yang paling berguna adalah penguasaan alam, khususnya sungai serta pengelolaan sumber daya air dan laut. Anak-anak di Langsa, Aceh Timur, perlu belajar mengolah hasil laut, khususnya ikan dan rumput laut, yang selama ini belum tergarap, sedangkan anak-anak Halmahera sangat perlu mengembangkan kesenian tradisional dan bahasa yang beraneka ragam, penyelidikan flora dan fauna. Anak-anak di tempat lain pun mengembangkan pengalaman belajar yang sesuai dengan kebutuhan hidupnya dan masyarakatnya. Di sini kreativitas dan keberpihakan guru menjadi sangat penting. Sekolah bisa menjadi arena (field) anak-anak untuk membentuk habitus (kebiasaan) baru tanpa didominasi kepentingan sentralistis yang sebenarnya secara diam-diam masih ditengarai termuat dalam standar isi, standar kompetensi, dan kompetensi dasar yang disusun secara terpusat. Dengan demikian, kebebasan mengembangkan pengalaman belajar itu sungguh terjadi. Tujuan pendidikan yang sesuai kerangka Visi Indonesia 2030menciptakan masyarakat maju, sejahtera, mandiri, dan berdaya saing tinggidapat diarahkan. A FERRY T INDRATNO Magister Ilmu Religi dan Budaya Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta [Non-text portions of this message have been removed] Yahoo! Groups Links <*> To visit your group on the web, go to: http://groups.yahoo.com/group/dosen-peneliti/ <*> Your email settings: Individual Email | Traditional <*> To change settings online go to: http://groups.yahoo.com/group/dosen-peneliti/join (Yahoo! ID required) <*> To change settings via email: mailto:[EMAIL PROTECTED] mailto:[EMAIL PROTECTED] <*> To unsubscribe from this group, send an email to: [EMAIL PROTECTED] <*> Your use of Yahoo! Groups is subject to: http://docs.yahoo.com/info/terms/