MEDIA INDONESIA Senin, 20 Februari 2006
Kerugian Negara di Blok Cepu ADA sebuah kebiasaan yang sangat potensial merugikan negara. Yaitu, kebiasaan menunda menyelesaikan masalah. Persoalan dibuat terkatung-katung, mengambang dan menggantung, seakan sebuah persoalan akan dapat terselesaikan dengan sendirinya. Persoalan adalah persoalan. Bukan solusi. Menunda-nunda menyelesaikan masalah akan menghasilkan persoalan baru. Masalah justru beranak-pinak, berkembang biak, persoalan tunggal menjadi majemuk. Mengambil keputusan adalah lebih baik daripada membiarkan persoalan menjadi pending matters. Yang lebih celaka ialah bila sesuatu yang sudah gamblang diulur-ulur sehingga merugikan negara. Lebih celaka lagi karena kerugian yang ditimbulkan bilangannya sangat besar, tiap hari pula, sehingga mestinya mengejutkan jiwa anak bangsa yang sehat dan mengganggu akal yang waras. Itulah yang terjadi dengan terkatung-katungnya penyelesaian persoalan pengelolaan ladang minyak dan gas Blok Cepu. Blok migas ini memiliki cadangan minyak hampir 600 juta barel. Karena tidak kunjung diproduksi, dengan asumsi harga minyak US$60 per barel, pada puncak produksi 170 ribu barel per hari, negara (pemerintah pusat, Pertamina, dan pemerintah daerah) mengalami kehilangan pendapatan sebesar US$9,2 juta per hari. Itu baru dari minyak, belum lagi dari gas yang sangat potensial bahkan bisa memenuhi kekurangan gas di Pulau Jawa. Harus pula ditambahkan kehilangan efek berganda yang juga sangat besar, yaitu pembangunan berbagai sarana dan prasarana seperti jalan, perumahan, pasar, hotel, rumah sakit, yang timbul akibat berproduksinya Blok Cepu itu. Efek ganda ini besarnya 1,5 hingga empat kali investasi. Padahal, total investasi untuk seluruh blok US$2,6 miliar, sehingga menimbulkan efek berganda US$3,9 miliar hingga US$10,4 miliar. Belum lagi terhambatnya penciptaan lapangan kerja karena Blok Cepu bisa menyerap sebanyak 10 ribu tenaga kerja. Sebuah jumlah yang sangat besar yang telah disia-siakan karena pemerintah tidak mengambil keputusan yang jelas, tegas, dan cepat. Padahal, duduk perkara sangat gamblang telah diatur dalam memorandum of understanding (MoU) yang ditandatangani pemerintah, Pertamina, dan Exxon Mobil pada 25 Juni 2005. Dalam MoU itu semua pihak sepakat bekerja keras untuk menyelesaikan perjanjian selanjutnya dalam 90 hari. Dan, perkara yang paling mendasar pun jelas dan tegas diatur dalam MoU itu bahwa yang menjadi operator adalah Exxon Mobil. Oleh karena itu, sangat mengherankan pemerintah kemudian terombang-ambing mengenai masalah operator Blok Cepu ini. Lebih aneh lagi, Pertamina dibiarkan bertingkah. Padahal, tidak menghargai dan tidak menghormati MoU adalah sangat buruk bagi kredibilitas bangsa ini di mata internasional. Maka, sangat tepat ultimatum yang disampaikan Wakil Presiden Jusuf Kalla agar masalah pengelolaan ladang migas Blok Cepu itu selesai dalam seminggu. Demi kepentingan negara, siapa pun yang menghambat sebaiknya dicopot dari jabatannya dalam seminggu juga. [Non-text portions of this message have been removed] Ingin bergabung ke milis ekonomi-nasional? Kirim email ke [EMAIL PROTECTED] Yahoo! Groups Links <*> To visit your group on the web, go to: http://groups.yahoo.com/group/ekonomi-nasional/ <*> To unsubscribe from this group, send an email to: [EMAIL PROTECTED] <*> Your use of Yahoo! Groups is subject to: http://docs.yahoo.com/info/terms/