REPUBLIKA

Jumat, 10 Maret 2006


Mengurangi Beban Utang 
Sunarsip
Pengamat Ekonomi


Diskusi tentang utang Indonesia dari perspektif lain kembali dibuka. 
Setidaknya, ajakan untuk melihat persoalan utang dari sudut non-konvensional 
ini telah disampaikan oleh Menneg PPN/Kepala Bappenas, Paskah Suzetta, dan 
Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani. 

Kepala Bappenas setidaknya telah mengeluarkan dua gagasan penting. Pertama, 
perlunya Indonesia mendapatkan pemotongan utang luar negeri. Kedua, bersama 
Menkeu Sri, Paskah mengeluarkan ide untuk mempercepat pembayaran utang kepada 
IMF. 

Sedangkan Menkeu dalam acara Workshop On Debt Sustainability and Development 
Strategies beberapa waktu lalu, menyatakan perlu adanya pandangan baru baik 
dari negara HIPC, negara berkembang tapi dengan belitan utang, dan kreditor 
dalam strategi mengelola utang. 

Menkeu mengusulkan agar pencapaian tujuan Millenium Development Goal's (MDG's) 
dijadikan sebagai standar baru dalam pengelompokan level negara debitor 
berdasarkan kesinambungan pengelolaan utang luar negeri. Menurutnya, penggunaan 
kriteria pembangunan SDM dan sosial antara lain dalam pencapaian tujuan MDG's 
relatif lebih sensitif menangkap kondisi riil keuangan suatu negara terkait 
dengan utang luar negeri yang dipikul pemerintah yang bersangkutan.

Menkeu menyatakan negara kreditor saat ini masih menggunakan pendekatan klasik 
dalam pengelompokan kemampuan pengelolaan negara debitor. Di antaranya dengan 
penghitungan rasio utang dibandingkan dengan PDB. Padahal, fakta menunjukkan, 
banyak negara dengan debt sustainability level menurut ukuran itu dianggap 
sustainable, tapi mengalami kesulitan yang nyata dalam menjalankan fungsi 
pembangunan. 

Menkeu mengusulkan agar kreditor juga mempertimbangkan kemampuan APBN suatu 
negara dalam melakukan investasi ke sektor sosial, perbaikan kualitas SDM, dan 
penyediaan infrastruktur dalam penghitungan level kemampuan pengelolaan utang 
itu. Menurutnya, perlu pendekatan dual track untuk memperbaiki perspektif 
kreditor dan debitor, sekaligus didukung benchmark sebagai pedoman untuk 
mendefinisikan kembali debt sustainability. 

'Angin baru'
Meski bukan hal baru, apa yang disampaikan Kepala Bappenas dan Menkeu 
setidaknya memberi 'angin baru'. Kebanyakan pemikiran yang berkembang 
konservatif, terlalu text book, dan terkesan miskin inovasi. Padahal, perlunya 
pendekatan alternatif telah ada sejak lama. Setidaknya, peringatan tentang 
bahaya utang bagi kelangsungan investasi sosial telah dinyatakan Rizal Ramli 
pada tahun 1991.

Penulis sering membaca pendapat yang menyatakan kita harus hati-hati dengan ide 
meminta pemotongan utang dan upaya sejenisnya, sebab bisa mengurangi 
kredibilitas Indonesia di mata kreditor dan investor. Menurut pendapat ini, 
tidak masalah kita punya utang besar sepanjang manageble dan sustainable. Ide 
pemotongan utang dianggap kurang tepat. Kalaupun diupayakan akan menemui 
kesia-siaan.

Dimulainya diskusi tentang perlunya pandangan baru dalam melihat utang 
pemerintah ini, setidaknya menunjukkan ada yang kurang tepat dari tesis 
konvensional. Tinggal bagaimana pandangan baru tersebut didorong menjadi 
kebijakan, tidak sekedar wacana. 

Ada baiknya studi bahwa ada negara dengan kriteria debt sustainability level 
dianggap sustainable, tapi mengalami kesulitan nyata dalam menjalankan fungsi 
pembangunan, dapat dimulai dari Indonesia. Penulis tidak yakin kita tidak 
mengalami kesulitan dalam menjalankan fungsi pembangunan SDM dan sosial 
sebagaimana tujuan MDG's. Coba tengok, berapa anggaran untuk pendidikan dan 
kesehatan serta infrastruktur?

Sebagai contoh, idealnya anggaran sektor kesehatan adalah 15 persen dari total 
anggaran nasional. Tapi faktanya, proporsi anggaran sektor kesehatan rata-rata 
kurang dari lima persen. Sejauh ini, pembiayaan kesehatan dari pemerintah hanya 
30 persen, 70 persen dari masyarakat dan swasta. Tidak mengherankan biaya 
kesehatan menjadi sangat mahal bagi kebanyakan masyarakat.

Studi-studi inilah yang dapat dijadikan argumentasi bagi Indonesia --tentu bila 
faktanya demikian, tetapi penulis yakin akan demikian-- untuk mendapat 
keringanan atas beban utang yang kita alami. Kalau langkah ini berhasil 
meyakinkan kreditor dan bisa mendapatkan keringanan utang --dengan pemotongan 
utang atau debt moratorium, selain akan menguntungkan kita, juga bisa menjadi 
preseden yang baik bagi negara berkembang lain untuk melakukan hal yang sama. 
Dan Indonesia akan tercatat sebagai pelopor dalam pengembangan ide-ide 
alternatif dalam pengurangan beban utang. 

Data menunjukkan, jumlah utang luar negeri pemerintah ke swasta (komersial) 
tidaklah besar, jauh lebih besar kepada kreditur negara dan lembaga 
multilateral. Utang luar negeri komersial ini antara lain berasal dari pinjaman 
sindikasi maupun dari penerbitan obligasi internasional. Obligasi internasional 
kita per 31 Desember 2005 sebesar 3,5 miliar dolar AS. 

Negosiasi dengan negara kreditur dan lembaga multilateral untuk pengurangan 
beban utang lebih mudah dibandingkan dengan swasta, sehingga peluang untuk 
menyelesaikan utang dengan mekanisme G to G dan G to multilateral lebih mungkin 
memperoleh hasil, karena pertimbangan kesinambungan pembangunan sosial ekonomi 
Indonesia.

Dual track
Satu hal yang patut dicatat, meski utang luar negeri --dan juga utang domestik 
kita-- dikatakan masih manageble dan sustainable, faktanya jumlah belanja APBN 
kita untuk membayar utang jauh lebih besar dibandingkan belanja pegawai. 
Implikasinya, pengetatan pengeluaran pemerintah dan usaha-usaha pemerintah 
untuk meningkatkan pendapatan pajak belum berhasil meningkatkan pengeluaran 
netto pemerintah, karena beban cicilan yang besar. Dampak lainnya terasa dalam 
bentuk berkurangnya kemampuan keuangan pemerintah untuk membiayai pembangunan 
infrastruktur dan investasi sosial.

Salah satu aspek yang turut mempengaruhi kemampuan pemerintah untuk membayar 
cicilan utang adalah struktur pemilikan hasil ekspor. Sejak 1986, struktur 
ekspor kita telah mengalami perubahan dratis: dari dominasi ekspor migas ke 
ekspor nonmigas. Bila pendapatan ekspor migas sepenuhnya yang menjadi milik 
pemerintah, maka ekspor nonmigas hanya sebagian kecil yang masuk ke kas negara 
melalui mekanisme perpajakan. 

Perubahan struktur ekspor tersebut berdampak pada kemampuan pemerintah dalam 
membayar cicilan utang. Karena pendapatan pemerintah dari ekspor migas semakin 
kecil, sementara penerimaan pajak dari ekspor nonmigas tidak mampu meng-cover 
kehilangan pendapatan dari ekspor migas.

Untuk membayar utang luar negeri, pemerintah melakukan pengurangan pengeluaran, 
menaikkan pajak, dan juga bisa meminjam dari sumber-sumber masyarakat di dalam 
dan luar negeri melalui penerbitan obligasi. Langkah ini dilakukan karena ruang 
untuk pengetatan anggaran dan peningkatan pendapatan pajak semakin sempit.

Namun, perlu diingat bahwa penerbitan obligasi di dalam negeri sesungguhnya 
juga bisa menimbulkan masalah lain. Cara ini bisa meningkatkan tingkat bunga di 
dalam negeri karena pemerintah harus menawarkan bunga yang semakin tinggi agar 
masyarakat berminat membeli obligasi pemerintah. Implikasinya bisa menimbulkan 
crowding out effect bagi swasta, sehingga memperlambat investasi dan mendorong 
stagnasi ekonomi. 

Struktur bunga obligasi pemerintah (dalam negeri) kita memang semakin baik. 
Bila pada 1999-2002 bunga obligasi rupiah berkisar antara 12-15 persen, pada 
2003-2005 bunganya hanya berkisar 9-12 persen, meski pada September 2005 
kembali naik ke angka 15 persen (FR0032). Yang patut diwaspadai, kenapa tingkat 
bunga obligasi internasional kita justru semakin besar, yaitu dari 6,75 persen 
(RI0014) menjadi 8,5 persen (RI0035). Padahal, obligasi internasional justru 
rentan terhadap pergerakan kurs mata uang.

Kondisi ini menunjukkan pengelolaan utang pemerintah semakin membaik. 
Pemerintah telah belajar banyak dari kegagalan masa lalu dalam pengelolaan 
utang yang kemudian menimbulkan krisis keuangan 1997-2000. Namun demikian, efek 
pengurangan beban utang dengan cara seperti ini sesungguhnya masih relatif 
kecil.

Berdasarkan analisis ini, kesimpulan yang dapat ditarik adalah pengelolaan 
utang kita memang semakin baik dan utang kita telah berada dalam level yang 
dapat dianggap sustainable setidaknya menurut kriteria yang ada. Namun, dari 
sisi tujuan pembangunan SDM dan investasi sosial, keberadaan utang ini jelas 
membebani.

Dengan demikian, solusi penyelesaian utang secara dual track menjadi sangat 
penting. Dual track yang dimaksud adalah kita wajib memperbaiki struktur utang 
melalui manajemen utang yang lebih baik ini telah dilakukan Pemerintah namun 
negosiasi utang melalui pendekatan alternatif (dengan argumentasi kriteria 
MDG's) tetap perlu dilakukan. Tanpa solusi dual track ini, rasanya sulit kita 
bisa mempercepat akselerasi kesejahteraan ekonomi rakyat.

Ikhtisar
- Ajakan untuk melihat utang dari sudut nonkonvensional mulai dibuka. 

- Meneg PPN/Kepala Bappenas menyatakan perlunya Indonesia mendapatkan 
pemotongan utang luar negeri dan mempercepat pembayaran utang kepada IMF. 

- Menkeu menyatakan perlu pandangan baru dalam strategi mengelola utang dengan 
menjadikan pencapaian tujuan MDG's sebagai standar baru pengelompokan level 
negara debitor. 

- Selama ini ada yang menyatakan kita harus hati-hati dengan ide meminta 
pemotongan utang dan upaya sejenisnya. Sebab bisa mengurangi kredibilitas 
Indonesia di mata kreditor dan investor, sehingga tidak masalah kita punya 
utang besar sepanjang manageble dan sustainable.

- Utang komersial terbesar kita dari kreditur negara dan lembaga multilateral. 
Antara lain pinjaman sindikasi maupun maupun dari penerbitan obligasi 
internasional. Obligasi internasional kita per 31 Desember 2005 sebesar 3,5 
miliar dolar AS. 

- Meski utang luar negeri dikatakan masih manageble dan sustainable, faktanya 
jumlah belanja APBN kita untuk membayar utang jauh lebih besar dibandingkan 
belanja pegawai. Dampak beban cicilan utang yang besar antara lain terasa dalam 
bentuk berkurangnya , kemampuan keuangan pemerintah untuk membiayai pembangunan 
infrastruktur dan investasi sosial.


[Non-text portions of this message have been removed]



Ingin bergabung ke milis ekonomi-nasional?
Kirim email ke [EMAIL PROTECTED] 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/ekonomi-nasional/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    [EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 


Kirim email ke