Rasanya masih mending jika jadi BOEROEH Broer!

Jika diliat dari ayat-ayat dibawah ini..

*Ar Ruum 30:28*
Dia membuat perumpamaan untuk kamu dari dirimu sendiri. Apakah ada diantara
*hamba-sahaya* yang dimiliki oleh tangan kananmu, *sekutu bagimu dalam
(memiliki) rezeki* yang telah Kami berikan kepadamu; maka *kamu sama dengan
mereka* *dalam* *rezeki* *itu*, kamu takut kepada mereka sebagaimana kamu
takut kepada dirimu sendiri? Demikianlah Kami jelaskan ayat-ayat bagi kaum
yang berakal.

*An Nahl 16:71*
Dan Allah melebihkan sebahagian kamu dari sebahagian yang lain dalam hal
rezeki, tetapi *orang-orang yang dilebihkan (rezekinya itu) tidak mau
memberikan rezeki mereka kepada budak-budak yang mereka miliki*, *agar
mereka sama (merasakan) rezeki* itu. Maka mengapa mereka mengingkari nikmat
Allah?
Jangan-jangan sudah jadi budak, atau lebih rendah lagi...
Kacian deh...!

2009/5/27 rifky pradana <rifkyp...@yahoo.com>
>
> Slogan
> tentang ‘een natie van koelias
> en een koelie onder de naties’ atau ‘negara kuli dan kulinya bangsa lain’,
apakah masih
> relevan untuk kondisi hari ini ?. Ataukah hanya relevan dengan situasi
zaman
> kolonial pra Proklamsi Kemerdekaan tahun 1945 saja ?.
>
> Jika bangsa kita, kaum bumiputera hanya
> menjadi ‘buruh’ di negeri sendiri sedangkan sang ‘majikan’ tetaplah bangsa
> asing, maka itu masih sangat relevan sampai hari ini.
>
> Koeli
> Ordonantie nomor 78, barangkali dapat menjadi referensi tentang relevansi
> tentang suratan takdir bumiputera negeri ini yang di zaman kolonial
hanyalah
> sebagai ‘koeli’ -Proklamasi Kemerdekaan 1945 tidaklah merubah
> nasibnya- di hari ini tetap saja hanya
> sebagai ‘boeroeh’.
>
> Dulu
> hanya ‘KOELI’ sekarang pun tetap hanya ‘BOEROEH’ !.
>
> Overview :
>
> Inilah
> cerita dari zaman Koeli Ordonantie yang pada awalnya peraturan nomor 138
yang
> dikeluarkan oleh Gubernur Jenderal Hindia Belanda bermaksud baik dan mulia
> untuk menciptakan iklim investasi yang kondusif seraya membuka lapangan
kerja
> bagi para penganggur yang miskin.
>
> Demikian
> perhatiannya pemerintah kolonial Hindia Belanda dalam regulasi
ketenagakerjaan
> ini untuk mendorong maraknya laju investasi sektor perkebunan tembakau di
Deli,
> sehingga dalam perkembangannya setelah 10 tahun kemudian dilakukan revisi
> peraturan Koeli Ordonantie dengan surat keputusan Gubernur Jenderal
pemerintah
> kolonial Hindia Belanda nomor 78.
>
> Akan tetapi kenyataannya sejarah mencatat lain,
> peraturan Koeli Ordonantie nomor 138 dan revisinya Koeli Ordonantie nomor
78
> itu ternyata lebih mengikat dan merugikan kepentingan para koeli.
>
> Posisi
> tawar yang lemah dari para koeli dibandingkan posisi tawar yang dimiliki
oleh
> para tuan atau ondernemer, ditambah dengan lemahnya fungsi pengawasan dari
para
> aparat pegawai pemerintah kolonial Hindia Belanda dalam segala tingkatan
dan
> segala jenjang eselon telah membuat cerita bagaikan horor dalam khayalan
saja.
>
> Aparat
> yang bermental koruptor dan memeras serta lebih suka berpihak kepada para
> ondernemer yang memberinya amplop uang suap itu, telah membuat cerita yang
> layaknya hanya ada dalam cerita horor pada dongeng khayalan saja itu,
kemudian
> menjelma menjadi cerita nyata yang tercatat dengan tinta warna darah dalam
> sejarah.
>
> Sebuah
> cerita tentang kepedihan pada suatu waktu di masa lampau yang pernah
menimpa warganegara
> bumiputera yang menjadi para koeli.
>
> Namun sepedih dan seperih apapun cerita
> kehidupannya, toh tak menjadikan para koeli bumiputera itu mati dan musnah
> seperti layaknya genoside.
>
> Mereka para koeli itu ternyata masih bertahan
> hidup dan dapat hidup seperti manusia bernyawa pada umumnya seperti
> beranak-pinak hingga turun temurun yang keturunannya masih eksis berlanjut
> sampai dengan hari ini.
>
> Dan hari ini kita mendapatkan berkah warisan dari
> peraturan Koeli Ordonantie berupa hasil banjir investasi pada waktu itu
yang
> hari ini berupa aset produktif dalam bentuk tanah-tanah perkebunan
tembakau di Deli
> yang mutu tembakaunya sangatlah terkenal diseluruh dunia sebagai yang
terbaik
> untuk bahan cerutu.
>
> Tentunya
> aset produktif penghasil devisa bagi negara yang merupakan aset bangsa itu
akan
> meningkatkan kesejahteraan kehidupan rakyat Indonesia yang sebagian
diantaranya
> merupakan anak keturunan dari para koeli orang
> Jawa zaman Koeli Ordonantie.
>
> Walau agak berbeda dengan yang terjadi pada zaman
> ini, namun esensinya sama mekanisme secara tak langsung bagi pemaksaan
kontrak kerja
> dengan upah yang rendah dengan klausul kontrak yang hanya memberikan
> perlindungan yang minim bagi para buruh.
>
> Pada
> masa lalu, kondisi dan situasi dimana para koeli terhimpit oleh tumpukan
hutang
> piutangnya kepada para tuan juragan perkebunan
> yang tak terbayarkan oleh para koeli itu dijadikan senjata pemaksa oleh
para
> administratur perkebunan untuk menekan para koeli agar menerima kontrak
kerja
> dengan upah rendah untuk jangka waktu yang relatif lama.
> Sedangkan
> hari ini, kondisi dan situasi dimana kesempatan kerja yang terbatas dan
> menumpuknya hutang piutang kepada pihak lain
> akibat biaya hidup sehari-hari dan tungakan angsuran kredit barang
konsumtif
> yang dijadikan senjata pemaksa oleh para administratur perusahaan untuk
menekan
> para buruh agar menerima kontrak kerja dengan upah rendah untuk jangka
waktu yang
> relatif pendek dengan klausul kontrak yang hanya memberikan perlindungan
yang
> tak memadai bagi para buruh..
>
> Apakah hanya karena faktor pengawasan dalam
> praktiknya saja maka Koeli Ordonantie mendatangkan kesengsaraan bagi para
koeli
> ?.
>
> Sesungguhnya
> tak hanya karena itu. Pemerintah kolonial Hindia Belanda sendiri sebagai
sebuah
> pemerintahan penjajah pada hakikatnya tak pernah memikirkan nasibnya para
koeli
> bumiputera.
>
> Pemerintah
> kolonial Hindia Belanda pada hakikatnya hanya memikirkan bagaimana
investasi
> pada sektor produktif lancar sehingga ekspor komoditi andalannya menjadi
lancar
> dan semakin meningkat serta pada giliran akhirnya akan mengalirkan
keuntungan
> finansial bagi kas pemerintah kolonial serta menggendutkan kantung para
> pejabatnya, sehingga Koeli Ordonantie nomor 138 dan nomor 78 sesungguhnya
> mempunyai banyak celah yang sengaja dibuat untuk memihak kepada
kepentingan
> para investor ondernemernya saja.
>
> Ada sebuah pepatah yang mengatakan berakit-rakit ke hulu berenang-renang
> ke tepian, bersakit-sakit dahulu bersenang-senang kemudian.
>
> Tentunya tak berlebihan jika para
> warganegara bumiputera bangsa Indonesia menginginkan walaupun
> pada masa dahulu hanya menjadi Koeli saja, namun setelah kemerdekaan pada
masa
> kini inginlah menjadi tuan majikan di negerinya sendiri.
>
> Apakah
> pantas jika pada masa lampau di zaman Kolonial para warganegara bumiputera
> ditakdirkan hanya sebagai ‘koeli’ yang terjajah
> dan menderita, kemudian pada masa kini di zaman Kemerdekaan pun para
> warganegara bumiputera tetap saja ditakdirkan hanya
> sebagai ‘buruh’ yang masih tetap tertindas dan masih tetap
> menderita ?.
>
> Apakah dengan demikian itu maka slogan peringatan
> bagi kita yang mengatakan bahwa ‘een natie van
> koelias en een koelie onder de naties’ atau ‘negara kuli dan kulinya
bangsa lain’ itu sesungguhnya
> telah menjadi suratan takdir dari nasib bagi sepanjang
> kehidupannya
> orang-orang bumiputera di negerinya sendiri ini ?.
>
> Apakah
> cukup dengan mengatakan bahwa itu adalah kesalahannya sendiri, pemerintah
dan
> negara tak punya kewajiban untuk melakukan upaya merubah suratan takdir
bagi nasibnya
> orang-orang bumiputera di negerinya sendiri ini ?.
>
> Selengkapnya
> :
>
> J Nienhuis, seorang pengusaha Belanda -bersamaan dengan beralih haluannya
> pemerintah kolonial Hindia Belanda menjadi berpaham ‘ekonomi liberal’
dalam
> mengelola ekonomi Hindia Belanda- pada tahun 1863 memulai menanamkan
investasi
> modal dengan membuka perekebunan tembakau di Deli, Sumatera Utara.
>
> Hasil
> ekspor tembakau Deli ini kemudian menguasai pasar Eropa karena mempunyai
mutu
> yang sangat baik untuk bahan pembuat cerutu.
>
> Maka
> mulailah Deli dibanjiri investasi besar-besaran dari para investor Eropa
> terutama dari para pengusaha negeri Belanda dalam investasi disektor
perkebunan
> tembakau.
>
> Penduduk Deli dan sekitarnya, pada tahun 1874
> hanya berjumlah sekitar 32.000 orang yang terdiri dari 20.000 orang Batak
dan
> 12.000 orang Melayu.
>
> Keadaan
> ini tentunya tak menunjang bagi terciptanya iklim investasi yang kondusif
untuk
> mendukung percepatan dan perkembangan penanaman modal di sektor perkebunan
> tembakau. Dikarenakan itu maka para investor mulai mendatangkan tenaga
kerja
> dari orang Cina asal Malaka.
>
> Namun rupanya upaya itu belum cukup untuk
> mendukung iklim yang kondusif bagi pesatnya investasi di bidang perkebunan
> tembakau di deli. Untuk itu pada tahun 1879 dibentuklah organisasi yang
diberi
> nama ‘Deli Planters Vereeniging’ dengan tujuan untuk mengordinasikan
> perekrutan tenaga kerja yang murah dalam rangka mendukung banjirnya
investasi
> perkebunan tembakau di Deli.
>
> Selanjutnya,
> Deli Planters Vereeniging ini membuat kontrak dengan sejumlah biro pencari
> tenaga kerja untuk mendatangkan buruh buruh murah. Maka mulailah
didatangkan
> secara besar-besaran kuli-kuli dari orang Jawa asal daerah Jawa Tengah dan
Jawa
> Timur.
>
> Dengan perantaraan para Lurah, para Kepala Desa,
> para calo tenaga kerja, berduyun-duyun para pemuda yang sebagian besar
adalah
> para penganggur mulai meninggalkan kampung halamannya menuju tanah harapan
> untuk memperbaiki kehidupannya. Mereka kemudian diangkut ke Batavia, dan
disini
> para pemuda itu menandatangani kontrak kerja yang saat itu disebut sebagai
‘Koeli Ordonantie’.
>
> Koeli Ordonantie ini dibuat berdasarkan peraturan
> ketenagakerjaan yang dikeluarkan oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda
> melalui Keputusan Gubernur Jenderal Nomor 138. Pada perkembangannya
peraturan ketenagakerjaan
> ini mengalami revisi melalui Keputusan Gubernur Jenderal Nomor 78.
>
> Peraturan
> ini ini cukup komprehensif untuk ukuran waktu itu. Peraturan yang
dikeluarkan
> oleh Gubernur Jenderal pemerintah kolonial Hindia Belanda ini juga cukup
> berimbang, dalam arti tak hanya memuat ketentuan untuk melindungi
kepentingan
> para tenaga kerja atau saat itu disebut sebagai ‘koeli’, namun juga
memberikan kepastian hukum untuk melindungi
> kepentingan para investor dan pengusaha demi menjaga iklim yang kondusif
bagi
> terjaminnya kelancaran penanaman modal dan investasi.
>
> Beberapa aturan pada beberapa pasalnya bertujuan
> untuk melindungi kepentingan para tenaga kerja, seperti hak para koeli
untuk
> meminta dikirimkan dan diongkosi kepulangannya kembali ke kampung
halamannya bila
> masa kerja pada kontrak kerjanya telah usai. Juga tentang hak para koeli
untuk
> mendapatkan tempat tinggal dan MCK serta makan maupun upah yang
selayaknya. Tak
> lupa juga para koeli diberikan pas keterangan untuk mengadukan perlakuan
para
> ondernemer yang tak sesuai dengan ketentuan dalam kontrak.
>
> Hebatnya
> lagi, pemerintah kolonial Hindia Belanda dalam peraturan ketenagakerjaan
atau
> Koeli Ordonantie ini mengharuskan para biro pencari tenaga kerja untuk
> memberikan honorarium awal kepada para koeli setelah menanda tangani
kontrak
> kerja, walaupun belum efektif bekerja karena belum sampai ke tempat tujuan
> kerjanya. Uang honorarium awal itu, pada saat itu disebut sebagai ‘uang
panjar’.
>
> Pemerintah kolonial Hindia Belanda juga cukup
> cerdas dan arif bijaksana. Dalam rangka menjaga stabilitas dan harmonisasi
di
> daerah tujuan penanaman modal dan investasi itu, maka beberapa pasalnya
memuat
> aturan yang memastikan para koeli untuk mematuhi hukum dan peraturan yang
berlaku
> di daerah itu. Para koeli juga diwajibkan untuk mencatatkan diri di
Pemerintah
> Daerah setempat.
>
> Pemerintah kolonial Hindia Belanda yang sangat
> berkepentingan menciptakan iklim yang kondusif untuk memajukan dan
mendorong
> laju pertumbuhan ekspornya juga membuat peraturan yang bertujuan
melindungi kepentingan
> para investor sebagai penanam modal dan pengusahanya.
>
> Beberapa aturannya mencakup juga ketentuan jam
> kerja selama 10 jam sehari yang harus dipatuhi oleh para koeli.
>
> Aturan
> yang memastikan para koeli akan melaksanakan pekerjaannya selama masa
kontrak
> kerja, serta tak boleh meninggalkan dan melarikan diri dari tempat
bekerjanya.
> Untuk itu para koeli akan dihukum jika desersi, melarikan diri, melawan
perintah,
> melawan dan mengancam atasan, menghasut, mengganggu ketenangan kerja,
> bermabuk-mabukan, berkelahi, dan sebagainya yang akan mengganggu
kelancaran
> proses produksi.
>
> Selanjutnya, setelah menandatangani kontrak dan
> mendapatkan uang panjar, para koeli itu -pada masa itu biasa disebut
sebagai ‘koeli kontrak’- diangkut dengan kapal laut menuju ke Deli
Sumatera..
>
> Perjalanan
> ini memakan waktu yang cukup lama, mengingat kecepatan kapal laut pada
waktu
> itu belumlah secepat kapal laut zaman ini. Dan tentunya fasilitas yang ada
di
> kapal laut pada waktu itu pun belumlah semodern dan senyaman kelengkapan
dan
> fasilitas kapal laut pada zaman kemerdekaan ini.
>
> Namun sejarah ternyata mencatat hal yang lain dari
> apa yang menjadi maksud semula dari peraturan ‘Koeli Ordonantie’ yang
> dikeluarkannya Gubernur Jenderal Hindia Belanda, bahkan peraturan
> ketenagakerjaan ini dalam perkembangannya sempat direvisi untuk
menyempurnakannya.
>
> Maksud
> baik dan mulia dari pemerintah kolonial Hindia Belanda agar tercipta iklim
> investasi yang kondusif seraya membuka lapangan kerja bagi para penganggur
yang
> miskin, ternyata lebih mengikat dan merugikan kepentingan para koeli.
>
> Inilah awal dari zaman cerita yang didalam sejarah
> dicatat sebagai zaman penuh penderitaan bagi para koeli orang-orang Jawa.
> Begitu mengenaskan sehingga ada catatan dalam sejarah yang mencatat
beberapa
> penggal kisah para koeli orang Jawa ini bagaikan cerita kehidupan para
budak
> saja layaknya.
>
> Posisi
> tawar yang lemah dari para koeli dibandingkan posisi tawar yang dimiliki
oleh
> para tuan atau ondernemer, ditambah dengan lemahnya fungsi pengawasan dari
para
> aparat pegawai pemerintah kolonial Hindia Belanda dalam segala tingkatan
dan
> segala jenjang eselon yang bermental koruptor dan memeras serta lebih suka
> berpihak kepada para
> ondernemer yang memberinya amplop uang suap itu
> telah membuat cerita yang layaknya hanya ada dalam cerita pada dongeng
khayalan
> saja itu kemudian menjelma menjadi cerita nyata tercatat dalam sejarah,
bahwa cerita
> pedih layaknya khayalan itu pada suatu waktu di masa lampau telah pernah
> menimpa warganegara bumiputera yang menjadi para koeli.
>
> Setelah tiba di onderneming, para ‘koeli orang
> Jawa’ bekerja dibawah pengawasan mandor yang bertanggung-jawab atas
disiplin
> kerja dari para koeli yang dipimpinnya.
>
> Para
> mandor ini mendapatkan upah sebesar 7,5% dari hasil kelompok upah para
koeli
> yang dipimpinnya.
>
> Pada
> umumnya para pemilik perkebunan menerapkan suatu bentuk organisasi dengan
> hirarki dimana kinerja para mandor ini diawasi oleh mandor kepala, dan
selanjutnya
> para mandor kepala ini diawasi oleh asisten pengawas. Seterusnya, para
asisten
> pengawas ini bertanggungjawab kepada administratur perkebunan. Selanjutnya
para
> administratur ini
> bertanggungjawab kepada tuan juragannya yaitu para
> investor yang memiliki perkebunan itu.
>
> Pada
> masa itu, yang paling berpengaruh dan paling berkuasa atas para koeli
adalah
> para atasan langsungnya yaitu para mandor dan mandor kepala, mereka ini
yang
> paling sering melakukan pemerasan terhadap para koeli.
>
> Begitu
> berkuasanya para mandor ini, sehingga para koeli jika ditanya dimana dia
> bekerja, maka jawabannya bukan menyebutkan nama onderneming tempat
bekerjanya,
> akan tetapi akan menyebutkan siapa nama mandor dan nama mandor kepalanya.
>
> Namun pemerasan yang dialami oleh para koeli bukan
> hanya dari pemerasan langsung yang dilakukan oleh mandor dan mandor
kepalanya
> saja, para calo dan juga tuan juragan atau ondernemer secara tak langsung
juga
> melakukan pemerasan.
>
> Hutang
> dan biaya yang diangggap sebagai hutang -seperti biaya transportasi dari
Jawa ke
> Deli, biaya makan, biaya pengobatan, biaya tempat tinggal- dengan
> upahnya yang minim itu seringkali baru dapat terbayarkan lunas setelah
para
> koeli bekerja selama lebih dari 3 tahun kontrak kerja.
>
> Hutang piutang ini sengaja dipupuk untuk mengikat
> para koeli ini, sengaja diciptakan situasi dan keadaan yang akan membuat
para
> koeli semakin menumpuk hutang kepada para ondernemer.
>
> Pada
> masa itu, opium adalah barang yang legal, para administratur senagaja
memakai
> ketagihan mengkonsumsi opium ini sebagai sarana menumpuk hutang bagi para
koelinya.
>
> Tak
> cukup hanya itu, pada setiap tahunnya biasanya bertepatan dengan perayaan
yang
> diadakan pada akhir masa kontrak bagi sebagian koelinya, didatangkan
> pertunjukan yang disertai para bandar jugi yang menggelar arena perjudian.
> Kemudian para koeli termasuk para koeli yang lagi merayakan berakhirnya
masa
> kontrak kerjanya oleh para administrtur
> melalui para mador kepalanya, dipinjami uang untuk
> berjudi..
>
> Walau berbeda zaman namun apa yang terjadi pada
> zaman lalu dengan yang terjadi pada masa kini mempunyai esensi yang sama,
yaitu
> mekanisme pemaksaan secara tak langsung bagi kontrak kerja dengan upah
yang
> rendah.
>
> Pada
> masa lalu, kondisi dan situasi dimana para koeli terhimpit oleh tumpukan
hutang
> piutangnya kepada para tuan juragan perkebunan yang tak terbayarkan oleh
para
> koeli itu dijadikan senjata pemaksa oleh para administratur perkebunan
untuk
> menekan para koeli agar menerima kontrak kerja dengan upah rendah untuk
jangka
> waktu yang relatif lama.
>
> Sedangkan
> hari ini, kondisi dan situasi dimana kesempatan kerja yang terbatas dan
> menumpuknya hutang piutang kepada pihak lain akibat biaya hidup
sehari-hari dan
> tungakan angsuran kredit barang konsumtif, dijadikan senjata pemaksa oleh
para
> administratur perusahaan untuk menekan para buruh agar menerima kontrak
kerja
> dengan
> upah rendah untuk jangka waktu yang relatif
> pendek.
>
> Berbeda
> namun esensinya sama, upah rendah dengan klausul kontrak yang hanya
memberikan perlindungan
> yang tidak memadai bagi kepentingan peningkatan kesejahteraan hidup para
buruh.
>
> Keperihan dari konsekuensi kemiskinan yang
> dialaminya tak hanya soal jeratan hutang piutang yang berkonsekuensi
kontrak
> kerja dengan upah rendah untuk jangka waktu yang relatif lama.
>
> Kondisi
> kerja juga menyedihkan, para koeli akan tetap bekerja meskipun kondisi
fisiknya
> nyaris tak mampu berdiri.
>
> Jika
> mereka, seorang koeli sakit sehari maka mereka tidak akan mendapatkan upah
> seharinya. Serta jika sakitnya melebihi 30 hari, maka para pimpinan
perkebunan secara
> sepihak berhak memperpanjang masa kontrak kerja koeli itu sesuai jumlah
hari
> koeli itu tidak bekerja.
>
> Aturan pemerintah kolonial Hindia Belanda dalam
> Koeli Ordonantie yang semula bermaksud mulia, melindungi hak koeli namun
> sekaligus juga melindungi investasi para investor perkebunannya, ternyata
pada pelaksanaannya
> telah diselewengkan oleh para pemilik perkebunan.
>
> Aturan
> yang memastikan para koeli akan melaksanakan pekerjaannya selama masa
> kontrak kerja, serta tak boleh meninggalkan dan
> melarikan diri dari tempat bekerjanya, serta hak menghukum para koeli yang
> desersi, melarikan diri, melawan perintah, melawan dan mengancam atasan,
menghasut,
> mengganggu ketenangan kerja, bermabuk-mabukan, berkelahi, dan sebagainya
yang
> akan mengganggu kelancaran proses produksi, telah
> diselewengkan makna tujuannya untuk menghukum para
> koeli yang membangkang dengan hukuman yang kejam.
>
> Sangsi
> penjara, dirantai, dihukum cambuk, direndam air, tidak diberi makan dan
minum
> adalah hal yang lumrah saja dan jamak dilakukan oleh para pemilik
perkebunan
> kepada para koeli bumiputera.
>
> Semua
> itu tak lepas dari lemahnya pengawasan yang dilakukan oleh para oknum
aparatur
> pemerintahan kolonial Hindia Belanda, bahkan sesungguhnya mereka itu
menutup
> saja terhadap praktik-praktik ini.
>
> Apakah hanya karena faktor pengawasan dalam
> praktiknya saja maka Koeli Ordonantie mendatangkan kesengsaraan bagi para
koeli
> ?.
>
> Sesungguhnya
> tak hanya karena itu. Pemerintah kolonial Hindia Belanda sendiri sebagai
> sebuah pemerintahan penjajah pada hakikatnya tak
> pernah memikirkan nasibnya para koeli bumiputera.
>
> Pemerintah
> kolonial Hindia Belanda pada hakikatnya hanya memikirkan bagaimana
investasi
> pada sektor produktif lancar sehingga ekspor komoditi andalannya menjadi
lancar
> dan semakin meningkat serta pada giliran akhirnya akan mengalirkan
keuntungan
> finansial bagi kas pemerintah kolonial serta menggendutkan kantung para
> pejabatnya
>
> Itu
> semua mengakibatkan ‘Koeli Ordonantie nomor 138’ dan ‘Koeli Ordonantie
nomor 78’
> , mempunyai banyak celah yang sengaja dibuat untuk memihak kepada
kepentingan melindungi
> nilai investasi dari para investor ondernemernya saja.
>
> Tak hanya itu, pemerintah kolonial Hindia Belanda
> dengan alasan untuk menjaga ketertiban dan ketenangan serta stabilitas
bagi
> kelancaran produksi sektor komoditas ekspor andalannya mengeluarkan secara
> resmi peraturan yang tidak memperbolehkan sembarang pihak yang tidak
mendapat ijin
> khusus dari pemerintah untuk mengetahui praktik-praktik yang terjadi di
dalam
> perkebunan.
>
> Pada
> tahun 1902, pernah ada seorang pengacara Belanda yang mencoba melanggar
aturan
> itu. Pengacara Belanda itu, J Van den Brand dalam sebuah majalah lokal
pernah
> menuliskan sebuah tulisan yang
> melukiskan kekejaman yang dilakukan oleh para pemilik perkebunan tembakau
> terhadap para koeli mereka.
>
> Dalam
> tulisannya itu ia menuduh pemerintah sengaja menutup mata terhadap segala
> tindakan kejamnya para pemilik perkebunan tembakau. Tulisan itu seperti
> membenarkan kabar angin yang sudah beredar sebelumnya dikalangan terbatas.
>
> Untuk
> meredam kabar itu, selang dua tahun setelah tulisan itu, tepatnya tahun
1904,
> pemerintah kolonial Hindia Belanda menugaskan seorang jaksa yang bernama
JTL
> Rhemrev untuk mengadakan penyelidikan dan pendalaman terhadap masalah itu.
>
> Namun
> laporan hasil penyelidikan dan pendalaman atas masalah itu, oleh
pemerintah dinyatakan
> sebagai bersifat sangat rahasia, sehingga tidak boleh dipublikasikan
kepada
> publik.
>
> Namun sepedih dan seperih apapun cerita
> kehidupannya, toh tak menjadikan para koeli bumiputera itu mati dan musnah
> seperti layaknya genoside.
>
> Mereka para koeli itu ternyata masih bertahan
> hidup dan dapat hidup seperti manusia bernyawa pada umumnya seperti
> beranak-pinak.
>
> Pada
> awal tahun 1900-an mulai lahir generasi pertama yang merupakan anak
keturunan
> dari para koeli orang Jawa itu.
>
> Mereka
> anak para koeli orang Jawa yang lahir di onderneming di Deli itu biasa
disebut
> sebagai ‘Anak Jawa Deli’ atau ‘Jadel’.
>
> Mereka
> seperti tak berbeda dengan prototipe orang Jawa, namun temperamen anaknya
para
> koeli orang Jawa ini lebih keras dibandingkan dengan anak-anak Jawa yang
lahir
> di kampung halamannya.
>
> Mereka
> anak dari para koeli yang hidup pas-pasan saja dan dibesarkan dalam
kondisi
> yang jauh kecukupan makanan yang bergizi, serta tanpa akses yang memadai
terhadap
> pendidikan.
>
> Jikalaupun
> mereka disediakan pendidikan maka juga tak mungkin diaksesnya karena sejak
> kecil mereka harus membantu orang-tuanya untuk mencari uang dengan
memetiktembakau
> demi sesuap nasi pengganjal isi perut.
>
> Sehingga
> setelah mereka dewasa, nasib mereka pun sama seperti generasi
orang-tuanya, menjadi
> koeli seperti bapaknya.
>
> Anak keturunannya itu terus beranak pinak hingga
> turun temurun yang keturunannya masih eksis berlanjut sampai dengan hari
ini.
>
> Dan
> hari ini kita mendapatkan berkah warisan dari peraturan Koeli Ordonantie
berupa
> hasil banjir investasi pada waktu itu yang hari ini berupa aset produktif
dalam
> bentuk tanah-tanah perkebunan tembakau di Deli yang mutu tembakaunya
sangatlah
> terkenal diseluruh dunia sebagai yang terbaik untuk bahan cerutu.
>
> Tentunya
> aset produktif penghasil devisa bagi negara yang merupakan aset bangsa itu
akan
> meningkatkan kesejahteraan kehidupan rakyat Indonesia, yang sebagian
diantara
> rakyat Indonesia itu adalah juga mereka yang merupakan anak keturunan dari
para
> koeli orang Jawa zaman Koeli Ordonantie.
>
> Semoga,
> anak keturunan dari para koeli orang Jawa zaman Koeli Ordonantie,
mendapatkan
> berkah dari peninggalan cucuran keringat leluhur mereka, yang telah
memeras
> keringat dan memerah darhnya di zaman ‘Koeli Ordonantie’.
>
> Penutup :
>
> Berakit-rakit
> ke hulu berenang-renang ke tepian, bersakit-sakit dahulu
> bersenang-senang kemudian.
>
> Beramsal
> dari pepatah diatas, tentunya jika pada
> masa dahulu, leluhur kita hanya menjadi ‘Koeli’ maka setelah itu pada masa
kini di
> alam Indonesia Raya yang telah merdeka ini, kita anak keturunannya menjadi
‘tuan
> juragan’ atau ‘majikan di negeri sendiri’.
>
> Apakah
> pantas jika pada masa lampau di zaman penjajahan, leluhur kita para
warganegara
> bumiputera ditakdirkan hanya sebagai ‘koeli’ yang terjajah dan menderita,
kemudian pada masa
> kini di zaman kemerdekaan, kita anak keturunannya para
> warganegara bumiputera tetap saja ditakdirkan hanya sebagai ‘boeroeh’ yang
tertindas dan masih menderita pula ?.
>
> Apakah dengan
> demikian itu, maka slogan peringatan bagi kita yang mengatakan
> bahwa ‘een natie van
> koelias en een koelie onder de naties’ atau ‘negara kuli
> dan kulinya bangsa lain’ itu
> sesungguhnya telah menjadi suratan takdir dari nasib bagi sepanjang
> kehidupannya orang-orang bumiputera di negerinya sendiri ini ?.
>
> Apakah
> cukup dengan mengatakan bahwa itu adalah kesalahannya sendiri, pemerintah
dan
> negara tak punya kewajiban untuk melakukan upaya merubah suratan takdir
bagi
> nasibnya orang-orang bumiputera di negerinya sendiri ini ?.
>
> Wallahualambishawab.
> si-pandir, Jakarta, 08 Mei 2006.
> *
> Tulisan ini disadur dari hasil kutipan sebagian
> isi buku ‘Seks dan kekerasan
> pada Zaman Kolonial’ tulisan Capt. R.P.Suyono terbitan Penerbit
> Gramedia Widiasarana Indonesia - Jakarta.
> *
>
> dulu
>
> [Non-text portions of this message have been removed]
>
> 


[Non-text portions of this message have been removed]



------------------------------------

Ingin bergabung ke milis ekonomi-nasional?
Kirim email ke ekonomi-nasional-subscr...@yahoogroups.com
http://capresindonesia.wordpress.com
http://infoindonesia.wordpress.comYahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/ekonomi-nasional/

<*> Your email settings:
    Individual Email | Traditional

<*> To change settings online go to:
    http://groups.yahoo.com/group/ekonomi-nasional/join
    (Yahoo! ID required)

<*> To change settings via email:
    mailto:ekonomi-nasional-dig...@yahoogroups.com 
    mailto:ekonomi-nasional-fullfeatu...@yahoogroups.com

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    ekonomi-nasional-unsubscr...@yahoogroups.com

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/

Kirim email ke