Permasalahannya tidak betul-betul pada pasarnya...
Tapi penguasaan pribadi-pribadi (orang perorang) terhadap aset-aset
milik negara (rakyat)...
Lalu penguasaan orang-perorang terhadap usaha-usaha/kebijaksanaan yang
mempengaruhi hajat hidup orang banyak...
Serta implementasi segala macam alat "imajiner" (baca: fiktif) dalam ekonomi...

2009/6/4  <parastryono.a...@sun.co.id>:
>
> Negara neolib juga memberlakukan proteksi, dan negara sosialis juga tetap 
> memberi ruang untuk pasar bebas.
> Intinya tidak ada negara yg full proteksi ataupun full pasar bebas. Semua 
> jalur tengah.
>
> Justru karena  'gray area' antara dua kutub ini, maka akan selalu ada tarik 
> menarik kepentingan.
> Semua capres/cawapres pasti juga main di jalur tengah, hanya mungkin beda 
> persentase saja.
> Bisa jadi saat ini pro neolib, di lain waktu pro kerakyatan, tergantung mana 
> yg dinilai memberikan keuntungan paling besar.
> Namanya juga jalur tengah.
>
> Di sisi lain, sebagai rakyat saya berpikir, siapapun pemerintahnya, walaupun 
> hanya menjalankan  10% kebijakan pro neolib atau pro kerakyatan, tetap saja 
> ada pihak yg mengatakan bahwa pemerintah masih terlalu pro pasar bebas atau 
> terlalu proteksi. Jadi kalau saya tidak menghiraukan soal apa sistem 
> ekonominya.
>
> Yg saya tahu selama ini :
> - Soal mencari kebijakan yg terbaik bagi rakyat - di atas kertas - semua 
> calon pasti bisa. bahkan sejak jaman Pak Harto.
> - Soal membuat UU, aturan main yg mendukung dst - di atas kertas - Pemerintah 
> & DPR pasti bisa, siapapun presidennya.
> - Soal menjalankan kebijakan & aturan main yg berlaku  - alias praktek di 
> lapangan - inilah yg dari dulu bermasalah.
> Katanya pasar bebas, tapi kok ada yg dapat proteksi, katanya perlakuan sama 
> (di mata hukum misalnya) tapi kok tampak sekali ketidak adilannya - spt  
> kasus Prita & Manohara tsb. Dlsb.
> Jadi kalau saya pribadi akan mengukur dari keseriusan & potensi para 
> capres/cawapres untuk mengelola hal ini.  Karena soal yg di atas kertas, 
> sudah pakar semua.
>
> Saya masih menimbang-nimbang antara SBY Berbudi dgn JK-Win. Mau lihat dulu 
> janji2/program2nya.
> Mega Pro, mungkin didasarkan atas perolehan suara pileg, tapi untuk pilpres, 
> seharusnya mempertimbangkan soal pemerintahan 5 tahun ke depan.  Profil Mega 
> sebagai presiden sebelumnya sudah kita ketahui bersama. Kalau bekerja sama 
> dgn Jendral spt Prabowo yg kita juga tahu gimana orangnya, usaha u/ 
> konsolidasi internalnya akan sangat luar biasa. Kalau capresnya justru 
> Prabowo, mungkin akan lebih meyakinkan.  Sekedar pandangan org awam saja.
>
> Salam,
> Adhi
>
>
>
>
>
> ----- Original Message -----
> From: kad...@gmail.com
> Date: Friday, June 5, 2009 10:53 am
> Subject: Re: [ekonomi-nasional] Prita Manohara dari Kacamata Neoliberalisme .
>
>> Sebagai masukan informasi penyeimbang, semalam saya sempat nonton
>> metronews kampanye perdana sby, dikatakan oleh beliau, ekonomi yang
>> akan diterapkan sby adalah ekonomi jalur tengah yg pro rakyat yaitu
>> tidak sepenuhnya kapitalistik (full pasar bebas) dan juga tidak
>> sepenuhnya diatur negara (sebagaimana di negara komunisme).
>>
>>
>>
>> Perlu diingat Rusia itu telah gagal dalam menerapkan komunisme, dan
>> China sebagai dedengkot komunisme sudah mulai meninggalkan
>> komunisme. Dan juga AS pun mengakui telah gagal menjalankan full
>> kapitalisme.
>>
>>
>>
>> Jadi saat ini ekonomi yg paling cocok adalah ekonomi jalan tengah
>> yg pro rakyat.
>>
>>
>>
>> Dari presentasi semalam, saya lebih condong pilih SBY. Karena
>> gagasan beliau lebih realistik. Dan yang tidak kalah penting dari
>> issue2 neolib yg terlalu banyak dipost di millis ini, ada issue
>> lain yg (sengaja) dibenamkan bahwa SBY telah terbukti cukup banyak
>> mengadili kasus2 KKN. Issue KKN sangat penting dibuka disamping
>> issue neolib yg msh banyak didebatkan mengenai definisi dan
>> batasannya.
>>
>>
>> Jikalau JK-WIn tidak bersama Golkar, saya akan condong ke JK, namun
>> sbgmana sama2 diketahui citra Golkar tidak bisa dihapus dari 'citra
>> Orde Baru' yg telah terbukti KKN dan membuat negara terpuruk.
>> Hingga kini masih tersisa mental KKN warisan orde baru di instansi2
>> pemerintah.
>>
>>
>> Karena sy muslim, sy tidak akan memilih  pemimpin seorang wanita.
>>
>>
>>
>> Golput, no way.. Mana bisa negara tanpa ada pimpinan toh? Nanti yg
>> akan muncul preman2 liar sok jagoan yg lebih parah.
>>
>>
>>
>> Wassalam,
>>
>>
>>
>>
>>
>> Sent from my BlackBerry®
>>
>> powered by Sinyal Kuat INDOSAT
>>
>>
>>
>> -----Original Message-----
>>
>> From: rifky pradana <rifkyp...@yahoo.com>
>>
>>
>>
>> Date: Thu, 4 Jun 2009 04:53:05
>>
>> To: <ekonomi-nasional@yahoogroups.com>;
>> <eramus...@yahoogroups.com>; <syiar-is...@yahoogroups.com>;
>> <sab...@yahoogroups.com>
>> Subject: [ekonomi-nasional] Prita Manohara dari Kacamata
>> Neoliberalisme .
>>
>>
>>
>>
>>
>> Kasus Prita Mulyasari versus kasus Manohara
>>
>> Pinot secara gamblang dan kasat mata memperlihatkan kepada kita semua
>>
>> bahwa disadari ataupun tidak disadari pada hakikatnya
>> neoliberalisme telah
>>
>> meyusup ke seluruh sendi kehidupan bangsa kita, tak hanya di sektor
>> ekonomi
>> saja.
>>
>>
>>
>> Salah satu hakikat Neoliberalisme adalah tidak ada
>>
>> satupun di ranah kehidupan masyarakat yang tidak bisa dijadikan
>> komoditas ekonomi belaka. Bahkan fungsi
>>
>> relasi sosial kemasyarakatan yang sejatinya merupakan nilai dasar
>> manusia bisa
>>
>> direduksi sedemikian rupa. Sehingga tidak lebih dari urusan demand and
>>
>> supply belaka dan diperlakukan seperti komoditas biasa yang bisa
>>
>> diperjualbelikan.
>>
>>
>>
>> Salah seorang timses pak EsBeYe, secara spontan dan
>>
>> sangat jujur mengungkapnya sebagai ‘Jelita dan Jelata’. Ungkapan
>> sederhana ini
>>
>> mengandung subtansi yang begitu mendalam. Seharusnya kita
>> berterimakasih,
>> bahwasanya melalui ungkapan itu secara tersirat telah mengingatkan
>> kita tentang Bahaya Laten Neoliberalisme yang
>>
>> telah menggurita di kehidupan bangsa kita.
>>
>>
>>
>> Dunia jurnalistik media massa salah satu contohnya,
>>
>> lebih menyukai menyorot kasus Manohara dan mengupasnya sampai ke
>> hal detailnya.
>>
>> Ini bisa bisa difahami, karena pemirsa itu adalah pasar, sedangkan
>> berita itu
>>
>> adalah komoditas. Pada saat nilai-nilai telah direduksi menjadi
>> komoditas
>> ekonomi belaka maka jelas konsekuensinya adalah alat ukur paling
>> sahih dalam
>>
>> hal ini hanyalah soal rating saja.
>>
>>
>>
>> Tak dapat dipungkiri oleh hati sanubari kita
>>
>> sesungguhnya secara inherent dalam
>>
>> diri kita masing-masing tak dapat melepaskan diri dari sebuah
>> istilah yang
>>
>> banyak orang menyebutnya sebagai politik
>>
>> simbol. Walau saya pribadi menganggap istilah politik simbol itu
>>
>> berlebih-lebihan, karena hakikatnya itu hanyalah bahasa simbol
>> untuk mengungkapkan perihal adanya unsur pembeda diantara keduanya
>>
>> saja.
>>
>>
>>
>> Harus diakui, Mahonara Pinot adalah seorang dara yang
>>
>> sungguh cantik jelita, penampilan busananya pun trendy dan good
>> looking, dengan tingkat status
>>
>> sosialnya pun mendukung untuk itu. Alur ceritanya pun relatif
>> sederhana, namun
>>
>> banyak ditaburi pernak-pernik yang menghanyutkan.
>>
>>
>>
>> Sedangkan disisi yang satunya, Prita Mulyasari
>>
>> –bukan bermaksud merendahkan ciptaan Allah SWT, mohon maaf hanya
>> sekedar
>> mencoba untuk jujur saja- tidaklah sejelita Manohara. Dandanan
>> busananya pun
>>
>> tidaklah setrendi Manohara. Kita bisa memakluminya, tingkat status
>> sosialnya
>> Prita memang lebih jelata dibandingkan Manohara. Sehingga amat
>> pantaslah jika
>>
>> Prita Mulyasari tidaklah se-good
>>
>> looking Manohara.
>>
>>
>>
>> Kasus yang membelit Prita juga reltif lebih njlimet,
>>
>> hubungan sebab akibatnya relatif abstrak sehingga
>>
>> lebih susah difahami oleh publik. Dalam arti kata bagi media massa
>> lebih mudah
>>
>> menjelaskan kait mengkaitnya kasus yang menimpa Manohara daripada
>> kasus yang
>>
>> menimpa Prita. Bahasa lebih mudahnya, kasus Manohara lebih bisa
>> dihidangkan
>> secara instan di
>>
>> hadapan pemirsanya.
>>
>>
>>
>> Saya sungguh tidak mempunyai keberanian sedikitpun
>>
>> untuk mengira-ngira, apakah diskriminasi perhatian media massa ini
>> juga
>> dikarenakan ada hubungannya Prita Mulyasari yang secara kebetulan juga
>>
>> berbusana Jilbab. Oleh sebab itu, walaupun ini adalah salah satu unsur
>>
>> pembedanya, lebih baik kita lewatkan dalam pembahasannya.
>>
>>
>>
>> Namun, secara sederhana dan selintas saja, itulah
>>
>> memang contasting atau
>>
>> pembeda diantara Prita Mulyasari dengan Manohara Pinot. Artifisial
>>
>> memang, tapi disisi itulah realitas yang akan dilihat oleh publik
>> sebagai
>> pemirsa tayangan media massa.
>>
>>
>>
>> Karena pemirsa ditempatkan hanya sebagai pasar, sedangkan ‘Prita si
>> Jelata’
>> serta ‘manohara si Jelita’ hanya ditempatkan sebagai komoditas
>> saja. Sehingga –sesuai
>>
>> dengan logika tatanan Neoliberalisme- menjadi sangatlah wajar jika
>> media massa
>>
>> lebih cenderung untuk memilih mengupas tuntas soal kasus Manohara
>> Pinot..
>>
>>
>> Belum lagi jika kita perdalam lagi bahwa Prita
>>
>> Mulyasari ini sedang berhadapan dengan sebuah korporasi yang tentunya
>>
>> mempunyai kekuatan kapital yang lebih kuat dibandingkan Prita. Ini
>> ada juga
>>
>> kaitannya dengan soal menciptakan iklim yang kondusif dan kepastian
>> hukum untuk
>>
>> melindungi iklim investasi dan kepastian usaha.
>>
>>
>>
>> Kita seharusnya tak perlu kaget soal itu. Di beberapa
>>
>> waktu yang telah silam, juga pernah ada seorang ‘Petani Gurem’ yang
>> juga harus meringkuk
>>
>> di sel pengap sebuah penjara karena soal pembibitan tanaman
>> palawija. Ini juga
>>
>> ada kaitannya dengan soal menciptakan iklim yang kondusif dan
>> kepastian hukum
>>
>> untuk melindungi iklim investasi dan kepastian usaha.
>>
>>
>>
>> Hubungan negara dengan warganegaranya, hari ini hanya
>>
>> berupa hubungan produsen dan konsumen saja.. Negara telah melepaskan
>>
>> tanggungjawabnya, cukup hanya memfasilitasi korporasi (terutama
>> juga korporasi
>>
>> yang multi nasional) untuk menghasilkan produk-produk komoditas
>> bagi rakyatnya
>>
>> sebagai pasar produk itu.
>>
>> Selanjutnya hubungan jual-beli inilah yang dijadikan
>>
>> pola dasar dalam mengelola negara. Dengan sendiri uang adalah yang
>> menentukan
>> segala-galanya. Negara pada akhirnya hanyalah sebagai pelindung
>> korporasi saja.
>>
>>
>>
>> Mengapa Prita Mulyasari juga petani gurem itu harus
>>
>> dipenjara ?. Inilah ironi dan kontradiksi dari tatanan religi
>> Neoliberalisme, disatu sisi negara melepaskan campur
>>
>> tangan kewenangannya, namun disisi lainnya negara malahan harus
>> menggunakan tangan besinya.
>>
>>
>>
>> Jadi ?. Terimakasih seharusnya kita haturkan kepada Manohara
>>
>> Pinot dan Prita Mulyasari. Dengan mencuatnya dua kasus yang
>> bersamaan ini
>>
>> kita menjadi lebih dewasa dalam mensikapi ‘politik simbol’. Itu
>> tidaklah
>> berarti selalu berkonotasi negatif. Hakikatnya itu hanyalah  bahasa
>> simbol
>> yang merupakan cerminan atas realitas yang telah ada didalam benak
>> kita
>> masing-masing.
>>
>>
>>
>> Selanjutnya, semoga kita menjadi terfahamkan dan
>>
>> tersadarkan bahwa realitas tatanan religi baru
>>
>> yang bernama Neoliberalisme itu tak hanya ada didepan pintu rumah
>> kita, namun
>>
>> dia telah menelusup masuk ke dalam ruang duduk keluarga kita, telah
>> menjerat
>> kita di lingkungan luar pekarangan kita -bidang pelayanan kesehatan
>> salah
>> satunya- dan hampir ke semua sendi kehidupan masyarakat kita.
>>
>>
>>
>> Selamat menikmati lanjutan babak baru di era religi
>>
>> baru Neoliberalisme !.
>>
>>
>>
>> Artikel dapat dibaca
>>
>> di :
>>
>> Prita Manohara dalam Bahasa
>>
>> Simbol Neoliberalisme.
>>
>> http://public.kompasiana.com/2009/06/04/prita-manohara-dalam-bahasa-
>> simbol-neoliberalisme/
>>
>>
>>
>> ***
>>
>>
>>
>> Belakangan ini media massa
>>
>> dipenuhi berita tentang kasus Prita Mulyasari, seorang pasien RS Omni
>>
>> Internasional yang diduga melakukan pencemaran nama baik RS itu dengan
>>
>> mengirimkan milis ke sebuah surat kabar dan juga sharing melalui
>> email dan face
>>
>> book.
>>
>>
>>
>> Bahkan di Kompasiana pun tak mau
>>
>> ketinggalan dengan kasus ini yang ditandai banyaknya artikel yang
>> membahas
>> tentang kasus Prita. Dukungan dan kecaman datang begitu derasnya
>> yang ditujukan
>>
>> kepada pihak RS karena telah memenjarakan Prita akibat diduga
>> melakukan
>> pencemaran nama baik dan tuduhan maal praktek.
>>
>>
>>
>> ( lihat isi surat pembaca yang
>>
>> menjadi mala petaka itu  disini dan
>>
>> surat Prita melalui Email disini :
>> http://www.kompas.com/read/xml/2009/06/03/1112056 ).
>>
>>
>>
>> Dalam suratnya itu Prita
>>
>> mengeluhkan akan ketidaknyamanan yang diterima saat berkunjung dan
>> berobat ke
>>
>> RS Omni Internasional. Karena surat itu, RS mengklaim bahwa prita
>> telah
>> mencemarkan nama baik RS itu hingga ia dipenjarakan walaupun
>> akhirnya tuntutan itu
>>
>> ditangguhkan.
>>
>>
>>
>> Hal yang menarik yaitu ketika
>>
>> Megawati yang saat ini menjadi Capres dari PDIP yang didampingi
>> oleh Prabowo
>>
>> (Cawapres) dari gerindra angkat bicara. Mega menyesalkan akan
>> kejadian ini, ia
>>
>> pun mengatakan bahwa kasus yang menimpa Prita ini merupakan akibat
>> dari
>> penerapan sistem neoliberalisme.  ”Kejadian yang dialami Prita
>> merupakan
>> bukti kasat mata, dampak dari neoliberalisasi di mana kekuatan
>> pasar bebas
>>
>> dengan lembaga-lembaga multinasionalnya,” demikian Mega.
>>
>>
>>
>> Lembaga-lembaga multinasional itu,
>>
>> lanjutnya, menggunakan UU Informasi dan Transaksi Elektronik yang,
>> menurut
>> Mega, dibuat untuk memuluskan kepentingan neolib dengan mengalahkan
>> kepentingan
>> asasi masyarakat. ”Nampaknya, di era pasar bebas ini, sulit menjadi
>> tuan
>> rumah di negeri sendiri,” ujarnya. (sumber
>> http://www.kompas.com/read/xml/2009/06/03/18042517)
>>
>>
>> Sekali lagi isu neoliberal
>>
>> diterbitkan kembali, kali ini bukan ekonomi yang menjadi objek
>> tetapi pelayanan
>>
>> kesehatan. seperti perdebatan yang lalu-lalu bahwa neoliberalisme
>> merupakan
>> sebuah sistem ekonomi yang saat ini masih belum terdefinisi dengan
>> “legal”,
>> kalaupun ada yang mendefinisikan itu hanyalah argumen pribadi dan
>> bukan
>> kesepakatan bersama.
>>
>>
>>
>> Namun pada intinya neolib itu
>>
>> merupakan sistem yang memberikan keleluasaan bagi pasar untuk
>> mengontrol
>> dirinya sendiri tanpa ada intervensi dari pemerintah, bisa dibilang
>> Neolib ini
>>
>> adalah Liberalisme ekstrem. Apapun bisa dijadikan barang dagangan
>> dan dapat
>>
>> diperjual belikan termasuk kesehatan.
>>
>>
>>
>> Isu kesehatan yang
>>
>> disangkut-pautkan dengan neoliberalisme ini diduga merujuk kepada
>> privatisasi
>> instansi kesehatan atau banyaknya RS yang dimiliki oleh swasta.
>> Sehingga
>> pemerintah dalam hal ini hanya menikmati dari pajak-pajak swasta
>> bukannya
>> memprioritaskan dan memikirkan masyarakatnya atas hak akan
>> kesehatan yang
>>
>> dijamin oleh negara, hal ini mirip dengan privatisasi perusahaan
>> air minum yang
>>
>> justru seharusnya dimiliki oleh negara karena air adalah sumber
>> kehidupan bagi
>>
>> makhluk hidup, seperti halnya kesehatan.
>>
>>
>>
>> Yang menjadi pertanyaan, mengapa
>>
>> baru saat ini isu kesehatan diperhatikan oleh pemerintah maupun
>> elit politik
>>
>> lainnya sampai dikaitkan dengan neoliberal yang mungkin terlalu
>> berlebihan.
>> Bahkan isu kesehatan pun luput dari tema kampanye para pasangan
>> Capres dan
>>
>> Cawapres.
>>
>>
>>
>> Kasus Prita ini hanya segentir
>>
>> kasus yang telah dialami banyak masyarakat Indonesia terkait
>> masalah kesehatan
>>
>> terutama dalam hal pelayanan. Belum lagi bagi masyarakat miskin
>> dinegeri ini
>>
>> yang seakan tidak ada hak untuk sakit dan mendapatkan jaminan
>> kesehatan oleh
>>
>> negara.
>>
>>
>>
>> Semoga saja dengan adanya kasus
>>
>> Prita ini, pemerintah saat ini maupun yang akan datang  bisa lebih
>>
>> memerhatikan isu kesehatan ini yang merupakan hak tiap warga negara
>> untuk
>> mendapatkan jaminan kesehatan dan kehidupan yang layak, dan masalah
>> kesehatan
>> ini bukan hanya sebagai alat berkampanye bagi Calon pemimpin negeri
>> ini.
>>
>>
>> Artikel dapat dibaca
>>
>> di :
>>
>> Kasus Prita dan Neoliberalisme.
>>
>> http://nurulloh.kompasiana.com/2009/06/04/kasus-prita-dan-neolib/
>>
>>
>>
>> ***
>>
>>
>>
>> Pria kelahiran Blitar, Jawa
>>
>> Timur, Boediono belakangan ini namanya menjadi sorotan publik, ini
>> dikarenakan
>> SBY (Demokrat) dipastikan memilih Boediono untuk mendampinginya
>> sebagai
>> Cawapres dari kalangan profesional.
>>
>>
>>
>> Keputusan ini diambil SBY karena
>>
>> apabila Budiona menjadi Cawapresnya kemungkinan adanya resistensi
>> sangat kecil
>>
>> dan dengan memilih Boediono,  SBY ingin lebih menguatkan ekonomi
>>
>> Indonesia, jika ia terpilih lagi.
>>
>>
>>
>> Banyak partai-partai dan
>>
>> masyarakat yang setuju dan pro Boediono sebagai Cawapres
>> mendampingi SBY,
>>
>> tetapi banyak pula yang kontra dengannya.
>>
>>
>>
>> Tak masalah bagi mereka yang pro,
>>
>> tapi bagi mereka yang kontra terhadap Boediono, pasti banyak alasan
>> mengapa
>> mereka kontra terhadapnya.
>>
>>
>>
>> Salah satunya yaitu karena
>>
>> Boediono seorang yang berasal dari non-partai (profesional), tidak
>> terlalu
>> islami, dan yang paling kritis yaitu ia seorang neoliberal (antek
>> IMF),
>> kebanyakan yang kontra dengan Boediono kerena ia seorang neoliberal
>> adalah para
>>
>> aktivis dan dari kalangan LSM.
>>
>>
>>
>> Alasan kenapa Boediono dikatakan sebagai
>>
>> neoliberal karena ia lulusan Business Economics, Wharton School,
>> University of
>>
>> Pennsylvania, AS dengan gelar Doctor of Philosophy.
>>
>>
>>
>> Apakah karena ia lulusan AS yang
>>
>> notabene negara liberal ?. Tak sampai disitu Track Record  di
>> bidang ekonomi yang juga membawanya
>>
>> menjadi Internal Auditor Bank Of Amerika cabang Jakarta tahun 1969-
>> 1970, itu
>>
>> yang membuat masyarakat yang menolak Boediono sebagai Cawapres
>> mendampingi SBY,
>>
>> mereka menilai karena ia pernah bekerja d Bank asing, langsung
>> mencapnya
>> sebagai antek asing yang pahamnya (pasti) neoliberal.
>>
>>
>>
>> Ada pula yang mengatakan karena
>>
>> Boediono seorang neoliberal maka ia tidak islami, bukannya agama
>> itu urusan
>>
>> makhluk dengan tuhannya. Padahal dulu Boediono pernah menjadi Gubernur
>>
>> pengganti Bank Pembangunan Islam untuk Indonesia sekitar tahun 1993-
>> 1998.
>>
>>
>> Lucunya lagi, kenapa bagi yang
>>
>> menolak Boediono (mungkin bisa saya), tidak mempermasalahkan ketika
>> ia naik
>>
>> sebagai Gubernur BI, padahal BI merupakan regulator bagi
>> perekonomian kita.
>>
>>
>>
>> Neoliberal merupakan paham
>>
>> pembaharuan dari liberalisme dan teman-temannya (kapitalisme dan
>> globalisme)
>> semuanya ini menganut sistem ekonomi yang kekuatannya ada pada
>> modal individu
>>
>> (swasta).
>>
>>
>>
>> Mungkin karena masyarakat
>>
>> Indonesia yang masih berkutat pada kemiskinan itulah yang
>> menyebabkan paham ini
>>
>> sulit diterapkan di Indonesia. Mereka takut dengan Naiknya Boediono
>> sebagai
>> Cawapres nantinya bukan memajukan ekonomi kerakyatan tetapi hanya akan
>>
>> memperkuat daya cengkram kaum-kaum liberal.
>>
>>
>>
>> Ekonomi pasar bebas memang belum
>>
>> cocok diterapkan di Indonesia, masih perlu campur tangan pemerintah
>> untuk
>> mengontrol jalannya perekonomian yang berusaha agar tetap berpihak
>> pada kaum
>>
>> proletar.
>>
>>
>>
>> Sebenarnya paham neoliberal masih
>>
>> banyak cabang dan rantingnya, dan untuk Indonesia mungkin ada
>> cabang atau
>>
>> ranting dari liberalisme yang cocok diterapkan apabila kita ini pintar
>>
>> memadukan antara ekonomi kerakyatan dengan ekonomi “ala” barat itu.
>>
>>
>>
>> Balik lagi, apakah salah Boediono
>>
>> seorang Neoliberal ???.  Jawabannya
>>
>> tidak, karena itu sebuah pilihan dan merupakan hak.
>>
>>
>>
>> Tetapi sekali lagi masyarakat
>>
>> punya penilaian dan bukti sendiri-sendiri untuk memberikan suatu
>> citra dan
>>
>> nilai terhadap itu semua.
>>
>>
>>
>> Kalau saya dan anda tidak setuju
>>
>> dengan pasangan SBY-Boediono karena suatu paham ekonomi, kita masih
>> punya
>> kandidat Capres dan Cawapres lain yang mungkin mempunyai pemikiran
>> baru untuk
>>
>> memajukan perekonomian bangsa ini.
>>
>>
>>
>> Yang terpenting siapapun yang
>>
>> akan menjadi RI 1 dan RI 2, kita harus terima dengan legowo karena
>>
>> itu pilihan rakyat dan jangan sampai hanya dengan berbeda pandangan
>> atau paham,
>>
>> kita terpecah belah, bukankah kita punya wakil rakyat yang akan
>> mengontrol
>> semua kebijakan dan langkah yang akan diambil pemerintah nantinya.
>> Jangan
>> saling menyalahkan dan menyudutkan siapapun, mari kita bangun sama-
>> sama negeri
>>
>> ini untuk kebaikan kita semua.
>>
>>
>>
>> Artikel dapat dibaca
>>
>> di :
>>
>> Apa Salahnya Jika Boediono
>>
>> Seorang Neoliberal ???.
>>
>> http://nurulloh.kompasiana.com/2009/05/15/apa-salahnya-jika-budiono-
>> seorang-neoliberal/#more-131
>>
>>
>>
>> ***
>>
>>
>>
>>
>>
>>
>>
>>
>>
>> [Non-text portions of this message have been removed]
>>
>>
>>
>>
>>
>>
>>
>> [Non-text portions of this message have been removed]
>>
>>
>
>
> ------------------------------------
>
> Ingin bergabung ke milis ekonomi-nasional?
> Kirim email ke ekonomi-nasional-subscr...@yahoogroups.com
> http://capresindonesia.wordpress.com
> http://infoindonesia.wordpress.comYahoo! Groups Links
>
>
>
>


------------------------------------

Ingin bergabung ke milis ekonomi-nasional?
Kirim email ke ekonomi-nasional-subscr...@yahoogroups.com
http://capresindonesia.wordpress.com
http://infoindonesia.wordpress.comYahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/ekonomi-nasional/

<*> Your email settings:
    Individual Email | Traditional

<*> To change settings online go to:
    http://groups.yahoo.com/group/ekonomi-nasional/join
    (Yahoo! ID required)

<*> To change settings via email:
    mailto:ekonomi-nasional-dig...@yahoogroups.com 
    mailto:ekonomi-nasional-fullfeatu...@yahoogroups.com

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    ekonomi-nasional-unsubscr...@yahoogroups.com

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/

Kirim email ke