Permasalahannya tidak betul-betul pada pasarnya... Tapi penguasaan pribadi-pribadi (orang perorang) terhadap aset-aset milik negara (rakyat)... Lalu penguasaan orang-perorang terhadap usaha-usaha/kebijaksanaan yang mempengaruhi hajat hidup orang banyak... Serta implementasi segala macam alat "imajiner" (baca: fiktif) dalam ekonomi...
2009/6/4 <parastryono.a...@sun.co.id>: > > Negara neolib juga memberlakukan proteksi, dan negara sosialis juga tetap > memberi ruang untuk pasar bebas. > Intinya tidak ada negara yg full proteksi ataupun full pasar bebas. Semua > jalur tengah. > > Justru karena 'gray area' antara dua kutub ini, maka akan selalu ada tarik > menarik kepentingan. > Semua capres/cawapres pasti juga main di jalur tengah, hanya mungkin beda > persentase saja. > Bisa jadi saat ini pro neolib, di lain waktu pro kerakyatan, tergantung mana > yg dinilai memberikan keuntungan paling besar. > Namanya juga jalur tengah. > > Di sisi lain, sebagai rakyat saya berpikir, siapapun pemerintahnya, walaupun > hanya menjalankan 10% kebijakan pro neolib atau pro kerakyatan, tetap saja > ada pihak yg mengatakan bahwa pemerintah masih terlalu pro pasar bebas atau > terlalu proteksi. Jadi kalau saya tidak menghiraukan soal apa sistem > ekonominya. > > Yg saya tahu selama ini : > - Soal mencari kebijakan yg terbaik bagi rakyat - di atas kertas - semua > calon pasti bisa. bahkan sejak jaman Pak Harto. > - Soal membuat UU, aturan main yg mendukung dst - di atas kertas - Pemerintah > & DPR pasti bisa, siapapun presidennya. > - Soal menjalankan kebijakan & aturan main yg berlaku - alias praktek di > lapangan - inilah yg dari dulu bermasalah. > Katanya pasar bebas, tapi kok ada yg dapat proteksi, katanya perlakuan sama > (di mata hukum misalnya) tapi kok tampak sekali ketidak adilannya - spt > kasus Prita & Manohara tsb. Dlsb. > Jadi kalau saya pribadi akan mengukur dari keseriusan & potensi para > capres/cawapres untuk mengelola hal ini. Karena soal yg di atas kertas, > sudah pakar semua. > > Saya masih menimbang-nimbang antara SBY Berbudi dgn JK-Win. Mau lihat dulu > janji2/program2nya. > Mega Pro, mungkin didasarkan atas perolehan suara pileg, tapi untuk pilpres, > seharusnya mempertimbangkan soal pemerintahan 5 tahun ke depan. Profil Mega > sebagai presiden sebelumnya sudah kita ketahui bersama. Kalau bekerja sama > dgn Jendral spt Prabowo yg kita juga tahu gimana orangnya, usaha u/ > konsolidasi internalnya akan sangat luar biasa. Kalau capresnya justru > Prabowo, mungkin akan lebih meyakinkan. Sekedar pandangan org awam saja. > > Salam, > Adhi > > > > > > ----- Original Message ----- > From: kad...@gmail.com > Date: Friday, June 5, 2009 10:53 am > Subject: Re: [ekonomi-nasional] Prita Manohara dari Kacamata Neoliberalisme . > >> Sebagai masukan informasi penyeimbang, semalam saya sempat nonton >> metronews kampanye perdana sby, dikatakan oleh beliau, ekonomi yang >> akan diterapkan sby adalah ekonomi jalur tengah yg pro rakyat yaitu >> tidak sepenuhnya kapitalistik (full pasar bebas) dan juga tidak >> sepenuhnya diatur negara (sebagaimana di negara komunisme). >> >> >> >> Perlu diingat Rusia itu telah gagal dalam menerapkan komunisme, dan >> China sebagai dedengkot komunisme sudah mulai meninggalkan >> komunisme. Dan juga AS pun mengakui telah gagal menjalankan full >> kapitalisme. >> >> >> >> Jadi saat ini ekonomi yg paling cocok adalah ekonomi jalan tengah >> yg pro rakyat. >> >> >> >> Dari presentasi semalam, saya lebih condong pilih SBY. Karena >> gagasan beliau lebih realistik. Dan yang tidak kalah penting dari >> issue2 neolib yg terlalu banyak dipost di millis ini, ada issue >> lain yg (sengaja) dibenamkan bahwa SBY telah terbukti cukup banyak >> mengadili kasus2 KKN. Issue KKN sangat penting dibuka disamping >> issue neolib yg msh banyak didebatkan mengenai definisi dan >> batasannya. >> >> >> Jikalau JK-WIn tidak bersama Golkar, saya akan condong ke JK, namun >> sbgmana sama2 diketahui citra Golkar tidak bisa dihapus dari 'citra >> Orde Baru' yg telah terbukti KKN dan membuat negara terpuruk. >> Hingga kini masih tersisa mental KKN warisan orde baru di instansi2 >> pemerintah. >> >> >> Karena sy muslim, sy tidak akan memilih pemimpin seorang wanita. >> >> >> >> Golput, no way.. Mana bisa negara tanpa ada pimpinan toh? Nanti yg >> akan muncul preman2 liar sok jagoan yg lebih parah. >> >> >> >> Wassalam, >> >> >> >> >> >> Sent from my BlackBerry® >> >> powered by Sinyal Kuat INDOSAT >> >> >> >> -----Original Message----- >> >> From: rifky pradana <rifkyp...@yahoo.com> >> >> >> >> Date: Thu, 4 Jun 2009 04:53:05 >> >> To: <ekonomi-nasional@yahoogroups.com>; >> <eramus...@yahoogroups.com>; <syiar-is...@yahoogroups.com>; >> <sab...@yahoogroups.com> >> Subject: [ekonomi-nasional] Prita Manohara dari Kacamata >> Neoliberalisme . >> >> >> >> >> >> Kasus Prita Mulyasari versus kasus Manohara >> >> Pinot secara gamblang dan kasat mata memperlihatkan kepada kita semua >> >> bahwa disadari ataupun tidak disadari pada hakikatnya >> neoliberalisme telah >> >> meyusup ke seluruh sendi kehidupan bangsa kita, tak hanya di sektor >> ekonomi >> saja. >> >> >> >> Salah satu hakikat Neoliberalisme adalah tidak ada >> >> satupun di ranah kehidupan masyarakat yang tidak bisa dijadikan >> komoditas ekonomi belaka. Bahkan fungsi >> >> relasi sosial kemasyarakatan yang sejatinya merupakan nilai dasar >> manusia bisa >> >> direduksi sedemikian rupa. Sehingga tidak lebih dari urusan demand and >> >> supply belaka dan diperlakukan seperti komoditas biasa yang bisa >> >> diperjualbelikan. >> >> >> >> Salah seorang timses pak EsBeYe, secara spontan dan >> >> sangat jujur mengungkapnya sebagai ‘Jelita dan Jelata’. Ungkapan >> sederhana ini >> >> mengandung subtansi yang begitu mendalam. Seharusnya kita >> berterimakasih, >> bahwasanya melalui ungkapan itu secara tersirat telah mengingatkan >> kita tentang Bahaya Laten Neoliberalisme yang >> >> telah menggurita di kehidupan bangsa kita. >> >> >> >> Dunia jurnalistik media massa salah satu contohnya, >> >> lebih menyukai menyorot kasus Manohara dan mengupasnya sampai ke >> hal detailnya. >> >> Ini bisa bisa difahami, karena pemirsa itu adalah pasar, sedangkan >> berita itu >> >> adalah komoditas. Pada saat nilai-nilai telah direduksi menjadi >> komoditas >> ekonomi belaka maka jelas konsekuensinya adalah alat ukur paling >> sahih dalam >> >> hal ini hanyalah soal rating saja. >> >> >> >> Tak dapat dipungkiri oleh hati sanubari kita >> >> sesungguhnya secara inherent dalam >> >> diri kita masing-masing tak dapat melepaskan diri dari sebuah >> istilah yang >> >> banyak orang menyebutnya sebagai politik >> >> simbol. Walau saya pribadi menganggap istilah politik simbol itu >> >> berlebih-lebihan, karena hakikatnya itu hanyalah bahasa simbol >> untuk mengungkapkan perihal adanya unsur pembeda diantara keduanya >> >> saja. >> >> >> >> Harus diakui, Mahonara Pinot adalah seorang dara yang >> >> sungguh cantik jelita, penampilan busananya pun trendy dan good >> looking, dengan tingkat status >> >> sosialnya pun mendukung untuk itu. Alur ceritanya pun relatif >> sederhana, namun >> >> banyak ditaburi pernak-pernik yang menghanyutkan. >> >> >> >> Sedangkan disisi yang satunya, Prita Mulyasari >> >> –bukan bermaksud merendahkan ciptaan Allah SWT, mohon maaf hanya >> sekedar >> mencoba untuk jujur saja- tidaklah sejelita Manohara. Dandanan >> busananya pun >> >> tidaklah setrendi Manohara. Kita bisa memakluminya, tingkat status >> sosialnya >> Prita memang lebih jelata dibandingkan Manohara. Sehingga amat >> pantaslah jika >> >> Prita Mulyasari tidaklah se-good >> >> looking Manohara. >> >> >> >> Kasus yang membelit Prita juga reltif lebih njlimet, >> >> hubungan sebab akibatnya relatif abstrak sehingga >> >> lebih susah difahami oleh publik. Dalam arti kata bagi media massa >> lebih mudah >> >> menjelaskan kait mengkaitnya kasus yang menimpa Manohara daripada >> kasus yang >> >> menimpa Prita. Bahasa lebih mudahnya, kasus Manohara lebih bisa >> dihidangkan >> secara instan di >> >> hadapan pemirsanya. >> >> >> >> Saya sungguh tidak mempunyai keberanian sedikitpun >> >> untuk mengira-ngira, apakah diskriminasi perhatian media massa ini >> juga >> dikarenakan ada hubungannya Prita Mulyasari yang secara kebetulan juga >> >> berbusana Jilbab. Oleh sebab itu, walaupun ini adalah salah satu unsur >> >> pembedanya, lebih baik kita lewatkan dalam pembahasannya. >> >> >> >> Namun, secara sederhana dan selintas saja, itulah >> >> memang contasting atau >> >> pembeda diantara Prita Mulyasari dengan Manohara Pinot. Artifisial >> >> memang, tapi disisi itulah realitas yang akan dilihat oleh publik >> sebagai >> pemirsa tayangan media massa. >> >> >> >> Karena pemirsa ditempatkan hanya sebagai pasar, sedangkan ‘Prita si >> Jelata’ >> serta ‘manohara si Jelita’ hanya ditempatkan sebagai komoditas >> saja. Sehingga –sesuai >> >> dengan logika tatanan Neoliberalisme- menjadi sangatlah wajar jika >> media massa >> >> lebih cenderung untuk memilih mengupas tuntas soal kasus Manohara >> Pinot.. >> >> >> Belum lagi jika kita perdalam lagi bahwa Prita >> >> Mulyasari ini sedang berhadapan dengan sebuah korporasi yang tentunya >> >> mempunyai kekuatan kapital yang lebih kuat dibandingkan Prita. Ini >> ada juga >> >> kaitannya dengan soal menciptakan iklim yang kondusif dan kepastian >> hukum untuk >> >> melindungi iklim investasi dan kepastian usaha. >> >> >> >> Kita seharusnya tak perlu kaget soal itu. Di beberapa >> >> waktu yang telah silam, juga pernah ada seorang ‘Petani Gurem’ yang >> juga harus meringkuk >> >> di sel pengap sebuah penjara karena soal pembibitan tanaman >> palawija. Ini juga >> >> ada kaitannya dengan soal menciptakan iklim yang kondusif dan >> kepastian hukum >> >> untuk melindungi iklim investasi dan kepastian usaha. >> >> >> >> Hubungan negara dengan warganegaranya, hari ini hanya >> >> berupa hubungan produsen dan konsumen saja.. Negara telah melepaskan >> >> tanggungjawabnya, cukup hanya memfasilitasi korporasi (terutama >> juga korporasi >> >> yang multi nasional) untuk menghasilkan produk-produk komoditas >> bagi rakyatnya >> >> sebagai pasar produk itu. >> >> Selanjutnya hubungan jual-beli inilah yang dijadikan >> >> pola dasar dalam mengelola negara. Dengan sendiri uang adalah yang >> menentukan >> segala-galanya. Negara pada akhirnya hanyalah sebagai pelindung >> korporasi saja. >> >> >> >> Mengapa Prita Mulyasari juga petani gurem itu harus >> >> dipenjara ?. Inilah ironi dan kontradiksi dari tatanan religi >> Neoliberalisme, disatu sisi negara melepaskan campur >> >> tangan kewenangannya, namun disisi lainnya negara malahan harus >> menggunakan tangan besinya. >> >> >> >> Jadi ?. Terimakasih seharusnya kita haturkan kepada Manohara >> >> Pinot dan Prita Mulyasari. Dengan mencuatnya dua kasus yang >> bersamaan ini >> >> kita menjadi lebih dewasa dalam mensikapi ‘politik simbol’. Itu >> tidaklah >> berarti selalu berkonotasi negatif. Hakikatnya itu hanyalah bahasa >> simbol >> yang merupakan cerminan atas realitas yang telah ada didalam benak >> kita >> masing-masing. >> >> >> >> Selanjutnya, semoga kita menjadi terfahamkan dan >> >> tersadarkan bahwa realitas tatanan religi baru >> >> yang bernama Neoliberalisme itu tak hanya ada didepan pintu rumah >> kita, namun >> >> dia telah menelusup masuk ke dalam ruang duduk keluarga kita, telah >> menjerat >> kita di lingkungan luar pekarangan kita -bidang pelayanan kesehatan >> salah >> satunya- dan hampir ke semua sendi kehidupan masyarakat kita. >> >> >> >> Selamat menikmati lanjutan babak baru di era religi >> >> baru Neoliberalisme !. >> >> >> >> Artikel dapat dibaca >> >> di : >> >> Prita Manohara dalam Bahasa >> >> Simbol Neoliberalisme. >> >> http://public.kompasiana.com/2009/06/04/prita-manohara-dalam-bahasa- >> simbol-neoliberalisme/ >> >> >> >> *** >> >> >> >> Belakangan ini media massa >> >> dipenuhi berita tentang kasus Prita Mulyasari, seorang pasien RS Omni >> >> Internasional yang diduga melakukan pencemaran nama baik RS itu dengan >> >> mengirimkan milis ke sebuah surat kabar dan juga sharing melalui >> email dan face >> >> book. >> >> >> >> Bahkan di Kompasiana pun tak mau >> >> ketinggalan dengan kasus ini yang ditandai banyaknya artikel yang >> membahas >> tentang kasus Prita. Dukungan dan kecaman datang begitu derasnya >> yang ditujukan >> >> kepada pihak RS karena telah memenjarakan Prita akibat diduga >> melakukan >> pencemaran nama baik dan tuduhan maal praktek. >> >> >> >> ( lihat isi surat pembaca yang >> >> menjadi mala petaka itu disini dan >> >> surat Prita melalui Email disini : >> http://www.kompas.com/read/xml/2009/06/03/1112056 ). >> >> >> >> Dalam suratnya itu Prita >> >> mengeluhkan akan ketidaknyamanan yang diterima saat berkunjung dan >> berobat ke >> >> RS Omni Internasional. Karena surat itu, RS mengklaim bahwa prita >> telah >> mencemarkan nama baik RS itu hingga ia dipenjarakan walaupun >> akhirnya tuntutan itu >> >> ditangguhkan. >> >> >> >> Hal yang menarik yaitu ketika >> >> Megawati yang saat ini menjadi Capres dari PDIP yang didampingi >> oleh Prabowo >> >> (Cawapres) dari gerindra angkat bicara. Mega menyesalkan akan >> kejadian ini, ia >> >> pun mengatakan bahwa kasus yang menimpa Prita ini merupakan akibat >> dari >> penerapan sistem neoliberalisme. ”Kejadian yang dialami Prita >> merupakan >> bukti kasat mata, dampak dari neoliberalisasi di mana kekuatan >> pasar bebas >> >> dengan lembaga-lembaga multinasionalnya,” demikian Mega. >> >> >> >> Lembaga-lembaga multinasional itu, >> >> lanjutnya, menggunakan UU Informasi dan Transaksi Elektronik yang, >> menurut >> Mega, dibuat untuk memuluskan kepentingan neolib dengan mengalahkan >> kepentingan >> asasi masyarakat. ”Nampaknya, di era pasar bebas ini, sulit menjadi >> tuan >> rumah di negeri sendiri,” ujarnya. (sumber >> http://www.kompas.com/read/xml/2009/06/03/18042517) >> >> >> Sekali lagi isu neoliberal >> >> diterbitkan kembali, kali ini bukan ekonomi yang menjadi objek >> tetapi pelayanan >> >> kesehatan. seperti perdebatan yang lalu-lalu bahwa neoliberalisme >> merupakan >> sebuah sistem ekonomi yang saat ini masih belum terdefinisi dengan >> “legal”, >> kalaupun ada yang mendefinisikan itu hanyalah argumen pribadi dan >> bukan >> kesepakatan bersama. >> >> >> >> Namun pada intinya neolib itu >> >> merupakan sistem yang memberikan keleluasaan bagi pasar untuk >> mengontrol >> dirinya sendiri tanpa ada intervensi dari pemerintah, bisa dibilang >> Neolib ini >> >> adalah Liberalisme ekstrem. Apapun bisa dijadikan barang dagangan >> dan dapat >> >> diperjual belikan termasuk kesehatan. >> >> >> >> Isu kesehatan yang >> >> disangkut-pautkan dengan neoliberalisme ini diduga merujuk kepada >> privatisasi >> instansi kesehatan atau banyaknya RS yang dimiliki oleh swasta. >> Sehingga >> pemerintah dalam hal ini hanya menikmati dari pajak-pajak swasta >> bukannya >> memprioritaskan dan memikirkan masyarakatnya atas hak akan >> kesehatan yang >> >> dijamin oleh negara, hal ini mirip dengan privatisasi perusahaan >> air minum yang >> >> justru seharusnya dimiliki oleh negara karena air adalah sumber >> kehidupan bagi >> >> makhluk hidup, seperti halnya kesehatan. >> >> >> >> Yang menjadi pertanyaan, mengapa >> >> baru saat ini isu kesehatan diperhatikan oleh pemerintah maupun >> elit politik >> >> lainnya sampai dikaitkan dengan neoliberal yang mungkin terlalu >> berlebihan. >> Bahkan isu kesehatan pun luput dari tema kampanye para pasangan >> Capres dan >> >> Cawapres. >> >> >> >> Kasus Prita ini hanya segentir >> >> kasus yang telah dialami banyak masyarakat Indonesia terkait >> masalah kesehatan >> >> terutama dalam hal pelayanan. Belum lagi bagi masyarakat miskin >> dinegeri ini >> >> yang seakan tidak ada hak untuk sakit dan mendapatkan jaminan >> kesehatan oleh >> >> negara. >> >> >> >> Semoga saja dengan adanya kasus >> >> Prita ini, pemerintah saat ini maupun yang akan datang bisa lebih >> >> memerhatikan isu kesehatan ini yang merupakan hak tiap warga negara >> untuk >> mendapatkan jaminan kesehatan dan kehidupan yang layak, dan masalah >> kesehatan >> ini bukan hanya sebagai alat berkampanye bagi Calon pemimpin negeri >> ini. >> >> >> Artikel dapat dibaca >> >> di : >> >> Kasus Prita dan Neoliberalisme. >> >> http://nurulloh.kompasiana.com/2009/06/04/kasus-prita-dan-neolib/ >> >> >> >> *** >> >> >> >> Pria kelahiran Blitar, Jawa >> >> Timur, Boediono belakangan ini namanya menjadi sorotan publik, ini >> dikarenakan >> SBY (Demokrat) dipastikan memilih Boediono untuk mendampinginya >> sebagai >> Cawapres dari kalangan profesional. >> >> >> >> Keputusan ini diambil SBY karena >> >> apabila Budiona menjadi Cawapresnya kemungkinan adanya resistensi >> sangat kecil >> >> dan dengan memilih Boediono, SBY ingin lebih menguatkan ekonomi >> >> Indonesia, jika ia terpilih lagi. >> >> >> >> Banyak partai-partai dan >> >> masyarakat yang setuju dan pro Boediono sebagai Cawapres >> mendampingi SBY, >> >> tetapi banyak pula yang kontra dengannya. >> >> >> >> Tak masalah bagi mereka yang pro, >> >> tapi bagi mereka yang kontra terhadap Boediono, pasti banyak alasan >> mengapa >> mereka kontra terhadapnya. >> >> >> >> Salah satunya yaitu karena >> >> Boediono seorang yang berasal dari non-partai (profesional), tidak >> terlalu >> islami, dan yang paling kritis yaitu ia seorang neoliberal (antek >> IMF), >> kebanyakan yang kontra dengan Boediono kerena ia seorang neoliberal >> adalah para >> >> aktivis dan dari kalangan LSM. >> >> >> >> Alasan kenapa Boediono dikatakan sebagai >> >> neoliberal karena ia lulusan Business Economics, Wharton School, >> University of >> >> Pennsylvania, AS dengan gelar Doctor of Philosophy. >> >> >> >> Apakah karena ia lulusan AS yang >> >> notabene negara liberal ?. Tak sampai disitu Track Record di >> bidang ekonomi yang juga membawanya >> >> menjadi Internal Auditor Bank Of Amerika cabang Jakarta tahun 1969- >> 1970, itu >> >> yang membuat masyarakat yang menolak Boediono sebagai Cawapres >> mendampingi SBY, >> >> mereka menilai karena ia pernah bekerja d Bank asing, langsung >> mencapnya >> sebagai antek asing yang pahamnya (pasti) neoliberal. >> >> >> >> Ada pula yang mengatakan karena >> >> Boediono seorang neoliberal maka ia tidak islami, bukannya agama >> itu urusan >> >> makhluk dengan tuhannya. Padahal dulu Boediono pernah menjadi Gubernur >> >> pengganti Bank Pembangunan Islam untuk Indonesia sekitar tahun 1993- >> 1998. >> >> >> Lucunya lagi, kenapa bagi yang >> >> menolak Boediono (mungkin bisa saya), tidak mempermasalahkan ketika >> ia naik >> >> sebagai Gubernur BI, padahal BI merupakan regulator bagi >> perekonomian kita. >> >> >> >> Neoliberal merupakan paham >> >> pembaharuan dari liberalisme dan teman-temannya (kapitalisme dan >> globalisme) >> semuanya ini menganut sistem ekonomi yang kekuatannya ada pada >> modal individu >> >> (swasta). >> >> >> >> Mungkin karena masyarakat >> >> Indonesia yang masih berkutat pada kemiskinan itulah yang >> menyebabkan paham ini >> >> sulit diterapkan di Indonesia. Mereka takut dengan Naiknya Boediono >> sebagai >> Cawapres nantinya bukan memajukan ekonomi kerakyatan tetapi hanya akan >> >> memperkuat daya cengkram kaum-kaum liberal. >> >> >> >> Ekonomi pasar bebas memang belum >> >> cocok diterapkan di Indonesia, masih perlu campur tangan pemerintah >> untuk >> mengontrol jalannya perekonomian yang berusaha agar tetap berpihak >> pada kaum >> >> proletar. >> >> >> >> Sebenarnya paham neoliberal masih >> >> banyak cabang dan rantingnya, dan untuk Indonesia mungkin ada >> cabang atau >> >> ranting dari liberalisme yang cocok diterapkan apabila kita ini pintar >> >> memadukan antara ekonomi kerakyatan dengan ekonomi “ala” barat itu. >> >> >> >> Balik lagi, apakah salah Boediono >> >> seorang Neoliberal ???. Jawabannya >> >> tidak, karena itu sebuah pilihan dan merupakan hak. >> >> >> >> Tetapi sekali lagi masyarakat >> >> punya penilaian dan bukti sendiri-sendiri untuk memberikan suatu >> citra dan >> >> nilai terhadap itu semua. >> >> >> >> Kalau saya dan anda tidak setuju >> >> dengan pasangan SBY-Boediono karena suatu paham ekonomi, kita masih >> punya >> kandidat Capres dan Cawapres lain yang mungkin mempunyai pemikiran >> baru untuk >> >> memajukan perekonomian bangsa ini. >> >> >> >> Yang terpenting siapapun yang >> >> akan menjadi RI 1 dan RI 2, kita harus terima dengan legowo karena >> >> itu pilihan rakyat dan jangan sampai hanya dengan berbeda pandangan >> atau paham, >> >> kita terpecah belah, bukankah kita punya wakil rakyat yang akan >> mengontrol >> semua kebijakan dan langkah yang akan diambil pemerintah nantinya. >> Jangan >> saling menyalahkan dan menyudutkan siapapun, mari kita bangun sama- >> sama negeri >> >> ini untuk kebaikan kita semua. >> >> >> >> Artikel dapat dibaca >> >> di : >> >> Apa Salahnya Jika Boediono >> >> Seorang Neoliberal ???. >> >> http://nurulloh.kompasiana.com/2009/05/15/apa-salahnya-jika-budiono- >> seorang-neoliberal/#more-131 >> >> >> >> *** >> >> >> >> >> >> >> >> >> >> [Non-text portions of this message have been removed] >> >> >> >> >> >> >> >> [Non-text portions of this message have been removed] >> >> > > > ------------------------------------ > > Ingin bergabung ke milis ekonomi-nasional? > Kirim email ke ekonomi-nasional-subscr...@yahoogroups.com > http://capresindonesia.wordpress.com > http://infoindonesia.wordpress.comYahoo! Groups Links > > > > ------------------------------------ Ingin bergabung ke milis ekonomi-nasional? Kirim email ke ekonomi-nasional-subscr...@yahoogroups.com http://capresindonesia.wordpress.com http://infoindonesia.wordpress.comYahoo! Groups Links <*> To visit your group on the web, go to: http://groups.yahoo.com/group/ekonomi-nasional/ <*> Your email settings: Individual Email | Traditional <*> To change settings online go to: http://groups.yahoo.com/group/ekonomi-nasional/join (Yahoo! ID required) <*> To change settings via email: mailto:ekonomi-nasional-dig...@yahoogroups.com mailto:ekonomi-nasional-fullfeatu...@yahoogroups.com <*> To unsubscribe from this group, send an email to: ekonomi-nasional-unsubscr...@yahoogroups.com <*> Your use of Yahoo! Groups is subject to: http://docs.yahoo.com/info/terms/