Kembali Pada Konstitusi Anti-Kolonial! Rabu, 18 Agustus 2010 |Editorial Sehari setelah proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia, tepatnya tanggal 18 Agustus 1945, sebuah konstitusi baru telah ditetapkan oleh Panitia yang ditunjuk untuk menyempurnakan kemerdekaan Indonesia, dengan tambahan 6 orang dari kalangan pemuda, diantaranya, Sukarni, Chaerul Saleh dan Wikana. Itulah Undang-Undang Dasar (UUD) 1945. UUD ini pada dasarnya, selain dimaksudkan untuk memenuhi kelengkapan pendirian negara baru ini, juga ditujukan untuk memperkuat kemerdekaan negara yang sedang menghadapi ancaman serius dari negara-negara imperialis. UUD ini mempunyai sifat anti-kolonial dan anti-imperialis yang sangat kental. Di bagian preambule-nya dinyatakan bahwa kemerdekaan merupakan hak segala bangsa, dan tercantum seruan ke arah penghapusan penjajahan kolonial di atas dunia. Dalam perjalanannya, Indonesia beberapa kali mengalami pergantian konstitusi, yaitu tahun 1949 dengan konstitusi RIS, lalu pemberlakuan UUDS 1950, dan terakhir kembali pada UUD 1945 melalui dekrit 5 Juli tahun 1959. Konstitusi RIS sangat berbau federalistik, dan sangat sesuai dengan taktik kolonial untuk melakukan penetrasi di negara-negara bagian. Segera setelah rejim Soeharto berkuasa secara illegal, UUD 1945 mengalami "pengkultusan" yang luar biasa dalam berbagai cara, namun jiwa dan sifat anti-kolonialnya sudah dihilangkan. Naiknya Soeharto sudah merupakan penghianatan terhadap UUD 1945, karena telah memutar-haluan politik, ekonomi, dan kebudayaan; telah melakukan pembunuhan dan penyiksaan terhadap jutaan kaum kiri dan nasionalis. Selain itu, pada awal kekuasaannya, Soeharto pun menyetujui pengesahan UU Penanaman Modal Asing (PMA) yang telah merestorasi kekuasaan kolonialis dalam lapangan ekonomi di Indonesia. Tidak berhenti di situ, Soeharto telah melembagakan "kediktatoran militeristik" dengan menindas gerakan rakyat dan membunuh kehidupan demokrasi, padahal UUD 1945 menempatkan kedaulatan rakyat sebagai hal yang harus diutamakan dan mengakui prinsip-prinsip demokrasi. Tidak dapat dipungkiri, bahwa rejim Soeharto telah melakukan penyelewengan besar-besaran terhadap UUD 1945, menjadikannya sebagai dogma yang kasar dan menjauhkannya dari lapangan praktik. Salahnya, kemudian, ada yang menganggap bahwa Soeharto identik dengan UUD 1945. Padahal, jika kita perhatikan secara seksama, praktik kekuasan rejim Soeharto sangatlah bertolak belakang dengan UUD 1945. Paska kejatuhan Soeharto (reformasi?), UUD 1945 sudah empat kali mengalami perubahan (amandemen). Sebagian besar amandemen ini didorong oleh beberapa hal: Pertama, semangat anti-Soeharto yang kebablasan, seolah-olah Soeharto identik dengan UUD 1945, sehingga inti-sari UUD 1945 warisan founding father, misalnya pasal 33 UUD 1945, pun turut dibongkar. Kedua, ada kecenderungan untuk melemahkan UUD 1945, menghilangkan sifat anti-kolonial dan anti-imperialisme, demi membuka jalan bagi neo-kolonialisme dan imperialisme. Jadinya, perubahan ini justru menjadikan UUD 1945 hasil amandemen sebagai kuda tunggangan kepentingan neo-kolonialis untuk menjajah kembali bangsa dan tanah air Indonesia. Lebih parah lagi, bahwa proses amandemen ini dilakukan tanpa sedikit pun melalui konsultasi dengan seluruh rakyat. Di bawah pemerintahan SBY, konstitusi UUD 1945 makin diperlakukan tidak senonoh, terkait berbagai praktik kebijakan ekonomi, politik, dan budaya yang menindas rakyat; pendidikan dan kesehatan diserahkan kepada pasar, sebagian besar rakyat menganggur, kekayaan alam sebagian besar diserahkan pada pihak asing, fakir miskin dan anak terlantar diabaikan negara, dan lain sebagainya. Pada intinya, SBY telah menjadi "penganut garis keras" kebijakan neoliberal,–jubah baru dari neo-kolonialisme modern. Tidak ada pilihan lain; jika kita hendak meluruskan kembali rel perjalanan bangsa ini, maka kita harus kembali kepada jiwa dan semangat proklamasi itu sendiri, termasuk di dalamnya adalah UUD 1945 yang anti-kolonial dan anti-imperialis. Namun demikian, sehubungan dengan perubahan jaman dan perkembangan masyarakat kita, tidak menutup kemungkinan bahwa beberapa pasal dalam UUD 1945 itu memerlukan perubahan-perubahan. Namun, perlu kami tegaskan, bahwa setiap perubahan terhadap konstitusi harus melalui konsultasi dan persetujuan rakyat; Referendum. Dengan kembali pada jiwa UUD 1945 yang anti-kolonial dan anti-imperialis, maka kita telah menemukan kembali Revolusi kita. Anda dapat menanggapi editorial kami di: redaksiberdik...@yahoo.com <mailto:redaksiberdik...@yahoo.com> http://berdikarionline.com/editorial/20100818/kembali-pada-konstitusi-an\ ti-kolonial.html <http://berdikarionline.com/editorial/20100818/kembali-pada-konstitusi-a\ nti-kolonial.html> [Non-text portions of this message have been removed]