“ Kami telah sampai pada suatu titik di luar batas kesabaran kami “ , [Anifah Aman, Menteri Luar Negeri Malaysia]. Kalimat itu diucapkannya dalam konferensi pers setelah memanggil Duta Besar Indonesia menghadap beliau kemarin (25/8). Singkat, bernas, tajam. Anifah Aman dengan telak menonjok wajah barisan diplomat Indonesia. Anifah Aman tidak memiliki latar belakang sebagai diplomat. Dia politisi biasa yang kerap gonta-ganti posisi dalam kabinet. Jabatan sebelumnya adalah Wakil Menteri Transportasi. Tetapi kepiawaiannya menangani isu hubungan bilateral Indonesia-Malaysia, jelas di atas Menteri Luar Negeri kita yang bergelar doktor dan sering berpidato di forum-forum ilmiah internasional. Anda tidak memerlukan seorang doktor untuk menjadi menteri luar negeri yang sukses.
Dulu kita punya Ruslan Abdulgani dan Adam Malik yang menjadi menteri luar negeri berbekal bondo nekat saja. Nyatanya mereka terhitung menteri paling sukses di jamannya. Cak Ruslan adalah Sekjen Konferensi Asia-Afrika pertama, dan Adam Malik dikenal sebagai bidan lahirnya ASEAN. Mari kita simak lagi pernyataan pers Anifah Aman kemarin : “Mereka punya masalah domestik sendiri di Indonesia. Tapi jangan jadikan warga Malaysia sebagai korban”. Intinya, Anifah Aman menyindir kondisi domestik Indonesia yang kacau-balau, demonstrasi yang bisa dibayar, dan kelihatannya ada yang pihak yang memanas-manasi hubungan Indonesia-Malaysia untuk meraih keuntungan politik tertentu. Anifah berkata lagi : “Kami akan memantau situasi. Kalau perlu kami akan mengeluarkan travel advisory”. Yang terakhir ini adalah penyataan berani dan serius. Jika pemerintah suatu negara berniat mengeluarkan travel advisory kepada negara X, itu berarti pemerintah bersangkutan menganggap negara X sebagai negara yang tidak aman. Dalam hubungan diplomatik, travel warning dan travel advisory juga kadang-kadang dianggap merendahkan harkat negara yang menjadi sasaran. Indonesia misalnya, beberapa kali murka ketika Australia mengeluarkan travel warning bagi warganya agar menunda kunjungan ke Indonesia hanya gara-gara informasi intelijen yang sumir tentang ancaman serangan teroris. Jujur saja, saya kagum dengan keberanian dan keterampilan Anifah Aman mengolah isu Tanjung Berakit ini, dengan lincahnya membalik arah angin opini internasional memihak kepada Malaysia. Di lain pihak, saya menaruh simpati kepada Menteri Doktor Marty Natalegawa yang kemarin menjadi bulan-bulanan empuk di DPR lantaran dianggap tidak piawai menangani isu terkait. Saya akan coba cek berapa gaji bulanan Menteri Anifah Aman. Kalau tak terlalu tinggi, saya bisa usulkan agar kita menyewa saja Anifah Aman untuk menjadi menteri luar negeri kita. *** Kita Pinjam Saja Menlu Malaysia http://politik.kompasiana.com/2010/08/26/kita-pinjam-saja-menlu-malaysia/ *** Malaysiabermain cantik dengan politik pencitraan yang pas. Satu-kosong untuk Malaysia. Dunia internasional akan melihat Indonesiasebagai bad boy dan Malaysiasebagai good boyyang teraniaya. Indonesia hanya bisa ternganga, walaupun memiliki presiden yang dianggap jago dalam politik pencitraan. * Presiden SBY biasanya sangat piawai dan lihai serta digdaya dalam memainkan pencitraan sehingga dirinya mendapatkan empati dan simpati sebagai pihak yang dizolimi, alias dirinya ditempatkan sebagai good boy yang teraniaya, sedangkan lawannya sebagai bad boy yang menganiaya. Namun rupanya kepiawaian dan kelihaian serta kedigdayaan Presiden SBY itu hanya berlaku untuk lingkup domestik yang lokal di dalam batas teritorial negara Indonesiasaja, alias hanya ampuh dan mujarab jika diterapkan kepada rakyatnya sendiri saja yang dalam hal ini adalah rakyat Indonesia. Oleh sebab itu kepiawaian dan kelihaian serta kedigdayaan maupun keampuhan dan kemujaraban serta keampuhan mantra pencitraannya Presiden SBY menjadi majal dan tidak mempan serta luruh tak berdaya saat berhadapan dengan negara lainnya atau pun lingkupnya sudah internasional yang antar negara dengan penerapan yang bukan hanya rakyatnya sendiri saja. Mengapa bisa demikian, yang seakan kehebatannya Presiden SBY seperti kehebatannya si ayam jago kate yang hanya hebat bila berada di kandangnya sendiri saja ?. Ya, karena kepiawaian dan kelihaian serta kedigdayaan maupun keampuhan dan kemujaraban serta keampuhan mantra pencitraannya Presiden SBY itu memanglah sejak semula hanya didesain untuk keperluan lingkup domestik dalam negeri Indonesia, serta penerapannya didedikasikan hanya untuk pencitraan di kalangan rakyatnya saja. Mengapa hanya begitu ?. Ya, memang sejak awal tujuannya ya hanya untuk itu. Maka janganlah heran jika diplomasi negara pada masa pemerintahannya selalu kalah dalam perang diplomasinya dengan Malaysiamaupun Singapura. Itu pun perlu diberikan garis bawah bahwa tentunya dua negara itu, Malaysiadan Singapura, masih jauh kelasnya dibandingkan dengan Amerika Serikat dan Rusia. Makanya dapat dibayangkan bagaimana diplomasi pemerintahan pimpinan Presiden SBY jika berhadapan dengan kepentingannya Amerika Serikat dan sekutunya. Wallahualambishshawab. *** Ketika hubungan dua negara memanas, Malaysiabermain cantik dengan politik pencitraan yang pas. Indonesia hanya bisa ternganga, walaupun memiliki presiden yang dianggap jago dalam politik pencitraan. Jika dirunut ke belakang, peristiwa-peristiwa yang membuat hubungan Malaysia-Indonesia memanas kebanyakan berada di daerah abu-abu (grey area) yang tidak diatur secara jelas. Contoh yang paling mutakhir adalah peristiwa ditangkapnya 3 orang pegawai Departemen Kelautan dan Perikanan di perairan Tanjung Berakit. Kawasan perbatasan ini merupakan daerah abu-abu yang masih dalam proses perebutan antara Malaysiadan Indonesia. Contoh lain adalah perebutan lagu Rasa Sayange yang sudah lama berlalu. Siapa pencipta lagu ini, tidak jelas. Sejarahnya pun simpang siur. Maka wajar jika mengundang konflik kepemilikan. Juga soal TKI ilegal. Walaupun statusnya ilegal, mereka telah memberi kontribusi positif dalam pembangunan Malaysia. Keberadaan mereka memungkinkan majikan Malaysiamenekan biaya produksi dengan membayar gaji yang rendah. Jadi biarpun status hukumnya ilegal, tetapi status riil-nya legal karena mereka masih bisa direkrut untuk bekerja. Ini juga wilayah abu-abu yang membuka banyak interpretasi. Ketika konflik bermula dari masalah yang tidak jelas statusnya, politik pencitraan memegang peranan penting. Di sini saya melihat Malaysiabermain sangat cantik. Untuk kasus 3 pegawai DKP misalnya, katakanlah memang terjadi di wilayah yang masih diperebutkan, tetapi ‘kesalahan’ Malaysia sebenarnya lebih berat karena menahan 3 orang pegawai pemerintah Republik Indonesia yang sedang menjalankan tugas resmi. Sebaliknya, Indonesia‘hanya’ menahan 7 orang nelayan dan peristiwa tertangkapnya nelayan ini memang sudah rutin terjadi di wilayah perbatasan. Indonesiagagal bermain dengan apik. Indonesiagagal mem-blow up peristiwa tertangkapnya 3 orang pegawai DKP untuk meraih simpati publik domestik dan internasional. Presiden SBY tidak langsung menjemput ketiga pegawai DKP itu di pelabuhan, bahkan ketiga pegawai DKP itulah yang berusaha keras menemui Presiden SBY. Bandingkan dengan kecantikan pencitraan yang pernah dilakukan Presiden Gloria Macapagal-Arroyo ketika Malaysia menggelar Ops Nyah di tahun 2002 untuk mengusir ribuan pekerja ilegal. Gloria Arroyo dengan telak men-skak mat Perdana Menteri Mahathir Mohamad. Ceritanya begini. Dalam Ops Nyah 2002, ribuan buruh ilegal Filipina - yang sudah berkontribusi banyak dalam pembangunan Malaysia- diusir secara kasar dan dikirim pulang melalui pelabuhan laut menumpang kapal yang kelebihan muatan. Banyak yang jatuh sakit. Secara hukum Filipina tidak punya posisi kuat karena yang diusir adalah buruh ilegal. Tetapi Gloria Arroyo bermain apik. Dia sendiri datang ke pelabuhan, menggandeng orang-orang tua turun dari kapal, dan secara keras mengecam PM Mahathir Mohamad. Adaseorang buruh ilegal yang mengalami pelecehan seksual oleh aparat Malaysiadan Gloria Arroyo langsung menyambar kasus ini sebagai senjata menyerang Mahathir. Malaysiatunduk. Jenderal Fidel Ramos dikirim ke Malaysiauntuk berjumpa Mahathir dengan membawa poin-poin perundingan yang harus diterima oleh Malaysia. Sangat jarang Mahathir kalah dalam pertarungan politik, tetapi Gloria Arroyo melakukannya dengan sangat cantik. Kembali ke kasus 3 orang pegawai DKP. Malaysiatahu bahwa Indonesiapasti bermain bodoh. Terbukti betul. Tiga pegawai DKP itu tidak diperlakukan istimewa di negaranya sendiri, bahkan ada yang menuduh mereka sengaja berbohong untuk menarik simpati. Malaysiatahu bahwa ada sebagian kecil rakyat Indonesiayang berkepala panas seperti massaBendera. Malaysiasabar menunggu. Dan akhirnya tahi meluncur ke Kedutaan Besar Malaysia di Jakarta. Kini giliran Malaysiamelancarkan serangan masif melalui politik pencitraan. Sejak kemarin, koran-koran Malaysiamengangkat kasus pelemparan tahi tersebut menjadi berita utama. Koran-koran berbahasa Inggris, Cina, dan Tamil menyebarkan berita tercela itu ke pelosok dunia. Menghina kedutaan merupakan praktik tercela dalam hubungan diplomatik, dan Malaysiadi sini memiliki poin penentu kemenangan. Dunia internasional akan melihat Indonesiasebagai bad boy dan Malaysiasebagai good boy yang teraniaya. Jangan heran jika sebentar lagi Pemerintah Indonesiamengirim nota permintaan maaf kepada Malaysia. Satu-kosong untuk Malaysia. Kunci kemenangan Malaysiaadalah loudspeaker diplomacy dengan berupaya menggiring opini internasional melalui politik pencitraan. Harus diakui Indonesiakurang pintar menjalankan loudspeaker diplomacy. Loudspeaker diplomacy memang barang baru di ASEAN. Dulu ketika Pak Harto, Mahathir Mohamad, dan Lee Kuan Yew masih ada, ASEAN memang menjalankan silent diplomacy. Semua masalah diselesaikan diam-diam, atau kalaupun tidak selesai langsung disapu ke bawah karpet. Tapi kini kesemua orang kuat itu sudah hilang dari peredaran, kenapa Indonesiamasih ngotot menjalankan silent diplomacy ?. *** Pencitraan: MalaysiaLebih Pintar dari SBY http://politik.kompasiana.com/2010/08/25/pencitraan-malaysia-lebih-pintar-dari-sby/ *** UTUSAN, koran utama Malaysia, menurunkan berita utama dan gambar pelemparan kotoran ke halaman Kedutaan Besar Malaysia di Jakarta (24/8/10), yang dianggap keterlaluan. Di Twitterland, Khairi Jamaluddin, ketua pemuda UMNO (United Malays National Organisation) akan melayangkan protes ke Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) atas tindakan Lumbung Informasi Rakyat (Lira) yang dianggap menggugat kedaulatan tanah airnya. Tampak, Malaysiaingin mengimbangi serangan bertubi-tubi dari masyarakat Indonesiadengan memberikan ruang pada media yang sebelumnya cenderung menganggap remeh masalah perselisihan di Pulau Bintan. Pada waktu yang sama, Lira berhasil mencuri perhatian banyak orang, terutama warga Malaysia. Mari kita berpikir jernih. Pemerintah Indonesiamengakui bahwa batas perairan itu masih dipersengketakan, sehingga dengan sendirinya dimungkinkan terjadi benturan antara aparat di bawah. Sebab, bagaimanapun, mereka akan mematuhi garis pedoman yang telah ditetapkan atasannya. Namun, perlu diingat bahwa ada kesepakatan di antara kedua belah pihak melalui General Border Committee ke-37 bahwa aturan keterlibatan tentara (the rule of engagement) sebatas mengawal keadaan sehingga bentrokan senjata harus dihindari. P endek kata, kekerasan tidak dibenarkan sama sekali untuk menyelesaikan perselisihan di lapangan. Lalu, mengapa banyak orang marah ?. Itu karena mereka tidak mengerti. Kedua, mereka sedang memainkan pedang bermata dua, menyerang Malaysiadan kelemahan pemerintah, terutama karena SBY dianggap tidak tegas menghadapi tetangganya. Kompromi. Dalam perselisihan, kompromi adalah jalan keluar yang mungkin dilakukan. Jika Indonesiamenganggap Malaysiaenggan ke meja ke perundingan, negeri jiran beranggapan bahwa RI tidak mau berkompromi dalam banyak isu, seperti moratorium tenaga kerja wanita (TKW), Ambalat, dan sekarang terkait wilayah perairan Selat Malaka. Padahal, instrumen untuk menyelesaikan ini sudah disepakati oleh kedua belah pihak, seperti tim kementerian luar negeri masing-masing telah berunding mengenai Ambalat. Hingga memasuki tahun keenam, kedua tim ini mengalami jalan buntu untuk menyelesaikan konflik tentang kepemilikan blok yang kaya minyak itu. Jadi, usul untuk mengajak kedua belah pihak berunding agar perselisihan batas perairan tidak meruyak akan menghadapi masalah yang sama, kebuntuan dan ini sekaligus kegagalan keduanya. Coba lihat moratorium TKW untuk sektor pembantu rumah tangga (PRT), yang bahkan melibatkan orang nomor satu masing-masing, SBY-Najib Tun Razak, tak juga bisa menyelesaikan tuntutan Indonesia agar gaji minimum PRT adalah RM 800, sedangkan Malaysia tidak menyetujui dengan alasan tidak ada skim seperti ini di Malaysia. Tampaknya, hal serupa terulang. Ketika dulu banyak pekerja Indonesiadipulangkan karena tidak mempunyai dokumen, sehingga pemerintah RI gusar, Malaysiamengambil kebijakan alternatif. Alih-alih menyelesaikan masalah, pada waktu itu Malaysiajustru memasukkan pekerja dari negara lain, seperti Pakisan, Bangladesh, dan negara-negara tetangga yang lain karena Indonesiatidak memberikan izin pekerja migran itu kembali ke Malaysia. Orkesta dan Drama. Tentu, yang paling memuakkan kita adalah orkestra yang dimainkan anggota legislatif yang bersuara keras terhadap masalah sengketa yang membelit kedua negara. Tanpa memberikan informasi yang utuh, drama yang tidak lucu akan terus dipanggungkan. Perlu diingat, anggota parlemen Malaysiatidak menjadikan isu penangkapan nelayan Malaysiaoleh petugas patroli Kementerian Kelautan dan Perikanan sebagai masalah besar. Justru, setelah Lira melempar kotoran (di Malaysia disebut najis) ke halaman Kedutaan Besar Malaysia, anggota parlemen dari daerah pemilihan Rembau, Khairi Jamaluddini, mengirimkan protes ke KBRI di Kuala Lumpur. Lalu, apakah harapan kita kepada pihak berwenang, dalam hal ini Marti Nata Legawa sebagai bos di Kementerian Luar Negeri ?. Persoalan batas perairan itu harus segera diselesaikan. Dalam wawancara dengan radio SBS Australia (24/8/10), saya menegaskan bahwa sejatinya kita bisa menyelesaikan masalah ini, mengingat elite yang berkepentingan dengan isu kedaulatan sama-sama berlatar belakang Jawa, Purnomo Sugiantoro (Indonesia) dan Ahmad Zahid Hamidi (Malaysia, yang mempunyai darah Jogjakarta). Mungkin yang juga perlu diketahui, beberapa hari setelah insiden Pulau Bintan, Hanifah Aman, menteri luar negeri Malaysia, memenuhi undangan Da'i Bachtiar dalam acara peringatan HUT Ke-65 Kemerdekaan RI di Kuala Lumpur. Betapa dekatnya hubungan emosional itu. Nah, kalau para elite tampak rukun, untuk apa anggota legislatif suka ribut dan sebagian warga Indonesiabertindak provokatif merusak plak Kedutaan Besar Malaysia di Jalan Rasuna Said, bahkan yang memuakkan dengan melempar kotoran ?. Malah Laskar Merah Putih berdemo di depan konsulat Malaysia di Medan seraya mengancam akan melakukan sapu (sweeping) terhadap warga dan mahasiswa Malaysia di Sumatera Utara (Antara, 23/8/10). Jelas, drama pengalihan isu ini makin sempurna. Tampaknya, tak hanya wakil rakyat yang galak, warga biasa pun menunjukkan sikap patriotik. Sayangnya, polisi tak bertindak tegas. Berbeda dengan ketika kelompok Islam di Solo akan melakukan sweeping, serta merta pihak keamanan menangkap pelaku yang akan merazia warga Amerika. Jadi, mari hentikan drama ini dan menuntut pihak berwenang melakukan tugasnya. Jika tidak, demokrasi kita gagal memilih wakil di Senayan dan pemerintah yang bisa menunaikan kewajibannya dengan baik. *** Sengketa Kedaulatan Indonesia-Malaysia http://politikana.com/baca/2010/08/25/sengketa-kedaulatan-indonesia-malaysia.html *** [Non-text portions of this message have been removed]