~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~
    Layanan Informasi Aktual
         [EMAIL PROTECTED]
~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~

Nomor : 152/Org.fkki-jb/X/2004
Hal : Penutupan Kegiatan Ibadah Kristen
di Perumnas Bumi Rancaekek Kencana

Yth. Bapak Bupati Kabupaten Bandung
di Soreang - Bandung


Dengan Hormat,

Sehubungan dengan surat Bapak sebagai Bupati Kabupaten Bandung Nomor 452.2/1829/Kesbang Tanggal 3 September 2004 tentang Penggunaan Rumah Tinggal di pakai Tempat Peribadatan, maka dengan ini kami menyampaikan beberapa hal untuk dipertimbangkan secara seksama:

1. Secara kronologis peristiwa ini diawali adanya aspirasi masyarakat yang tergabung dalam Forum Silaturahmi Ulama dan Cendikiawan Muslim (FSUCM) Perumnas Bumi Rancaekek Kencana Bandung, sesuai dengan surat nomor 06/Eks-08/2004 perihal Pernyataan Sikap Penolakan Pengalihfungsian Rumah Tinggal sebagai Tempat Ibadah non-muslim.

2. Setelah surat Bapak keluar, ibadah di Gereja-gereja Rancaekek pada tanggal 12 September 2004 mendapat larangan keras dari warga. Pelarangan ini berdasarkan Maklumat Forum Silahturahmi Ulama Cendikiawan Muslim (FSUCM) nomor 06/Mak/FSUCM/IX/2004 tanggal 6 September 2004 yang dalam angka 2 menyatakan seluruh warga muslim, para Ketua DKM, para Ketua RT  dan para Ketua RW di lingkungan Perumnas Bumi Rancaekek Kencana Kabupaten Bandung agar senantiasa melakukan pengawasan, menyikapi dan menindaklanjuti SK Bupati Bandung.
Perlu kami jelaskan, bahwa:
a.   Adanya upaya Kristenisasi, sudah merupakan isu yang merebak untuk mendiskreditkan umat Kristen/Katolik. Ini sering dilansir berulang-ulang padahal kejadiannya tidak demikian (yang dilakukan adalah pembinaan rohani intern umat) dan penyebaran isu ini telah membakar emosi rakyat hingga antipati terhadap umat beragama lain. Yang lebih menyedihkan dan memprihatinkan adalah, sikap sementara aparat pemerintah yang tidak mengadakan  cross-check  kepada pimpinan Gereja, tapi langsung merespon pembenaran isu tersebut, hingga tercipta public opinion yang sumbang terhadap keberadaan kegiatan kekristenan disuatu tempat. Gus Dur mengatakan: "Telah terjadi pendangkalan agama dikalangan Muslim Indonesia, dimulai dari interaksi antara Islam di Indonesia dan Islam di Timur Tengah, dimana agama telah dijadikan ideologi atau komoditi politik?..hingga timbul perasaan terhadap orang yang beragama lain merupakan musuh atau lawan" (Kompas, 20 Januari 1997, halaman 14).
b. Perlu diingat, bahwa masyarakat kita adalah masyarakat yang majemuk. Diantara orang Batak ada juga yang memeluk agama Islam, dan diantara orang Sunda juga ada yang memeluk agama Kristen, pantaskah bila ada seorang Batak berpindah memeluk Islam, lalu seluruh orang Batak mengadakan pawai protes dan mengumandangkan plakat "awas ada Islamisasi", karena kenyataannya, diantara tokoh Islam yang sekarang ada terdapat orang yang diberi kebebasan dan bagi kami tidak menjadi masalah, biarlah masing-masing orang diberi kebebasan untuk memeluk ataupun berpindah agama sesuai dengan keyakinannya masing-masing. Ini selaras dengan pasal 18 Universal Declaration of Human Right PBB (dimana Indonesia menjadi anggotanya), yang berbunyi "Setiap orang berhak atas kebebasan pikiran, keinsyafan batin dan agama". Dalam hal ini, termasuk kebebasan berganti agama atau kepercayaan, dan kebebasan untuk menyatakan agama atau kepercayaan dengan cara mengajarkannya, melakukannya, beribadat dan menepatinya, baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain, baik ditempat umum maupun secara sendiri.
c. Hal ini tercermin dalam pasal 29 UUD 1945 yang berbunyi: "Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadah menurut agamanya dan kepercayaannya itu". Tiap-tiap penduduk Indonesia (secara personal) dijamin untuk memeluk agamanya dan beribadah untuk keyakinan agamanya, kalau secara personal wajib dijamin pelaksanaan peribadatannya apalagi secara kolektif sebagai suatu kesatuan jemaat. Sebab itu siapapun yang melarang, menghentikan, menyerang, mengadakan "sweeping" dan menyegel suatu peribadatan, baik dilakukan oleh aparat, kelompok masyarakat maupun perorangan, jelas melanggar Hak Azasi Manusia. Janganlah di Era Reformasi ini, yang tengah memperjuangkan tegaknya Hak Azasi Manusia, justru ada aparat ataupun tokoh masyarakat yang melanggar HAM  secara semena-mena.
d. Adanya pelaksanaan peribadatan diselenggarakan di rumah, sebenarnya adalah suatu keterpaksaan, karena keterbatasan kemampuan untuk membangun sendiri sarana peribadatan yang permanen; adalah suatu hal yang mustahil membangun sarana lebih dahulu, baru kemudian mengumpulkan jemaat, tapi ada anggota jemaat dahulu (awalnya sedikit) barulah kemudian secara swadaya jemaat membangun sarananya. Sebab itu sebagai langkah awal pembinaan dilakukan lewat tempat ibadah di rumah/ruko. Jalan ini di tempuh dengan mengacu pada:
d.1. Kepres No. 13/1989 REPELITA ke-V Sektor Agama "Pembangunan tempat-tempat peribadatan dan penyediaan Kitab-kitab Suci agama pada dasarnya merupakan upaya swadaya masyarakat sesuai dengan kemampuannya".
d.2. Departemen Agama selaku Departemen Teknis dibidang Keagamaan lewat Dirjen Bimbingan Masyarakat Kristen Protestan dengan Surat Edaran Nomor E/200/1011/75 tanggal 27 Agustus 1975 menjelaskan antara lain:
Pemakaian rumah tinggal untuk dipakai sebagai tempat beribadat, larangan itu tidak ada, yang ada hanya untuk memberi pengertian.

Kalau keadaan belum mengijinkan untuk membangun rumah peribadatan tersendiri, maka tidak dilarang untuk beribadat di ruang rumah asalkan dipelihara jangan mengganggu keamanan.
d.3 Surat Direktur urusan Agama atas nama Dirjen Bimas Islam dan Urusan Haji Nomor 07/EDR/79 tanggal 4 Juli 1979 yang ditujukan kepada Kakanwil/Kakandepag seluruh Indonesia isinya antara lain: Perihal pendirian Gereja dan rumah tempat tinggal digunakan sebagai Gereja, agar merujuk pada Surat Komandan Resort Kepolisian  1082  Sidoarjo   Nomor  R/136/IV/1979/KORES  tanggal  12 April 1979 untuk diketahui dan dipedomani seperlunya apabila menghadapi kasus yang sama. Surat Danres tersebut pada angka 2 huruf c tertulis antara lain: Kegiatan Kebaktian yang merupakan kegiatan Gerejani dilakukan di tempat/di rumah ibadat (eenplaats  voor het van bidstonden) yaitu tempat yang khusus untuk melakukan ibadat/sembahyang secara berjemaah, misalnya mesjid, langgar, mushola, gereja dan lain-lain, termasuk rumah yang berfungsi khusus untuk keperluan dimaksud.
d.4. Simak juga Surat Edaran Menteri Agama Nomor  3 tahun 1978 tanggal 29 Juni 1978 Bab III tentang tempat Dakwah Agama dapat dilakukan antara lain di Kantor, Aula, Balai Pertemuan, Rumah, Tanah Lapang, Sekolah dan lain sebagainya.
d.5. Surat Bupati Bandung Nomor 452.2/829/Kesbang tanggal 3 September 2004 mengenai larangan penggunaan tempat tinggal di pakai tempat peribadatan yang mendasar kepada Radiogram Mendagri Nomor 264/KWT/DITPUM/DV/V/1975 tidak memperhatikan Radiogram selanjutnya Nomor 933//KWT/SOSPOL/DV/1975 tanggal 28 November 1975, dimana dalam point BBB penggunaan rumah tinggal tidak pernah di larang.

3. Pada tanggal 1 September 2004 diadakan rapat koordinasi dalam rangka pembahasan penyelesaian penggunaan rumah tinggal yang dipakai tempat peribadatan/kebaktian. Keputusan rapat tersebut tetap tidak mengijinkan rumah dipakai sebagai tempat ibadah, sehingga untuk ibadah/kebaktian hari minggu untuk sementara (tanggal 12, 19 dan 26 September 2004) dipinjamkan tempat di gedung milik Telkom di Kecamatan Rancaekek.  Namun ketika hari Sabtu, 11 September 2004 gedung yang dimaksud dibersihkan untuk tempat Ibadah keesokan harinya, masyarakat sekitarnya melarang sambil membawa benda-benda tajam, siap menyerang orang-orang yang akan membersihkan gedung tersebut. Karena di gedung Telkom tidak boleh dipakai, sementara ibadah harus berjalan, akhirnya diputuskan untuk tanggal 12 ibadah kembali diadakan di rumah-rumah. Hal inipun ditentang oleh masyarakat dan aparat. Setelah pembicaraan dengan aparat dan tokoh masyarakat, akhirnya ibadah hari itu bisa
berjalan. Hal ini sangat mengherankan dan perlu menjadi bahan pemikiran, dimanakah wibawa Pemerintah yang telah memutuskan dan mengijinkan Ibadah boleh dilakukan di Gedung Telkom, tetapi ketika mau dilaksanakan bisa dihalangi oleh masyarakat.

Demikianlah kami sampaikan pokok pikiran kami untuk direnungkan dalam menyelesaikan persoalan yang sedang terjadi. Kami menghendaki  adanya penyelesaian serta pertimbangan dari Bapak untuk memberikan kebebasan beribadah sementara, perlu ditetapkan tempat (Fasos) yang ditetapkan oleh Pemda Kabupaten Bandung di lokasi Perumahan Bumi Rancaekek Kencana, disamping ijin lokasi IMB disiapkan.

Sambil menantikan penyelesaian administratif dan penempatan lokasi gereja, kami percaya Bapak cukup arif untuk menyelesaikannya dengan mengacu pada penegakan hukum dan keadilan selaras dengan Pancasila.


Bandung, 4 Oktober 2004
Forum Komunikasi Kristiani Indonesia Jawa Barat


Pdt. J. Simon Timorason 
Ketua                                                                 
Yustine Tatangindatu
Sekretaris II                                  
 
Tembusan :
1. Presiden RI
2. Menteri Agama/Departemen Agama Republik Indonesia
3. Dirjen Bimas Kristen Departemen Agama Republik Indonesia
4. Gubernur Propinsi Jawa Barat
5. Kapolda Jawa Barat
6. Pangdam III Siliwangi
7. Komnas HAM di Jakarta 
8. DPRD Propinsi Jawa Barat
9. Kakanwil Departemen Agama Propinsi Jawa Barat
10. Bimas Kristen Kanwil Departemen Agama Propinsi Jawa Barat
11. Bimas Katolik Kanwil Departemen Agama Propinsi Jawa Barat
12. Ketua DPRD Kabupaten Bandung
13. Ketua Komisi A DPRD Kabupaten Bandung
14. Muspida Kabupaten Bandung
15. Ketua MUI Kabupaten Bandung
16. Lembaga-lembaga Gereja Aras Nasional
17. Lembaga-lembaga Gereja Aras Propinsi Jawa Barat 
18. BKSG Kabupaten Bandung
19. FKKI Pusat Surabaya
20. FKUKK Rancaekek Sekitarnya
21. FSUCM Perumnas Bumi Rancaekek Kencana

Kirim email ke