~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~
Layanan Informasi Aktual eskol@mitra.net.id ~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~ Hot Spot: Sabtu, 9 Juli 2005 Sabtu, 09 Juli 2005,
Benarkah Mereka Wakil Rakyat?
Oleh Riswandha Imawan * DPR kembali membuat berita. Di tengah
kacau-balaunya situasi sosial politik saat ini, di saat wabah penyakit menyergap
bangsa Indonesia, di kala penderitaan anak bangsa makin menindih, para wakil
rakyat sepakat menaikkan pendapatan mereka. Karena itu, layak bila kita
bertanya, "Benarkah mereka itu wakil rakyat?"
Pertanyaan tersebut berkaitan dengan status yang disandang wakil rakyat. Maknanya, tiap anggota DPR adalah representasi paling sahih atas kondisi riil bangsa Indonesia. Seperti bayangan yang muncul saat kita berdiri di depan cermin, wakil merupakan representasi paling sempurna dari rakyat yang diwakili. Kesederhanaan Mahatma Gandhi dengan hanya memakai dua lembar kain, Ho Chi Min yang memakai sandal dari ban bekas, atau Bung Karno yang setia mengenakan kopiah hitam merupakan contoh konkret sifat yang mewakili rakyat itu. Gandhi berkata, beginilah nasib bangsa India saat itu. Ho Chi Min berujar, busananya sama seperti busana orang Vietnam. Dengan bangga, Bung Karno menjelaskan kepada bangsa lain bahwa inilah topi yang dikenakan bangsa Indonesia. Bisa dikatakan, kondisi (fisik, mental, dan spiritual) para wakil adalah cermin dari kondisi yang sama pada tataran rakyat. Kalaupun berbeda, perbedaan itu tidak sampai jomplang, berbeda secara tajam. Mengikuti logika itu dan menyaksikan perilaku mayoritas anggota DPR saat ini, rasanya akal sehat rakyat habis ditekuk-tekuk wakilnya. Data yang disampaikan Badan Urusan Rumah Tangga (BURT) DPR menunjukkan, saat ini upah (sebutan ini lebih tepat daripada uang kehormatan) ketua DPR (Rp 35,17 juta), wakil ketua (Rp 29,89 juta), dan anggota (Rp 28,37 juta). Wakil rakyat itu mengeluh, upah yang mereka terima tidak cukup untuk melaksanakan tugas, tidak memadai untuk hidup dengan dua anak. Untuk itulah, mereka mengajukan struktur upah baru. Ketua DPR (Rp 65,17 juta) atau naik 85,2 persen, wakil ketua (Rp 51,39 juta) atau naik 71,9 persen, dan anggota (Rp 38,01 juta) atau naik 33,9 persen. Secara keseluruhan, upah bulanan yang dibawa pulang ketua DPR naik 104 persen, wakil ketua naik 89,5 persen, dan anggota naik 82,8 persen. Penipuan? Sekalipun baru taraf usulan, tindakan tersebut sungguh menyakiti hati rakyat yang setahun lalu dibujuk untuk memilih mereka. Bila dikaitkan dengan obral janji mereka untuk memperhatikan rakyat, jelas inisiatif itu merupakan penipuan terhadap rakyat Indonesia. Tindakan merupakan wujud dari niat. Hingga disebutkan di sini bahwa mayoritas wakil yang ada di DPR saat ini adalah penipu. Simak saja alasannya. Kalau mereka mengatakan upah yang diterima tidak mencukupi untuk hidup dengan dua anak, lalu bagaimana pegawai atau pedagang asongan dengan kondisi yang sama, tapi upahnya hanya Rp 800 ribu? Apakah tidak terbayang dalam benak mereka, sebagian (walau kecil) dari upah mereka berasal dari keringat rakyat yang mereka tipu saat ini? Tidakkah nurani mereka tergetar oleh derita yang ditanggung rakyat saat ini, mulai busung lapar, demam berdarah, bencana alam, hingga himpitan hidup sebagai akibat kenaikan harga BBM? Jangan sampai rakyat berpendapat bahwa salah satu syarat untuk menjadi wakil rakyat adalah tidak punya nurani. Usul kenaikan upah yang fantastis itu bersumber dari masuknya elemen baru, yakni dana operasional khusus. Acara kunjungan ke daerah, menemui konstituen mereka, diklaim memerlukan dana yang besar. Sementara secara terbuka ada yang mengatakan, diperlukan dana khusus untuk sumbangan ke parpolnya. Seluruh alasan itu hanya akal-akalan yang membodohi rakyat. Pada praktiknya, biaya kunjungan ke daerah sudah ditutupi negara. Bahkan, di beberapa daerah, wakil rakyat yang terhormat itu masih diberi ongkos jalan sebagai ucapan terima kasih. Kalaupun alasannya perlu dana untuk memenuhi tuntutan konstituen, itu menunjukkan, mayoritas mereka tidak mampu mengubah logika konstituen menjadi logika rakyat. Logika konstituen hanya berlaku saat pemilu. Setelah menjadi wakil rakyat, logika mewakili rakyatlah yang harus mereka gunakan. Kalau benar ucapan salah seorang anggota DPR di depan kamera televisi bahwa ada kewajiban setoran ke partai, logikanya makin parah. Citra parpol yang remuk redam bertambah hancur lebur dengan pengakuan itu. Rakyat tentu bertanya, apakah keharusan yang sama berlaku pada kader partai di jajaran eksekutif? Logisnya, ya. Karena itu, pengisapan uang rakyat secara legal tetap berlangsung dalam pola hubungan direktif-parasitis. Melalui mekanisme sentralistis yang hingga saat ini bertahan dalam parpol di Indonesia, para kader bertindak sebagai operator pemenuhan kebutuhan parpol. Praktik itu terjadi karena mayoritas mereka sebenarnya bukan orang yang benar-benar dikehendaki rakyat. Fakta menunjukkan, akibat kesalahan sistem pemilu yang kita gunakan pada Pemilu 2004, disproporsionalitas keanggotaan di DPR masih sangat tinggi. Misalnya, di antara 550 orang, hanya dua anggota DPR yang benar-benar melampaui bilangan pembagi pemilih (BPP). Artinya, hanya dua orang itu yang benar-benar diinginkan rakyat. Selebihnya, 548 orang, sebenarnya tidak dikehendaki rakyat. Beruntung Toh, mereka beruntung hanya karena oligarki partai menempatkannya di nomor urut peci (atas) dalam daftar calon yang diajukan. Walau perolehan suaranya jauh lebih kecil dibandingkan calon lain, karena nomor urutnya lebih tinggi, calon yang tidak dikehendaki rakyat tersebut menjadi anggota DPR. Secara sederhana bisa dilacak. Bila perbandingan antara anggota DPR dengan rakyat adalah 1:400 ribu orang, artinya 1 anggota DPR mewakili 400 ribu penduduk, sebenarnya DPR hanya menyuarakan kehendak 800 ribu (2 x 400 ribu) dari 220 juta rakyat Indonesia. Pantas saja mayoritas mereka sama sekali tidak bisa merasakan penderitaan rakyat saat ini. Andai saja mereka mau merenung sebentar, masih mau mendengar bisik nurani kemanusiaan dari lubuk hati yang paling dalam, tentu mereka akan bertanya, "Prestasi apa yang telah saya buat dalam setahun ini sehingga kerja saya layak dihargai semahal itu?" Apakah prestasi itu demikian spektakuler, mampu menolong rakyat dari kubangan derita berkepanjangan, yang pengorbanannya setara dengan upah yang mereka diterima? Realitanya, banyak keputusan DPR yang justru menambah derita rakyat. Satu kesalahan politik yang amat dasar, di mana pemegang kewenangan tidak boleh memberi atau menambah derita pada pemegang kedaulatan (rakyat). Cobalah direnungkan. Bila usulan itu diterima, setiap hari upah ketua DPR Rp 2,17 juta, wakil ketua Rp 1,71 juta, dan anggota Rp 1,26 juta. Melihat itu semua, rakyat tak lagi bisa menangis karena sudah menjadi bagian dari air mata itu sendiri. Eagle Flies Alone, Kaki Merapi, 7 Juli 2005 * Riswandha Imawan, guru besar Fisipol UGM Jogjakarta |