Seri Kuliah Umum Filsafat

Totalitarianisme dan Kebebasan Menurut Hannah Arendt
Pembicara: Eddie Sius Riyadi (Peneliti di Van Vollenhoven Insititute, 
Universiteit Leiden )
Rabu, 06 April 2011, 19:00 WIB

Hannah Arendt adalah seorang filsuf dan pemikir teori politik yang mengulas 
akar-akar totalitarianisme pada rezim Stalin dan Nazi. Kedua rezim ini dikenal 
memiliki kebencian terhadap satu kelompok (Yahudi), yakni kebencian yang 
sebenarnya bersumber megalomania. Bagi Arendt, kebebasan adalah dasar dari 
politik. Namun ia punya kritik terhadap kebebasan yang liberal karena kebebasan 
menurutnya selalu bersifat publik. Akar kebebasan yang dianut oleh Arendt 
adalah republikan klasik.


Rabu, 06 April 2011, 19:00 WIB
TOTALITARIANISME DAN KEBEBASAN MENURUT HANNAH ARENDT
Pembicara: Eddie Sius Riyadi (Peneliti di Van Vollenhoven Insititute, 
Universiteit Leiden )

Rabu, 13 April 2011, 19:00 WIB
JENDER DAN SEKSUALITAS MENURUT JUDITH BUTLER
Pembicara: Moh. Yasir Alimi (Dosen Universitas Negeri Semarang)

Rabu, 20 April 2011, 19:00 WIB
DEMOKRASI, KEBEBASAN DAN KESETARAAN MENURUT SEYLA BENHABIB
Pembicara: Gadis Arivia (Dosen Filsafat Universitas Indonesia dan Pendiri 
Jurnal Perempuan)

Rabu 27 April 2011, 19:00 WIB
PERNIKAHAN, SEKS DAN KONTROL TERHADAP PEREMPUAN MENURUT ZIBA MIR-HOSSEINI
Pembicara/Speaker: Neng Dara Affiah (Komisioner Komnas Perempuan dan Ketua 
Fatayat NU)

Dalam kaitannya dengan program Dwibulan Perempuan, program kuliah di Komunitas 
Salihara menyuguhkan pemikiran dan gagasan dari para pemikir, filsuf, dan 
aktivis perempuan yang datang dari beberapa disiplin ilmu dan tradisi yang 
berbeda.

Hannah Arendt adalah seorang filsuf dan pemikir teori politik yang mengulas 
akar-akar totalitarianisme pada rezim Stalin dan Nazi. Kedua rezim ini dikenal 
memiliki kebencian terhadap satu kelompok (Yahudi), yakni kebencian yang 
sebenarnya bersumber megalomania. Bagi Arendt, kebebasan adalah dasar dari 
politik. Namun ia punya kritik terhadap kebebasan yang liberal karena kebebasan 
menurutnya selalu bersifat publik. Akar kebebasan yang dianut oleh Arendt 
adalah republikan klasik.


Judith Butler adalah seorang filsuf post-strukturalis yang memberi sumbangan 
pada feminisme, teori queer, etika dan politik. Bukunya yang menyedot perhatian 
adalah Gender Trouble (1990) yang mengenalkan ”teori performativitas” untuk 
mengulas jender dan seksualitas: bahwa tidak ada identitas jender yang asli, 
semuanya dibentuk melalui ekspresi dan ”pertunjukan” yang terus diulang hingga 
terbentuk ”identitas jender”. Jender dan seksualitas menurut Butler seperti 
drag contest, lomba kecantikan yang dilakukan oleh waria untuk membuktikan 
mereka adalah wanita yang sebenarnya.

Seyla Benhabib, seorang filsuf Yahudi-Turki, yang menggabungkan pendekatan 
teori kritik dan teori feminisme. Benhabib mengenalkan ”teori-teori demokratis” 
yang menekankan pada diskusi antar-budaya dan perubahan sosial. Benhabib 
menolak apa yang disebut sebagai”budaya yang murni”. Baginya, budaya terbentuk 
melalui dialog dengan budaya lain. Budaya manusia, menurutnya, selalu mengalami 
perubahan yang konstan yang terbentuk melalui batas-batas imajiner. Di sinilah 
kebebasan menjadi dasar bagi individu yang berhubungan dengan kelompok dan 
budayanya, serta kesetaraan yang berkatan dengan hak-hak kelompok dan budaya 
minoritas.

Ziba Mir-Hosseini adalah seorang pemikir, muslimah feminis dan aktivis dari 
Iran. Mir-Hosseini telah mengeluarkan buku-buku yang berkaitan dengan isu 
penikahan, Islam dan jender, serta Islam dan demokrasi di Iran. Buku terakhir 
yang ia tulis, Control and Sexuality, merupakan studi atas bangkitnya 
undang-undang yang mengatur moralitas hingga hukuman zina bagi perempuan di 
beberapa negara berpenduduk muslim seperti di Iran, Indonesia, Nigeria, 
Pakistan, dan Turki.

Program ini ditaja oleh Hivos.

http://salihara.org/event/2011/03/01/pemikiran-hannah-arendt-judith-butler-seyla-benhabib-ziba-mir-hosseini

Kirim email ke