Bung Liman,
 
Perkembangan Kondisi Politik kita akhir - akhir ini memang sangat tidak 
kondusif.
Upaya untuk mengkriminalkan Pejabat Negara yang sedang melaksanakan tugasnya 
sesuai yang diamanatkan oleh undang - undang, justru dimulai dari Kepolisian 
yang mengkriminalkan Wakil Ketua KPK ketika mengeluarkan Cekal untuk para 
terdakwa Korupsi.
Pemerintah melalui Kapolri bersikukuh bahwa Tindakan Pejabat Negara yang 
dinilai telah menyimpang dari aturan baku saat melaksanakan tugasnya bisa 
dituduh sebagai telah menyalah gunakan wewenang dan itu artinya Tindakan 
Kriminal.
Saat itu Presiden SBY tidak segera memberikan reaksi penghentian atas upaya 
kriminalisasi Wakil Ketua KPK tersebut.
Presiden SBY bilang bahwa dia tidak bisa mencampuri proses hukum yang sedang 
berlangsung.
Upaya kriminalisasi baru dihentikan setelah dibentuknya Tim 8 dan juga tekanan 
dari Masyarakat Luas.
 
Kelihatannya mayoritas anggota Pansus Bank Century sangat tertarik dengan 
strategi kriminalisasi tersebut dan mereka lakukan ujicoba terhadap para 
pejabat Negara yang terlibat dalam pengambilan kebijakan bailout Bank Century.
Semua celah untuk mengkriminalkan Pejabat Negara tersebut telah dicoba dengan 
segala cara, hingga menimbulkan kesan bahwa para anggota Pansus ini terlalu 
mencari - cari kesalahan para pejabat yang sedang melaksanakan tugasnya sesuai 
kewenangan yang mereka miliki.
 
Kelihatannya Pemerintah SBY sedang Menuai Badai Kriminalisasi Para Pejabat 
Pemerintah yang sedang melaksanakan tugas sesuai kewenangan yang dimilikinya, 
dimana Badai tersebut muncul akibat adanya Kebijakan Kepolisian/ 
Pemerintah yang Menebar Angin Kriminalisasi Wakil Ketua KPK.
Jadi bisa dikatakan bahwa ini merupakan Senjata Makan Tuan bagi Pemerintah SBY.
Inikan mirip UU Subversib yang di sahkan pada jaman Pemerintahan Sukarno, 
tetapi kemudian digunakan oleh Pemerintahan Suharto untuk menghukum para 
pendukung Sukarno dengan menggunakan UU Subversib ini.
 
Bila tindakan anggota pansus ini tidak bisa segera dihentikan, maka dikemudian 
hari tidak mustahil strategi ini akan diterapkan pada pejabat manapun dan pada 
pemerintahan siapapun.
Hal ini akan membuat para Pejabat Negara dan Pejabat Pemerintahan takut membuat 
keputusan karena semua cenderung cari amannya saja.
Kalau sudah begini, yang akan jadi korban ya rakyat juga.
 
Salam,
 
Adyanto Aditomo

--- Pada Kam, 21/1/10, liman PAP <liman_...@yahoo.com> menulis:





Berikut kutipan dari www.kompas.com / blog Kompasiana

Ghaliza | 21 Januari 2010 | 08:42

Himbauan non-aktif Pansus Hak Angket Bank Century terhadap Boediono dan Sri 
Mulyani telah memperlihatkan cara-cara inskonstitusional Pansus dalam bekerja. 
Kata “himbauan” yang selintas memuat pesan moral, nyatanya tidak lepas dari 
kepentingan kekuasaan tertentu. Diprediksikan cara seperti ini akan menurunkan 
wibawa Pansus.

Jika merujuk pada UU Nomor 6 Tahun 1954 tentang Hak Angket DPR tidak diatur 
masalah pemberhentian maupun pe-non-aktifan seseorang dari jabatannya saat 
sedang diperiksa Pansus. Begitupun bentuk himbauan yang sebenarnya juga tidak 
diatur di dalamnya. Tugas Pansus adalah menyelidiki kebijakan yang di 
indikasikan terdapat penyelewenangan kebijakan yang dilakukan oleh pejabat 
pemerintah. Oleh karena itu, bentuk himbauan Pansus tidak berdasarkan pada 
ketentuan. Ini merupakan bentuk pelanggaran Pansus untuk kesekian kalinya, 
pasca lahirnya Pansus hak Angket Bank Century.

Pelanggaran sebelumnya terkait dengan objek Hak Angket yang ditujukan pada 
kebijakan pemerintah sebelumnya yang tidak dikenal dalam konstitusi maupun 
kebiasaan tata negara di Indonesia. Berdasarkan kebiasaan tata negara di 
Indonesia tidak ditemukan Hak Angket yang ditujukan pada kebijakan pemerintah 
sebelumnya. Objek Pansus Hak Angket selama ini hanya ditujukan pada 
pemerintahan yang sedang berjalan.

Misalnya tidak ada Pansus Hak Angket DPR pada masa rejim orde baru untuk 
menyelidiki kebijakan-kebijakan masa Soekarno. Tidak ada Pansus Hak Angket DPR 
yang dilahirkan dari pemilu 1999 untuk menyelidiki kebijakan Soeharto dan 
Habibie dan tidak ada Pansus Hak Angket DPR tahun 2004 terhadap kebijakan 
Megawati Soekarno Putri. Pansus terjadi pada masa pemerintahan Abdurrahman 
Wahid (Gusdur) yang hanya menyelidiki kebijakan Gus Dus pada saat itu, bukan 
menyelidiki kebijakan pemerintahan sebelumnya. Anggota DPR pada periode 
2004-2009 pernah pula mengajukan Hak Angket kasus BBM pada masa kebijakan 
perminyakan SBY-JK.

Pelanggaran lainnya yakni himbauan non-aktif ditujukan juga kepada Wakil 
Presiden. Berdasarkan UUD 1945, tidak dikenal non-aktif terhadap Wakil Presiden 
tetapi hanya bisa diberhentikan jika melakukan pengkhiatan terhadap negara, 
korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya atau perbuatan tercela. Oleh 
karena itu, himbauan Pansus Hak Angket berupa non-aktif bagi Wakil Presiden 
melanggar ketentuan dalam UUD 1945.

Begitupun himbauan non-aktif bagi Menteri Keuangan yang sebenarnya masuk dalam 
kewenangan Presiden. Dalam UU Nomor 39/2008 Tentang Kementerian Negara 
disebutkan menteri diangkat dan diberhentikan oleh Presiden. Pemberhentian 
terhadap menteri dilakukan Presiden jika mengundurkan diri atas permintaan 
sendiri secara tertulis, tidak dapat melaksanakan tugas selama 3 (tiga) bulan 
berturut-turut, dinyatakan bersalah berdasarkan putusan pengadilan yang 
memiliki kekuatan hukum tetap dan melanggar ketentuan larangan rangkap jabatan. 
Dengan demikian himbauan non-aktif terhadap seorang Menteri tidak dikenal dalam 
sistem ketatanegaraan yang berlaku pada saat sekarang ini.

Uraian pelanggaran- pelanggaran diatas menunjukkan buruknya pemahaman anggota 
Pansus terhadap kewenangannya. Entah ada atau tidak korelasi dengan 
kekhawatiran masyarakat tentang kemampuan anggota DPR pada periode 2009-2014, 
tapi faktanya anggota Pansus tidak memahami secara utuh kewenangannya. Pansus 
sudah tidak lagi bekerja atas dasar konstitusi tetapi emosi, keinginan dan 
kepentingan kekuasaan semata.

Membaca Skenario Politik

Melihat perkembangan Pansus akhir-akhir ini, perlu kiranya kita mewaspadai 
skenario turunkan Gusdur yang diterapkan oleh Pansus dalam kasus Bank Century. 
Skenario dalam penurunan Gusdur adalah beralihnya partai koalisi yang awalnya 
mendukung pemerintah beralih pada koalisi baru yang mendorong peralihan 
kekuasaan. Kemana arah politik kedepan sangat memungkinkan mengalami perubahan, 
tidak menutup kemungkinan, meskipun sebelumnya Golkar, PKS, PKB, PAN dan PPP 
adalah partai pendukung pemerintah SBY-Boediono, akan berubah pikiran dan 
berkoalisi dengan partai oposisi untuk mendorong pergantian kekuasaan.

Skenario kedua adalah pembentukan opini dari para ahli, petinggi negara dan 
tokoh-tokoh masyarakat yang membenarkan pendapat Pansus Hak Angket. Pada masa 
Gus Dur penggiringan opini diarahkan pada seluruh tokoh masyarakat dan lembaga 
negara yang menyatakan Gusdur harus turun. Hari ini opini tentang non-aktifnya 
Boediono dan Sri Mulyani telah bergulir dan akan terus digulirkan, salah 
satunya telah kita dengarkan pendapat BPK berupa delegitimasi peran Komite 
kordinasi (KK) dan Komite Stabilitas Sektor Keuangan (KSSK) dalam mengatasi 
krisis global 2008.

Mungkin saja kedepan opini non-aktif akan dimunculkan kembali oleh petinggi 
negara atau mantan pejabat tinggi. Termasuk juga membesarnya aksi-aksi massa 
mendesak Boediono-Sri Mulyani turun sebagaimana yang pernah terjadi di massa 
Gusdur dan sudah terjadi hingga sekarang.

Terakhir yang kita amati adalah adanya pembunuhan karakter dengan teriakan 
maling kepada Boediono dan Sri Mulyani. Jelas ini adalah bagian untuk 
menyudutkan kedua orang tokoh ini. Lalu muncul juga isu tentang pergantian Sri 
Mulyani, dimana katanya sudah menjadi kesepakatan SBY dengan Bakrie. Padahal 
pergantian ini tidak pernah dibicarakan dan disepakati oleh SBY dan Bakrie.. 
Jangan lupa sudah ada pihak yang menginginkan SBY dipanggil termasuk 
bertanggungjawab atas baillout Bank Century. Ini semua adalah potongan-potongan 
puzzle yang sengaja dibentuk untuk menuju pemakzulan dan pernah terjadi pula di 
masa Gus Dur.

Skenario ketiga, jika nanti Boediono dan Sri Mulyani dinyatakan bersalah oleh 
Pansus Hak Angket Bank Century tidak menutup kemungkinan akan berimbas pada 
posisi Presiden. Melihat arah Pansus yang penuh dengan “kejutan-kejutan”, dapat 
melampaui batas-batas konstitusional yang ada, tidak menutup kemungkinan 
pemakzulan terhadap Presiden atau Wakil Presiden bergulir hingga ke Mahkamah 
Konstitusi.

Tiga skenario diatas pernah dihadapi oleh Gusdur yang membuatnya harus melepas 
statusnya sebagai Presiden. Para pelakunya antara lain PDIP, PAN, PPP, PBB, 
PKS, dan Partai Golkar pada masa itu dan kini ditambah dengan Gerindra dan 
Hanura yang memungkinkan sekali perubahan kekuasaan terjadi sebelum masa 
kepemimpinan SBY berakhir pada tahun 2014.

Tentu rakyat pun tetap tidak mendapatkan keuntungan apapun dari masalah ini..

(tulisan ini tidak jadi dimuat pada salah satu koran terbesar di Indonesia, 
hehehe..)




Kirim email ke