http://polhukam. kompasiana. com/2010/ 04/21/utang- makin-besar- reformasi- 
gagal/-12
 


Utang Makin Besar, Reformasi Gagal


 
Bang Kemal
|  21 April 2010  |  04:14



 




Dirjen Pengelolaan Utang baru baru ini (Surabaya Post; 20/4/2010), mengatakan 
pemerintah rencananya akan menambah utang negara 2T dari penerbitan SBN. Senior 
Chief Economist Standart Chartered Bank, Fauzi Ikhsan, pengamat ekonomi Farial 
Anwar, memberi catatan masalah pengalokasian. 
Bila tanggungjawabnya adalah negara, setiap pengadaan dana dari pihak ketiga 
harusnya mendapatkan kontrol kuat, khususnya dalam kondisi defisit anggaran. 
Defisit, berarti ada kesalahan prakiraan, manajemen keuangan, atau 
pengalokasian. Cek dulu pengalokasian selama ini. 
Bukankah pembelian mobil mewah, pemugaran pagar istana, rencana pembelian 
pesawat presiden, termasuk pemborosan? Pemberian fasilitas mewah kepada pejabat 
publik, cermin negara kapitalis. Kalau Obama memiliki mobil baru anti peluru, 
mobil ini buatan GM. Mengapa kita tidak pakai Toyota Astra saja? Contoh 
keteladanan yang baik, karena muatan lokalnya sudah tinggi. Ada sense of 
crisis, karena beban utang negara perkepala rakyat makin tinggi. 
Penghematan dan sikap keprihatinan tak terlihat. Total utang negara saat ini 
1619T (Detik Finance tgl.10/4/2011) , dan perkepala rakyat terbeban 7,5 juta 
rupiah (ada yang mengatakan 6 – 7 juta). 25,8% dari PDB. Ada pendapat, PDB 
besar, utang besar tak masalah. Tapi bagaimana dengan ketahanan nasional dalam 
semua aspek kehidupan bangsa dan negara? Tahun 2010, utang jatuh tempo 116T. 
Puncak terbesar tahun 2033, 127T (termasuk surat utang eksBLBI). Tulisan 
pengantar terdahulu disini.
Pinjaman utang Sukuk (pembiayaan syahriah), ternyata memang selalu meminta 
persetujuan DPR untuk penjaminan (underlying asset) aset negara, dan 
penyeleksian Bappenas, khususnya untuk pendanaan berbasis proyek (Bisnis 
Indonesia, 19/4/2010). 
Bulan Februari lalu, pemerintah telah menerbitkan sukuk ritel 8,03T. Per 15 
April, lanjutan rilisnya, total penerbitan surat berharga syariah negara, 
mencapai 14,8T. Praktek pinjam uang terus berlanjut, dan ternyata melibatkan 
DPR. Tidak jauh beda dengan penanganan krisis awal era reformasi. 
Rekapitulasi, privatisasi, penjualan aset negara, juga mendapatkan persetujuan 
DPR. Laksamana Sukardi dan pejabat pemerintah lainnya tidak mungkin bisa 
dituntut. Ini wilayah kebijakan, yang melibatkan DPR saat itu. Bukan 
pelanggaran pidana. Samalah dengan jawaban KPK atas penanganan kasus Century. 
Ketika hiruk pikuk permasalahan terangkat, wakil rakyat seperti cuci tangan. 
Pemerintah Mega yang salah. SBY yang salah. Rakyat yang terbeban utang itu bisa 
cuci tangan? Jelas bisa, karena bukan pelaku. Tapi tetap terbeban dalam bentuk 
pajak dan lain lain. Rakyatlah penanggungjawabnya, dan berbaik hati.
Mengapa jenis pajak rakyat diperluas, tapi intensif kurang berjalan? Akibat 
berbagai kebocoran pajak, seperti yang dijawab oleh Bp.Bakkarudin Is, penulis 
Kompasiana, bahwa komisi III DPR memperkirakan ada 300T yang tidak masuk pajak 
negara, dihitung berdasarkan prakiraan fee kejahatan pajaknya Gayus, BA, dan 
lain lain, timbul pemikiran baru, bagaimana kalau ditjen pajak ini dipisahkan 
dengan Depkeu. Usul itu disampaikan Anggota Badan Anggaran Dewan Perwakilan 
Rakyat (DPR) dari Fraksi Partai Golkar, Bambang Soesatyo, Senin (5/4), 
(Surabaya Post5/4/10). 
Usul ini mendapat dukungan kuat dari Ichsanuddin Nooersy. “Selama di Kemenkeu 
menyatu antara yang menerima uang, menggeluarkan uang, dan memberikan utang, 
maka tak akan ada reformasi birokrasi. Bohong besar kalau ada reformasi 
birokrasi,” katanya. Tapi disanggah Fauzi Ichsan. “Kalau kode etik kerjanya 
sudah buruk, mau dipisahkan juga tetap akan buruk. Jadi usulan ini tidak 
menjawab evaluasi yang ada sekarang,” katanya. 
Benang berah apa yang bisa diambil? Manajemen salah? Reformasi birokrasi gagal? 
Reformasi pembinaan moral, kode etik kerja ditjen pajak gagal? Saya simpulkan 
saja. Selama reformasi bidang apapun, dalam era reformasi ini, tidak 
mendapatkan porsi kuat, tak ada bedanya dengan era orde baru. 
Tatanan berubah, implikasi sama. Kebocoran ada dimana mana. Kemampuan 
pemerintah melunasi utang negara, lemah, karena terjadi penyelenggaraan dan 
praktek manajemen yang salah. Gali lubang tutup lubang. 
Dengan beban utang negara yang besar dan manajemen yang salah, pembangunan 
sampai kapanpun dalam era reformasi, hanya berjalan ditempat. Bagaimana nasib 
rakyat kedepan? Layakkah pemerintah terus menambah utang, dengan persetujuan 
DPR? Sementara pemborosan negara dan kebocoran ini terus berlangsung, tanpa 
koreksi dan kontrol kuat dari wakil rakyat. 
Bukan hanya sekedar “pengendalian” . Jika kikuk, ewehpakeweh, terjebak sistem, 
serahkan saja mandat ke rakyat sebagai alternatif. Putusan atas dasar suara 
terbanyak di DPR belum tentu cerminan kehendak rakyat banyak. Mandat rakyat 
diperluas melalui referendum. Kasihan anak cucu kita yang terbeban utang. 
Tulisan pengantar terkait disini.

Tags: utang, makin, besar, reformasi, gagal
 


      

[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke