Sudahkah Sistem Pendidikan Nasional  Memprioritaskan 

Anak Penyandang Disabilitas?

 

 

Namanya Balqiz balika Utami, biasa dipanggil Balqiz. . Gadis cilik berusia 4 
tahun, kembaran dari Alifah Aishah Utami . Tak seperti saudara kembarnya, 
Balkiz mengalami kebutaan karena ROP - Retina Of Prematurity; pembentukan 
retina yang tidak sempurna akibat kelahiran premature. Lebih dari dua tahun aku 
tidak bertemu dengannya. Terakhir kali ia  berumur  sekitar 13 bulan dan baru 
belajar berjalan.  Saat ini Balqiz telah tumbuh menjadi anak yang cerdas, mampu 
merespond situasi di sekitarnya dengan baik dan sangat percaya diri, luar 
biasa. Itu semua buah dari sikap dan perlakuan orang tua yang juga luar biasa. 

 

Primaningrum, Ibunda Balqiz,    juga sama dengan ibiu-ibu yang lain pada  
awalnya. Saat mengetahui satu dari dua anak kembarnya mengalami kebutaan akibat 
kelahiran premature, merasa sedih, dan bingun, bagaimana masa depan si bayi 
yang tak berpenglihatan ini kelak. Kebingungannya menjadi bertambah saat tidak 
tersedianya informasi yang dapat diperoleh dengan mudah tentang bagaimana 
mengasuh bayi yang tidak berpenglihatan; bagaimana mengajarinya berjalan, 
memperkenalkan benda-benda di sekitarnya, bagaimana pendidikannya, dan lain 
sebagainya.

 

Namun, ibu dari anak kembar ini akhirnya berhasil melewati masa kritisnya, 
dapat menumbuhkan sikap positif  tentang anak tunanetranya pada dirinya,  bahwa 
kehadiran Balqiz di tengah keluarga merupakan karunia tak terhingga, dan 
kemudian secara perlahan tapi pasti mulai belajar bagaimana menjadi ibu yang 
baik untuk   Balqiz. Berbekal sikap positif inilah Primaningrum kemudian 
"mencari informasi", dan internet menjadi solusi untuknya. Namun, berapa banyak 
Ibu yang seperti ini di Indonesia? Sebuah pertanyaan besar. 

  

Kini sudah tiba waktunya Balqiz memasuki taman kanak-kanak -- TK, setelah 
selama dua tahun - sejak usia  26   bulan  hingga kini -- menjalani tahap 
persiapan - pendidikan anak usia dini - di SLB Dwituna Rawinala, SLB yang 
seharusnya diperuntukan anak-anak dengan disabilitas ganda atau bahkan multi 
disabilitas.

 

Secara intelektual  Balqiz tak bermasalah. Itu sebabnya, baik Rawinala maupun 
Mitra   Netra - lembaga yang menyediakan layanan pendidikan untuk siswa 
tunanetra, yang selama ini mendampingi Balqiz dan orang tuanya, menyarankan 
agar Balqiz masuk ke TK umum, bukan TK luar biasa yang hanya khusus untuk anak 
dengan disabilitas. Dan, pilihan sekolah yang paling tepat adalah yang terletak 
tidak jauh dari rumahnya (home school). Begitulah filosofi "pendidikan 
inklusif"; setiap anak, termasuk anak-anak dengan disabilitas seperti Balqiz, 
memiliki hak untuk "memilih" bersekolah di sekolah umum, yang letaknya tak jauh 
dari rumah mereka, dan system pendidikan seharusnya didesain agar dapat 
mengakomodasikan kebutuhan anak-anak dengan disabilitas seperti Balqiz. 

  

 

Berada disituasi seperti Indonesia saat ini, di saat system belum mendukung dan 
informasi sangat minim, butuh orang tua dengan    kreatifitas dan ketegaran 
sungguh  luar biasa, untuk dapat menyekolahkan anak dengan disabilitas seperti 
Balqiz ke TK umum, dan bukan TK luar biasa. 

 

Ihtiar yang tidak mudah. Pendekatan ke beberapa TK pun mulai dilakukan, 
argumentaasi mengapa Balqiz lebih baik belajar di TK umum pun mulai 
disampaikan, dan penolakan secara tidak langsung pun sudah diterima.

 

Hal ini tentu tidak akan terjadi  jika system pendidikan di Indonesia telah 
dikembangkan ke a rah system pendidikan inklusi dengan panduan yang jelas. Pada 
umumnya, sekolah-sekolah umum, termasuk pendidikan anak usia dini - TK,   belum 
mengerti bagaimana seharusnya memberikan pendidikan untuk anak-anak dengan 
disabilitas, yang maasih memungkinkan belajar bersama-sama teman-teman mereka 
yang tiddak menyandang disabilitas. Adalah tugas kementerian pendidikan 
nasional, didukung oleh dinas-dinas pendidikan baik tingkat propinsi maupun 
kabupaten kota untuk membuat system pendidikan umum yang akomodatif untuk 
anak-anak seperti Balqiz.

 

Sistem pendidikan inklusif yang mendorong system pendidikan umum dapat 
mengakomodasikan kebutuhan anak dengan disabilitas telah diperkenalkan di 
Indonesia sejak tahun 1998, saat Pemerintah Indonesia melalui Departemen 
Pendidikan Nasional mengadakan perjanjian kerja sama hutang lunak (soft loan) 
dengan Pemerintah Norwegia; sudah 12 tahun yang lalu. Pusat-pusat layanan untuk 
mendukung kemandirian belajar siswa dengan disabilitas di sembilan kota di 
Indonesia telah dibangun. Alat-alat Bantu adaptive   dengan harga yang tidak 
murah pun telah didatangkan, belasan guru praktisi pendidikan luar biasa telah 
dikirim ke universitas Oslo Norwegia untuk mengambil master degree pendidikan 
anak berkebutuhan khusus dalam setting inklusif. Apa hasilnya? Primaningurm, 
Ibunda Balqiz, dan ratusan ribu atau bahkan jutaan ibu-ibu yang memiliki anak 
dengan disabilitas lainnya di negeri ini masih mengalami kebingungan dan 
kesulitan yang sama.

 

Lalu, ke mana arah kebijakan pemerintah di bidang pendidikan berjalan? Nampak 
bagus di atas kertas dan kedengaran indah di ruang-ruang konferensi, tapi masih 
membingungkan untuk Ibunda Balqiz dan jutaan ibu-ibu lain yang memiliki 
tantangan serupa.

 

Contoh seorang Balqiz Itu baru di tingkat pendidikan dasar. Belum lagi jika 
kita bicara soal pendidikan menengah, apalagi  pendidikan tinggi.

 

Berbagai inisyatif dan dukungan dari organisasi non pemerintah tingkat 
internasional luar negeri yang dilaksanakan melalui rintisan program kerja sama 
dengan organisasi non pemerintah  tingkat local telah dilakukan. Dua di antara 
organisasi non pemerintah local ini adalah Yayasan Mitra Netra dan Perssatuan 
Tunanetra Indonesia (Pertuni) yang memperjuangkan kepentingan siswa tunanetra. 
Melalui inisyatif ini, model-model keberhasilan dalam skala kecil telah diraih. 
 Namun, tentu keberhaasilan kecil ini juga harus direplikasikan, sehingga dapat 
menyentuh lebih banyak anak-anak dengan disabilitas, dan di sinilah peran 
pemerintah, sebagai pemegang kebijakan dan pemilik anggaran.  

 

Upaya berkomunikasi dan berdialog dengan kementerian pendidikan nasional terus 
dilakukan, dan tentu yang diharapkan adalah berbicara dengan Bapak menteri, 
karena pejabat tinggi setingkat menteri diharapkan dapat melihat segala sesuatu 
dalam perspektif yang luas. Tapi apa yang terjadi?  Disposisi terus mengalir, 
hingga ke pejabat dengan eselon yang hanya memiliki kewenangan melihat masalah 
dari satu sudut pandang saja. Menyedihkan. Bagaimana mau membangun system jika 
masyarakat hanya bisa bicara dengan pejabat pemerintah yang kewenangannya 
terbatas?

 

Pada pertengahan bulan Agustus nanti, komunitas pemerhati dan praktisi 
pendidikan anak-anak tunanetra akan berkumpul di Thailand dalam sebuah 
konferensi dunia, yang diselenggarakan oleh International Council of Education 
for People with Visual Impairment (ICEVI). Di ajang semacam ini, negara-negara 
di seluruh dunia akan saling berbagi kisah keberhasilan,. Tidak hanya itu, 
konferensi dunia ini juga akan melakukan evaluasi terhadap pencapaian gerakan 
"education For All - EFA"  atau "pendidikan  untuk   semua" khusus  bagi  anak 
tunanetra. 

 

Memperingati hari pendidikan nasional (hardiknas) tahun ini, mari kita bangsa 
Indonesia bertanya, berapa persen dari anak-anak penyandang disabilitas usia 
sewkolah yang bersekolah saat ini? Sudahkah mencapai angka 10 %? Jika belum, 
langkah apa yang akan dilakukan  kementerian pendidikan nasional untuk membawa 
lebih banyak anak-anak penyandang disabilitas agar mereka juga "duduk di bangku 
sekolah"? Bukan sekedar duduk tentunya, namun juga mendapatkan pendidikan 
berkualitas. 





Aria Indrawati

 

 

 

 

 

 

  

 



 

 

     

  

  

 

 

 


[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke