Sangat komprehensip dan menarik sekali paparan Bung Win Wan Nur tentang EQ. 
Kita sepakat bahwa perlu penelusuran ilmiah yang lebih runtut dan sistematis 
tentang EQ yang selama ini banyak "kita percayai" sebagai faktor yang lebih 
dominan dalam menentukan "sukses" manusia dalam kehidupannya. Diakui bahwa 
parameter untuyk mengukur "tinggi rendahnya EQ" ini yang masih dalam tataran 
"debatable" . Bahkan Bung WWW menganggapnya sebagai "kontroversi". Sayang 
contoh yang dikemukakan oleh Bung WWW mengenai manujsia  yang dianggap oleh 
khalayak ber "EQ" rendah sangatlah ektrim sekali . Boss Inter Milan dan Achmad 
Dani misalnya. Bisa saja kedua orang ini IQ nya sangat tinggi . Tetapi untuk 
meraih sukses saya yakin bermodal IQ tinggi tidak cukup. Disana ada unsur 
"TALENTA" dan last but not least " KEBERUNTUNGAN" yang juga mengambil peranan 
dalam tercapainya sukses oleh seseorang anak manusia. Bukankan ada ungkapan 
yang berbunyi "SANG JUARA ADALAH YANG BERNASIB BAIK!"
 Dalam pertandingan sepak bola tidak terlalu nampak pengaruh faktor ini.Dalam 
cabang bulu tangkis dan tennis lapangan akan kelihatan sekali kalau dua pemain 
yang kemampuannya "sangat berimbang" dan harus main Long Set. Pada set 
penentuan terbukti bahwa siapa yang lagi digandeng Dewi Fortuna akan keluar 
sebagai JUARA. Wassalam Tjuk KS





________________________________
Dari: Win Wan Nur <winwan...@yahoo.com>
Kepada: IACSF <ia...@yahoogroups.com>
Terkirim: Sen, 24 Mei, 2010 04:03:47
Judul: [Forum-Pembaca-KOMPAS] Kemenangan INTER MILAN dan Konyolnya Teori 
Kecerdasan Emosional

  
May 18 at 11:37 am, seorang teman saya bernama J Kamal Farza menulis di status 
facebooknya "KEBANYAKAN milyuner, ketika sekolah ia mendapat nilai B atau C di 
kampusnya. Mereka membangun kekayaan bukan dari IQ semata, melainkan 
kreativitas dan akal sehat. - Thomas Stanley - "

Tulisan di status Kamal ini langsung mendapat berbagai tanggapan beragam. Satu 
diantara tanggapan ini mengkaitkannya dengan EQ, sebuah dongeng yang dibuat 
seolah-olah Ilmiahl.

Sekedar kembali mengingatkan; DONGENG tentang EQ ini sebenarnya sudah ada sejak 
lama, tapi penyebutan resmi tentang EI ini, tapi penyebutan formal kecerdasan 
emosional atau EMOTIONAL INTELLIGENCE ini pertama kalinya ada dalam artikel 
berbahasa jerman berjudul "Emotionale Intelligenz and Emanzipation" dalam 
bahasa melayu artinya kira-kira "Kecerdasan Emosional dan Emansipasi". Artikel 
ini diterbitkan dalam jurnal Praxis und der Kinderpsychologie 
Kinderpsychiatrie, pada tahun 1966 oleh Leuner.

Tapi yang membuat DONGENG EQ ini menjadi heboh yang mendunia jelas buku best 
seller-nya Daniel Goleman yang dia beri judul Emotional Intelligence: Why It 
Can Matter More Than IQ yang terbit tahun 1995. Dalam buku ini definisi Goleman 
tentang kecerdasan emosional sebagian besar kontroversial dan tidak il miah. 
Dalam buku ini misalnya Goleman mendefinisikan Kecerdasan Emosional sebagai 
kemampuan seperti mampu memotivasi diri dan bertahan di menghadapi frustrasi, 
kemampuan mengontrol impuls dan menunda kepuasan; kemampuan mengatur suasana 
hati seseorang dan kemampuan memertahankan diri agar tidak tenggelam dalam 
bahaya, kemampuan berpikir, berempati dan berharap.

Di tempat buku itu diterbitkan, buku kontroversial yang berisi fakta-fakta 
subjektif yang tidak bisa dibuktikan ini langsung mendapat banyak kritikan dari 
para ahli. Tapi di negeri yang masyarakatnya tidak mau bersusah payah tapi 
ingin dianggap hebat ini, ide kontroversial semacam ini, karena pembuktiannya 
tidak memerlukan data-data akurat, tapi cukup dengan angan-angan, langsung 
mendapat tanggapan secara luas lalu diimani dengan khusuk oleh berbagai 
kalangan dan mereka pun mulai latah menyebut-nyebut EQ dalam argumen mereka 
tanpa mereka paham apa yang mereka omongkan. Malah belakangan di negeri yang 
penduduknya sangat menggemari mitos dan segala hal berbau gaib yang tidak bisa 
diverifikasi dengan panca indera ini, EQ berhasil berevolusi dan membentuk 
spesies baru bernama ESQ, spesies baru yang telah berhasil membuat seorang 
warga negara ini kaya raya. Salah satu produk terbaik dari ESQ ini adalah 
program komputer yang pernah diiklankan cukup lama di
detik.com, program yang katanya bisa mengaktifkan GOD SPOT, agar orang bisa 
khusuk dalam shalat.

Salah satu dari orang latah ini muncul di status kamal dengan mengatakan 
"Ternyata menurut beberapa hasil riset dan penelitian EQ jauh lebih penting 
daripada IQ dalam menentukan kesuksesan seseorang apalagi bila ditambah dengan 
SQ maka akan jauh lebih sempurna."

Ketika komentar ini saya kejar dengan pertanyaan "memangnya pake apa EQ itu mau 
diukur, apa yang jadi parameternya?", si komentator ini langsung mengider-ider 
dan berputar-putar.

"EQ itu mungkin juga ada parameternya dan bisa diukur, namun ia bisa dilihat 
dari kestabilan dan kecerdasan seseorang dalam memenej fungsi emosionalnya. 
Contohnya begini misalnya bang Kamal adalah seorang pengacara yang ber IQ 
tinggi namun ia memiliki EQ yang rendah orangnya suka meledak-ledak dan 
emosinya kurang terkontrol mudah terbawa perasaan, suka marah, dilain waktu 
suka merasa kasihan, kadang cepat merasa puas dan senang, tapi terkadang malah 
suka putus asa, tentu sifatnya ini akan terbawa dalam pekerjaan dan hubungannya 
denga kliennya sehingga menurunkan kemampuan kinerjanya walau ia ber IQ tinggi. 
Karena terkadang dalam mengambil sebuah keputusan itu sangat dipengaruhi oleh 
sikap emosional kita, padahal mungkin keputusan itu bisa jadi sesuatu yang 
sangat menentukan dan vital artinya.", katanya tanpa sama sekali bisa 
menjelaskan bagaimana EQ yang adalah DONGENG itu bisa diukur.

Penjelasannya soal EQ yang tinggi ini jelas konyol.

Karena kalau soal EQ seperti yang dia jelaskan, bahwa EQ yang rendah artinya 
orangnya suka meledak-ledak dan emosinya kurang terkontrol mudah terbawa 
perasaan, suka marah, dilain waktu suka merasa kasihan, kadang cepat merasa 
puas dan senang. Maka itu berarti Maradona, Cantona, Roy Keane dan Cristiano 
Ronaldo yang meledak-ledak berarti EQ-nya lebih rendah ketimbang, Messi, 
Zanetti, atau Michael Owen yang kalem.

Kalau memang demikian kenyataannya, itu justru menjadi bukti kalau EQ yang 
tinggi justru menghambat kesuksesan. Sebab kenyataannya, justru karena ber EQ 
rendah lah Maradona, Cantona, Roy Keane mampu memimpin dan membawa perubahan 
dan membawa tim-nya menjadi JUARA. Sementara Zanetti, Messi dan Owen cuma bisa 
hebat untuk dirinya sendiri saja.

Dengan kategori seperti ini, Ahmad Dhani yang arogan jelas EQ-nya lebih rendah 
ketimbang Andika Kangen band, tapi kenapa kalau kita ukur kadar kesuksesan 
sebagai musisi, Ahmad Dhani yang ber EQ rendah justru jauh lebih sukses 
ketimbang Andika?. Ahmad Dhani yang ber EQ rendah bahkan mampu membuat seorang 
pecundang seperti Cinta Laura pun menjadi juara.

Konyol dan ngawurnya DONGENG tentang EQ yang kontroversial yang dipopulerkan 
oleh Goleman ini semakin jelas terkuak kalau kita membaca kritik dari Gerald 
Matthews, Moshe Zeidner, and Richard D. Roberts yang mereka tuliskan dalam buku 
"Emotional Intelligence Science and Myth", dalam buku ini mereka membongkar 
semua kengawuran konsep EQ Baca : http://www.thedivineconspiracy.org/Z5234C.pdf

Dalam buku ini ketiga peneliti itu menyebutkan kalau berbagai argumen Goleman 
tentang kecerdasan emosional banyak merujuk ke nilai-nilai etika Judeo 
Christian (Yahudi-Kristen)

Seorang pengritik lain melihat adanya kemiripan antara konsep "Kecerdasan 
Emosional" dari Daniel Goleman ini dengan konsep "kematangan emosional." yang 
ditulis oleh Dr. E. A. Strecker dalam bukunya "Their Mother's Sons" yang terbit 
tahun 1951.

Dalam buku ini Strecker mendefinisikan kematangan emosional sebagai kemampuan 
untuk tetap bekerja, kemampuan untuk memberikan lebih lanjut mengenai pekerjaan 
daripada yang minta, keandalan, ketekunan untuk melaksanakan rencana tanpa 
kesulitan, kemampuan untuk bekerja dengan orang lain dalam organisasi dan 
otoritas , kemampuan untuk membuat keputusan, akan hidup, fleksibilitas, 
kemandirian dan toleransi.

Terhadap definisi Strecker ini Erich Pinchas Fromm (23 Maret 1900-18 Maret 
1980), seorang psikolog, psikoanalis, dan filsuf manusia asal jerman 
berkomentar dalam Sane Society, yang ditulis pada tahun 1955. Dalam koemntarnya 
itu Fromm mengatakan apa yang digambarkan Strecker di sini sebagai "Kematangan 
Emosional" adalah kebajikan seorang pekerja yang baik, karyawan atau prajurit 
dalam organisasi sosial besar, mereka adalah kualitas yang biasanya disebutkan 
dalam iklan untuk mencari seorang eksekutif junior. "

Menurut Fromm, ini terjadi karena dunia Barat, dan khususnya Amerika Serikat, 
telah mencapai titik di mana masyarakat itu sendiri secara mental tidak sehat. 
Sehingga orang mencari identitas melalui negara-negara mereka, agama mereka, 
ras dan karir mereka bukannya mengembangkan diri sebagai individu yang mandiri.

Definisi Strecker tentang "kematangan emosional" ini sangat mirip dengan 
definisi Goleman tentang "kecerdasan emosional", terutama versi tentang 
kebutuhan perusahaan. Ketika Fromm mengatakan definisi Strecker terdengar 
seperti iklan untuk seorang eksekutif junior, ini mirip seperti deskripsi 
Goleman yang digunakan sebagai dasar untuk mengklaim bahwa EI dua kali lebih 
penting dibandingkan IQ ditambah dengan pengetahuan teknis.

seperti definisi korporasi Goleman tentang EI, Strecker membuat banyak daftar 
tentang sifat-sifat yang diinginkan untuk dimiliki oleh seorang "eksekutif 
junior", atau bahkan seorang manajer senior yang bisa melakukan semua kehendak 
Dewan Direksi dan pemegang saham.

Dan seperti Strecker, dalam bukunya ini pun Goleman sama sekali tidak 
menyebutkan kecerdasan mana saja yang ada dalam daftarnya.

Steve Hein seorang pengkritik lain melihat kalau konsep tentang EQ dan 
kaitannya dengan pengendalian diri ini, sebenarnya tidak lebih dari cerminan 
masalah pribadi Goleman sendiri sehingga sifatnya jelas subjektif dan tidak 
universal seperti SAINS yang kebenarannya SAMA bagi setiap manusia. karena 
bersifat subjektif dan sebenarnya tidak lain dari cerminan diri Goleman sendiri 
maka EQ tidak bisa digebyah-uyah alias digeneralisasi untuk diterapkan kepada 
setiap orang apalagi dipakai untuk menilai kualitas seseorang.

Dalam kritiknya ini Steve Hein menyoroti bagaimana dalam bukunya itu Goleman 
berulang kali menggunakan kata "hati" ketika dia ingin menyentuh emosi 
pembacanya untuk memberi kesan lebih mendalam terhadap sebuah cerita. Pada lain 
waktu Goleman berbicara tentang "spiritualitas" dan "jiwa." Ini jelas BUKAN 
SAINS. Ini adalah manipulasi emosional. Di beberapa tempat Goleman terdengar 
sedikit seperti seorang 'guru spiritual' semacam Deepak Chopra, yang ahli di 
dalam ilmu membuat-percaya yang melakukan antara pencampuran mitos dan logika. 
Para 'guru spiritual' seperti ini bermain dengan kerentanan dan kebutuhan 
emosional yang tidak terpenuhi dari penontonnya

(catatan Win Wan Nur : pola yang sama juga digunakan oleh 'guru spiritual' 
semacam MARIO TEGUH).

Cara pemaparannya yang demikian, menurut Steve Hein menunjukkan kalau Goleman 
sendirilah yang sebenarnya takut mengekpresikan emosi. Sehingga ketakutan 
inilah yang membuatnya dalam buku ini, berkali-kali berbicara tentang betapa 
berbahayanya jika kita membiarkan emosi kita mengambil alih, tentang bahayanya 
emosi yang dibajak, tentang bahayanya diperbudak nafsu.

Dalam pengamatan Steve Hein, Goleman jarang sekali menulis tentang nilai 
positif perasaan manusia, atau perasaan yang kuat secara khusus. Tampaknya 
dalam hal ini, tentang sifat manusia, Goleman banyak mengambil pandangan yang 
agak Freudian, sehingga dia mendesak kita semua untuk melatih kesederhanaan, 
taat peraturan, melatih pengendalian dan kontrol diri.

Kata Steve Hein "Semakin saya membaca buku ini, semakin saya pikir kontrol 
adalah masalah yang sangat besar untuk Goleman dan dia mungkin bisa digambarkan 
sebagai seorang "control freak" alias orang yang gila kontrol "

Lengkapnya kritik Steve Hein terhadap konsep Kecerdasan Emosional yang 
dipopulerkan oleh Goleman silahkan dibaca link berikut ini 
http://eqi.org/gole.htm#How%20Goleman%20manipulates%20his%20readers,%20and%20other%20commentary%20on%20him

Padahal dunia nyata tidaklah demikian adanya, sikap meledak-ledak, penuh emosi 
tidak selamanya menunjukkan rendahnya kecerdasan, apapun itu namanya entah itu 
emosional atau spiritual.

Karena alasan-alasan di atas, maka kalau kita kembali ke pertanyaan awal, apa 
PARAMETER EQ dan bagaimana cara menghitungnya?....atau paling tidak anda 
sebutkan saja, SIAPA orang atau lembaganya yang memiliki otoritas untuk 
menentukan EQ seseorang lebih rendah atau lebih tinggi ketimbang EQ orang lain. 
TIDAK SEORANGPUN YANG BISA MENJAWABNYA.

Sikap meledak-ledak dan penuh emosi yang secara semena-mena dikategorikan 
sebagai ciri-ciri orang ber EQ RENDAH sebenarnya sama saja dengan sikap kalem, 
penuh petita-petiti dengan berbagai aturan ala keraton Jogja yang melelahkan. 
Keduanya bebas nilai, tidak baik dan tidak buruk. Nilai dari kedua sikap 
tersebut terletak pada di mana kedua sikap itu digunakan.

Misalnya dalam politik, di masa Soeharto berkuasa sikap kalem, penuh 
petita-petiti dengan berbagai aturan ala keraton Jogja yang menurut Goleman 
adalah ciri manusia ber EQ tinggi, jelas sangat dibutuhkan, kalau seseorang 
berniat berkarir bagus atau sekedar bertahan hidup lebih lama. Tapi di masa 
sekarang, ketika pemimpin tidak merasa malu bahkan saat Tahi dilemparkan ke 
mukanya, sikap ala manusia ber EQ tinggi dipertahankan, ya KONYOL.

Seorang pemimpin juga demikian, seorang pemimpin yang kalem, berkata lembut 
enak di dengar, dibutuhkan dalam masyarakat yang tidak sabaran, tapi 
sebaliknya, dalam masyarakat yang hidup tanpa semangat, tanpa motivasi dan 
tidak memiliki rasa percaya kepada diri sendiri justru membutuhkan pemimpin 
yang memiliki sikap meledak-ledak dan penuh emosi.

Contoh dari Nilai dari kedua sikap tersebut terletak pada di mana kedua sikap 
itu digunakan, bisa kita lihat kemarin malam.

Saat diasuh oleh Roberto Mancini yang ber "EQ tinggi", Inter Milan juara Italia 
18 kali, tampak seperti kelinci minder yang gugup disorot lampu, saat bertarung 
di kompetisi eropa. Tapi tahun ini Inter Milan melaju ke final Liga Champion 
dan menjadi JUARA, dan kemenangan ini bukanlah kemenangan biasa, Kemenangan 
INTER MILAN di Liga Champion ini adalah SEMPURNA karena dalam perjalananya 
INTER MILAN mengalahkan semua juara di tiga LIGA TERBAIK EROPA ( Chelsea, juara 
Liga Inggris, Barcelona, Juara Liga Spanyol dan di final Bayern Muncih juara 
Liga Jerman).

Dan siapa yang menjadi arsitek kemenangan Inter Milan yang terjadi setelah 45 
tahun ini?....jawabnya jelas JOSE MARIO DOS SANTOS MOURINHO FELIX, yang lahir 
di Setubal, Portugal, 26 Januari 1963 silam, yang jelas ber IQ tinggi, terbukti 
dengan keberhasilannya meraih Doctor Honoris Causa dari Universitas Teknik di 
Lisbon, Portugal.

Tapi karena sikapnya yang arogan, banyak omong, emosional dan meledak-ledak, 
oleh para penyembah teori ngawur EQ, JOSE MARIO DOS SANTOS MOURINHO FELIX ini 
dikategorikan sebagai manusia ber EQ RENDAH. Yang menurut para pemuja teori 
ngawur EQ tidak akan mungkin bisa sukses meskipun IQ-nya setinggi apa.

Tapi hari ini BUKTI sudah JELAS.....bukan Roberto Mancini yang ber "EQ tinggi" 
yang sukses membawa Inter Milan berjaya di kompetisi eropa, tapi JOSE MOURINHO.

Jose Mourinho, The Special One, tidak hanya sekedar cuap-cuap, di samping 
bercuap-cuap dia memiliki IQ yang tinggi, dengan modal IQ yang tinggi itu dia 
bekerja keras dan membuahkan hasil. Dalam usahanya itu orang Portugal ini harus 
menghadapi tudingan, serangan yang datang yang dimusuhi pelatih, media, Coni 
bahkan PSSI-nya Italia. Tapi sekarang hasilnya apa?....Jose Mourinho lah yang 
bisa membawa tim juara Liga Italia ini juara di kompetisi eropa, orang yang 
menurut DONGENG Kecerdasan Emosional ber- EQ rendah inilah yang akhirnya 
menyelamatkan 4 jatah Italia ke liga Champion yang sempat terancam disalip oleh 
jerman, karena secara koeefisien Italia sudah kalah oleh Jerman sebelum 
pertandingan dimulai.

Dengan bukti sejelas ini, udah nggak tau ngomong apa lagi lah kalau orang di 
negeri dongeng ini yang mengaku berpendidikan pula, masih mau LATAH mengekor 
dan mempercayai DONGENG tentang EQ yang dibuat oleh manusia pencari sensasi.

Wassalam

Win Wan Nur
Fans Inter Milan, pengagum Jose Mourinho

www.winwannur.blog.com
www.winwannur.blogspot.com

[Non-text portions of this message have been removed]


 



[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke