SAYA menyambut baik tanggal 1 Juni diperingati sebagai hari lahirnya 
Pancasila. Minimal bangsa ini diingatkan kepada dasar negara Republik 
yang sejak awal sudah menjadi ciri kehidupan bangsa Indonesia. Bangsa 
berketuhanan, berperikemanusiaan, yang gandrung akan persatuan, yang 
gandrung bermusyawarah dan berkeadilan sosial.



Tetapi dalam praktik kehidupan sehari-hari kita tidak melihat 
pengejawantahan sila-sila tersebut. Ada sebagian orang yang lupa dengan 
dasar ideologi bangsanya sendiri. Mari kita lihat satu persatu :



1. Bagaimana menderitanya dua orang buta, kebetulan suami isteri yang 
berada dalam tahanan di Medan. Mereka punya anak yang masih sekolah, 
perlu bimbingan dan kasih sayang. Kalaulah sejak lahir suami isteri ini 
sudah ditakdirkan buta, tetapi hendaknya bagi kita orang-orang yang 
diberkahi penglihatan janganlah semena-mena. Itulah yang terjadi dengan 
mereka. Kedua suami isteri ini dituduh telah menyimpan ganja di 
tempatnya berpraktik sebagai tukang urut. Hukumannya tidak 
tanggung-tanggung, 15 Tahun. Mana mungkin seorang buta mengenali itu 
ganja atau bukan, melihat pun tidak. Untunglah hal ini cepat-cepat 
diketahui dan proses pembebasannya tengah berjalan.



2. Ada seorang penjual rokok dijebak oleh (katanya oknum polisi). Dia 
tidak pandai menulis dan membaca. Pada suatu ketika ada seseorang yang 
sedang  membuka jaketnya, di dalam jaketnya tersebut tercecer uang dan 
benda yang tidak diketahui penjual rokok tersebut. Tetapi si oknum 
memaksa si tukang rokok agar mengakui itu benda miliknya. Mungkin, 
dengan keluguannya dan kebenaran yang diajarkan oleh orang tuanya, si 
tukang rokok bersikukuh mengatakan itu bukan barang miliknya. Di 
pengadilan dia bebas. Tetapi sempat babak belur  dipukul oleh oknum 
tersebut.



3. Kasus terakhir mengenai seseorang yang belum dijadikan tersangka. 
Masuk dalam tahanan sementara, tetapi harus mengalami bogem mentah oleh 
orang-orang yang ada dalam tahanan.



Apakah ini Pancasilais ? Apakah sistem di dalam tahan menahan ini masih 
seperti di masa penjajahan ? Di mana harkat dan martabat bangsa yang 
berideologikan Pancasila, yang masih berkeinginan menguntungkan diri 
sendiri dan mengkorbankan orang lain, masih tetap berjalan? Itu belum 
lagi berbicara masalah Lapindo ,misalnya. Yang sampai hari ini belum ada
 seorang pun ahli-ahli kita mampu mencarikan jalan keluar untuk 
menghentikan semburan lumpur panas tersebut. Sementara kembali rakyat 
yang tidak berdaya, menjadi korban.


      

[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke