Mendengar berita pengunduran diri dua orang petinggi suatu Yayasan Lembaga 
Bantuan Hukum Terbesar dan Tertua di Indonesia ini, mau tak mau membuat diriku 
teringat kembali akan suatu kenangan pahit beberapa saat silam saat diriku 
pernah mengabdi di lembaga tersebut.

Waktu itu, keputusan ‘mengabdi’ di lembaga tersebut karena gw kagum pada sepak 
terjang lembaga-lembaga seperti ini, yang membantu kaum yang terpinggirkan, 
yang ternistakan, yang termarjinalkan, yang tersingkirkan, dan yang tidak 
pernah mendapatkan keadilan. Terlebih sebelumnya, proses perceraian gw sempat 
mendapatkan bantuan dari kantor cabang lembaga tersebut sehingga semakin 
membulatkan tekad untuk ‘mengabdi’ di lembaga ini. Dan tekad itu pun, seakan 
gayung bersambut, tiba-tiba saja dan tak sengaja mataku terantuk pada suatu 
iklan lowongan di suatu media yang memberitakan dibukanya kesempatan untuk 
‘mengabdi’ di lembaga tersebut. Lebih lanjut, seakan niat baik yang katanya 
selalu diberkati oleh Tuhan, proses perekrutan pun berlangsung mudah dan lancar 
sehingga gw pun berhasil mendapatkan suatu posisi ‘pengabdian’ di lembaga 
tersebut.

“You never really understand a person until you consider things from his point 
of view--until you climb inside of his skin and walk around in it”, suatu quote 
yang sangat gw gemari dari novel To Kill A Mocking Bird. Ternyata pepatah ini 
benar adanya. Penilaian sepintas di awal bisa sangat bertolak belakang dari 
kenyataan sebenarnya, setelah kita menjalani kehidupan di dalamnya dan 
menemukan bahwa para pemimpin lembaga ini yang diluar sana selalu mendengungkan 
dan mengagungkan kalimat suci nan sakti “Hak Asasi Manusia” dan yang juga 
terlihat selalu memperjuangkan “Keadilan Bagi Rakyat Miskin”, tidaklah seperti 
demikian adanya dalam memperlakukan para ‘keluarganya’, atau lebih tepatnya gw 
katakan ‘para bawahannya’ di lembaga yang dipimpinnya ini. 

Karena hanya di lembaga ini, dari para personel pemimpin itu, gw mendapatkan 
begitu banyak ‘pengalaman tak terduga’, seperti:
Pengalaman menyaksikan dan juga mengalami untuk pertama kali perlakuan yang 
bertolak belakang dari semangat kemanusiaan yang selama ini selalu dijunjung 
tinggi oleh para personel pemimpin, seperti makian kata-kata ‘kebun binatang’ 
ataupun beberapa perlakuan tidak manusiawi lainnya yang menyakiti fisik maupun 
mental (seringkali sih menyakiti mental secara sulit untuk dibuktikan apabila 
sang ‘korban’ melakukan pengaduan, kecuali ada saksi dan bukti-bukti lain). 
Khususnya untuk diriku menjadi paranoid, sangat enggan dan takut untuk datang 
ke kantor. Bolak-balik dan berulang kali sakit. Errornya lagi, kadang sang 
pemimpin saking seringnya marah-marah, sering juga lupa dia lagi berhadapan 
dengan siapa. Sehingga pernah kejadian, staff lembaga donor pun dia maki-maki 
yang berujung keluarnya peringatan berupa teguran keras dari lembaga donor 
terhadap salah satu personel pemimpin yang bersangkutan.Satu lagi, gw juga baru 
tau ternyata di lembaga pun
 memakai istilah "orang gajian" ketika menghardik 'bawahannya'.

Pengalaman menyadari bahwa bagaimana orang-orang ini yang bertitel ‘aktivis’ 
ini bisa membantu orang lain, sedangkan menyelesaikan masalah di dalam 
lingkungannya saja tidak bisa, malah terkesan ‘menutup-nutupi'. Diriku juga 
mendapatkan bahwa ada tipe pemimpin yang apabila melihat 'bawahannya' 
nerimo-nerimo saja, bukannya instropeksi diri dan insyaf, malah makin 
semena-mena. Sayangnya, tipe pemimpin inilah yang menghuni lembaga itu.

Aneh Tapi Nyata dan Hanya Ada di Lembaga Ini, yaitu dimana para pemimpin yang 
mengharuskan kami, para 'bawahan' memutar keras otak untuk mencari pemasukan, 
mendapatkan uang, termasuk apabila itu harus menggunakan uang pribadi kita. 
Lalu apa yang dia kerjakan dong??? Hanya tau beres aja! Kalimat favoritnya 
adalah,"Pokoknya gw ga mau tau, itu harus dibayar, cari dari mana kek 
uangnya!". Atau baru kali ini ada pemimpin yang meminta gaji kepada bawahannya, 
bukan sebaliknya. Pokoknya semua serba terbalik, aneh tapi begitu nyata adanya. 
Jadi no wonder, kalo kemudian lembaga itu jarang sekali dapat program besar, 
karena para pemimpinnya tidak mau berpikir dan berusaha. Cuman sibuk memikirkan 
diri sendiri saja dan hanya mau mengerti hasil akhirnya!

Miris Tapi Nyata dan Hanya Ada di Lembaga Ini (juga), yaitu yang katanya 
lembaga pemerhati orang miskin, tetapi sering kali melihat sang para pemimpin 
bersikap tidak peduli apabila ada orang miskin yang datang. Kalau tidak sangat 
dengan terpaksa, Biar saja para karyawan yang melayani, itu katanya!

Pengalaman bahwa orang itu bisa berjanji dan berkata apa saja demi mencapai 
tujuan, yang ternyata hanya untuk kepentingan pribadinya. Ketika temanku yang 
saat itu berprofesi sebagai salah satu Direktur lembaga tersebut mendirikan 
suatu perusahaan yang katanya perusahaan komersial tersebut adalah suatu badan 
fund raising dari lembaga tersebut, sehingga ketika perusahaan tersebut 
kesulitan keuangan untuk membayar gaji pegawainya, diriku bersedia untuk 
meminjamkan uang pribadiku, dengan pikiran bahwa bagaimanapun perusahaan itu 
harus berjalan karena kan fungsinya penting sebagai fund raising, dan gw jg 
memikirkan bagaimana juga nasib keluarga pegawainya kalo tidak gajian, lagipula 
kalo mengutip info mereka bahwa perusahaan media itu merupakan badan fund 
raising dari lembaga tersebut,berarti kan perusahaan tsb atas nama lembaga yg 
notabene pasti uang gw dijamin oleh para pendiri lembaga ini yang semuanya 
tokoh-tokoh terkemuka negeri ini dan akan sangat
 segera dibayarkan. Ternyata, kata memang hanya tinggal kata, dan janji 
hanyalah tinggal janji. Perusahan media tersebut kemudian terbukti didirikan 
tidak atas nama lembaga, melainkan atas nama pribadi tiga orang, para personel 
pemimpin lembaga ini dan janji untuk membayar pinjaman mereka kepada diriku, 
sampai saat ini belum juga terselesaikan, bahkan terkesan tidak ada itikad baik 
untuk membayar kembali uangku yang nominalnya mencapai lebih seratus juta 
rupiah yang merupakan hasil jerih payahku kemaren selama bekerja setahun lebih 
di Singapura. Lalu Mengapa gw berani memberikan pinjaman dlm jumlah besar tanpa 
kwitansi?Krn gw pernah merasakan betapa sulitnya keadaan tanpa punya uang 
apalagi tanpa ada pihak yg bersedia membantu, jg krn gw sangat percaya kpd 
lembaga tsb 'n itikad baik teman gw itu yg berjanji utk segera mengembalikan 
pinjamannya, dan jg saat itu gw hanya berpikir bagaimanapun perusahaan ini hrs 
jalan dimana sebagai media online dpt
 terus menyuarakan kepedulian hukum pd rakyat miskin 'n jg akan dpt 
berkontribusi pd lembaga yg ujung2nya akan bermuara pd semakin banyak orang 
miskin yg dpt ditolong utk diberikan bantuan hukum. Oh ya satu lagi, dan juga 
karena walaupun tanpa kwitansi, tp hampir semua teman kantor mengetahui ttg 
pinjam meminjam ini.Dan juga lalu mengapa gw tidak menggugat?Krn gw pernah 
merasakan betapa sulitnya keadaan tanpa punya uang apalagi tanpa ada pihak yg 
bersedia membantu, jg krn gw sangat percaya kpd lembaga tsb 'n itikad baik 
teman gw itu yg berjanji utk segera mengembalikan pinjamannya, dan jg saat itu 
gw hanya berpikir bagaimanapun perusahaan ini hrs jalan dimana sebagai media 
online dpt terus menyuarakan kepedulian hukum pd rakyat miskin 'n jg akan dpt 
berkontribusi pd lembaga yg ujung2nya akan bermuara pd semakin banyak orang 
miskin yg dpt ditolong utk diberikan bantuan hukum. Oh ya satu lagi, dan juga 
karena walaupun tanpa kwitansi, tp hampir semua
 teman kantor mengetahui ttg pinjam meminjam ini.
Pengalaman ‘dimaki’ hanya karena berkampanye semangat kemanusiaan dan bantuan 
hukum lewat grup milis perusahaan media ini, membuat diriku mulai mencurigai 
status kepemilikan perusahaan media ini. 'Makian' itu jg membuat gw mengerti 
bahwa status pemimpin lembaga bukan berarti lantas dia mencintai lembaga ini, 
mencintai masyarakat dan berjuang untuk masyarakat. Seringkali status ini hanya 
dijadikan prestise atau sekedar batu loncatan bagi dirinya untuk mendapatkan 
beasiswa atau jabatan politis nanti setelah masa jabatan selesai. Opportunis 
dan Hipokrit itulah julukan diriku bagi para pemimpin lembaga yang seperti ini. 
Inilah cikal bakal mengapa diriku menjadi sangat membenci para opportunis dan 
hipokrit ini. Karena para opportunis dan hipokrit menggunakan bahkan menjual 
nama dan nasib orang lain, orang miskin untuk kepentingan dirinya sendiri. 
Bagiku, opportunis dan hipokrit ini adalah juga seorang ‘pembunuh rakyat’ yang 
bertopeng di balik nama
 besar lembaga yang dipimpinnya.
Hm….masih banyak lagi kalo semuanya gw tulis. Tapi jujur, mengingat kembali 
akan hal-hal seperti ini, masih menyakiti hati walaupun sampai saat ini dan 
sebisa mungkin, gw berusaha untuk mengikhlaskan. Mungkin ada yang bertanya, apa 
mungkin diriku saja yang terlalu ‘melebih-lebihkan’? Well, bisa saja pihak lain 
berpendapat demikian. Gw sangat tidak berkeberatan, toh setiap makhluk hidup di 
dunia ini bebas mengemukakan pendapatnya ataupun untuk mengambil sikap. Namun, 
setidaknya gw berani mengambil langkah drastis dengan nekat berani mengundurkan 
diri dari status yang cukup penting di lembaga ini. Tidak hanya itu, gw juga 
telah berani bersikap terbuka dan apa adanya dalam mengkomunikasikan dan 
mengklarifikasikan semua pengalaman seperti yang gw tulis diatas yang menjadi 
alasan-alasan pengunduran diriku, di hadapan para pendiri dan pengawas lembaga 
ini, agar mereka mengetahui bahwa ada masalah yang cukup serius untuk 
diperhatikan dan diselesaikan
 dengan segera agar tidak lagi terulang kejadian-kejadian serupa nantinya 
(mengingat hal-hal yang menimpa diriku ini bukanlah pertama kali terjadi, alias 
pernah terjadi sebelum-sebelumnya). 

Lalu kemudian, apakah pengunduran diri sang para personel pemimpin lembaga ini 
adalah buah dari sikap pengunduran diriku itu? Apakah diriku dengan menuliskan 
ini tidak merasa takut akan 'balasan' dari mereka? Jujur, ga penting bagi gw 
untuk memikirkan itu lebih lanjut. Tapi, jujur lagi, alasan pengunduran diri 
serta pencapaian yang disebut para personel pemimpin lembaga ini membuat diriku 
tersenyum geli. Karena bagiku, tidak pernah akan timbul perasaan ‘jenuh', 
apalagi sampai berhenti, untuk membela dan memperjuangkan nasib rakyat kecil, 
tentunya apabila kita benar-benar mencintai dan berjuang untuk rakyat. Dan 
lagi, apakah suatu bangunan yang direnovasi menjadi mewah bisa dikatakan 
pencapaian?? Seharusnya pelayanan bagi masyarakat adalah pencapaiannya, bukan 
bangunan mewah! Dan apabila pun ada 'balasan' dari mereka, gw harap mereka bisa 
membuktikan 'balasannya' tersebut! Gw ingin menggaris-tegaskan kepada mereka," 
Tolong-lah untuk lain kali bersikap
 selayaknya predikat dan pendidikan yang Anda sandang. Ingatlah bahwa kita 
semua adalah sesama makhluk Tuhan yang sederajat dan harus sama-sama saling 
menghargai, bukan untuk dipermainkan ataupun dimanfaatkan!"

Mencintai dan terus berjuang untuk masyarakat haruslah dilakukan bersama-sama 
dengan pihak-pihak yang benar-benar tulus, tanpa tendensi pribadi apapun. Itu 
juga lah yang menjadi alasan mengapa akhirnya gw memutuskan untuk menulis semua 
ini, agar orang lain juga mendapatkan pemahaman untuk tidak lagi lebih melihat 
ke nama besar suatu lembaga, tetapi lebih kepada akhlak dan itikad para 
personelnya, yang mudah-mudahan negeri ini tidak lagi dipenuhi oleh para 
opportunis dan hipokrit, khususnya dari para pihak yang bertopeng ‘aktivis’. 
Suatu LSM harus tetap ada sebagai kontrol bagi kinerja pemerintah, tetapi 
pastikan LSM itu dipimpin dan dimotori oleh orang-orang yang benar-benar 
MANUSIA!


      

[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke