Sekedar sharing karena kebetulan perusahaan farmasi  tempat saya bekerja 
menjalankan sistem jaminan halal.

Untuk mendapatkan sertifikat halal  memang  LPPOM MUI tidak melakukan uji 
laboratorium tapi dengan melakukan sistem audit. Pihak LPPOM MUI mengaudit 
bahan-bahan yang digunakan untuk pembuatan obat tersebut  dengan menelusuri 
list bahan yang dipakai dan juga melihat proses pembuatan obat tersebut. Apakah 
bahan yang digunakan benar-benar halal  dan apakah mesin yang digunakan tidak 
terkontaminasi dengan bahan-bahan haram. Bahkan sumber air pun ikut diteliti 
apakah sumber air yang dipakai terkontaminasi atau tidak.

Jika ada bahan  yang diragukan , pihak LPPOM sampai mengaudit ke pabrik 
pembuatnya (Misalnya untuk membuat obat X dibutuhkan bahan Y yang diragukan 
kehalalan nya. Pihak auditor dari LPPOM MUI mengecek sampai ke pabrik pembuat 
bahan Y untuk melihat proses pembuatannya ).
Setahu saya pembuktian dengan uji lab belum dilakukan (mungkin hanya pada 
kasus-kasus tertentu saja , saya sendiri tidak tahu akan hal ini) karena 
menurut logika saya   hal itu  menambah biaya yang akan dibebankan pada 
konsumen (perusahaan yang meminta sertifikat halal) dan akan menimbulkan protes 
lagi.

 Tentang sumber daya dari orang-orang LPPOM MUI setahu saya para auditor  
terdiri dari Doktor -doktor yang kebanyakan lulusan IPB.

Tentang BPOM sendiri, setahu saya BPOM malah mensyaratkan adanya sertifikat 
halal dari LPPOM MUI (atau lembaga sejenis yang ada di luar negeri) dari  
obat/suplement  yang berbahan baku meragukan (misalnya bahan bakunya dari keong 
) untuk mendapatkan no registrasi.
Ini hanya sekedar  berbagi informasi mengenai apa -apa yang saya ketahui 
tentang pengurusan sertifikat halal.
MUngkin untuk lebih jelasnya dapat dilihat di website 
http://www.halalmui.org/index.php?lang=in

Saya pikir, sertifikat halal perlu ada untuk menjamin ketentraman umat Islam di 
Indonesia  karena bagi umat Islam, mengkonsumsi yang halal dan baik (thayib) 
merupakan manifestasi dari ketaatan dan ketaqwaan kepada Allah SWT dan  bukan 
sebagai pencerminan sikap minder dan xenophobia.

EW


To: Forum-Pembaca-Kompas@yahoogroups.com
From: my_tiger_s...@yahoo.com
Date: Fri, 23 Jul 2010 05:30:43 +0000
Subject: Re: [Forum-Pembaca-KOMPAS] Mana yang haram: Kopi Luwak atau 
VaksinMeningitis?




























      Yang menjadi pertanyaan saya hingga saat ini yaitu:



1.  Apakah MUI memiliki laboratorium yang adekuat u/semua pembuktian tsb 
sehingga keputusan dilakukan bukan sekedar berdasarkan studi dokumen dan/atau 
literatur



2.  Seberapa besar kekuatan sumber daya manusia yang mampu menjalankan 
laboratorium dan kajian tsb yg dipunyai o/MUI?



3.  Kedua hal di atas, apakah tersedia di aras MUI Pusat atau juga tersedia di 
aras daerah?



Nah, bersamaan dari pertanyaan2 tsb kemudian saya juga bertanya:



4.  Bagaimana koordinasi yg dilakukan o/MUI dengan BPOM, yang memang dibentuk 
sebagai salah satu alat pemerintah u/melakukan kajian thd hal2 yg dilakukan 
o/MUI?   BPOM, meski belum ideal, tentu memiliki laboratorium dan sekaligus 
sumber daya manusia u/melakukan kajian tsb.



5. Jika memang pada kenyataannya MUI tidak memiliki kedua hal tsb di atas 
apakah tidak lebih baik apa yg 'telah dipraktekkan' o/MUI digabungkan saja ke 
BPOM?  Akan lebih mudah u/'membentuk suatu unit kajian dari sisi agama atas 
ketentuan halal atau haram' dibandingan sebaliknya.  Selain itu, 'pemaduan' tsb 
akan mengehemat banyak sumber daya, baik uang maupun manusia, dan sisa yg 
'dihamburkan' bisa dipakai u/menaikkan gas/kecepatan u/mengejar banyak 
ketertinggalan negara kita dalam isu teknologi di bidang obat dan makanan 
sehingga kita pun tidak lagi sekedar 'bertempur dengan isu xenophobia' yg pada 
sisi lain mencerminkan sikap minder kita sebagai bangsa yg banyak tertinggal 
karena hampir semua lini sibuk di aras yg sama u/satu isu saja.



Evi Douren



Kirim email ke