On Fri, 2010-07-30 at 12:14 -0700, Satrio Arismunandar wrote: > > Mengutip dari berita yang dimuat Harian Kompas (rubrik profil) hari > Jumat (30 juli) kemarin: > Ulil Abshar-Abdalla dari Freedom Institute membujuk Daoed Joesoef agar > mau menerima Bakrie Award, tapi Daoed yang sadar akan skandal > kemanusiaan kasus Lumpur Lapindo, tegas menolak. > Terus dibujuk lagi: Jika Daoed Joesoef tidak mau terima hadiah duitnya > Bakrie juga tidak apa-apa, asalkan tetap meneriwa penghargaan > awardnya. Tapi Daoed tetap kukuh menolak semuanya. .... > Anda hebat, Pak Daoed Joesoef! >
Bila berita ini benar, maka Ulil bosok, melengkapi Muhaimin Iskandar. Untuk berita bahwa Todung Mulya Lubis tidak bersedia. Jelas PD akan berusuha keras untuk menggaet tokoh-tokoh independen. "dalam setiap perjuangan pasti ada pengkhianat [Gie] Kepada mhs gampang, sudah ada contoh tinggal dikatakan: "ingin meniti karir seperti itu?" Ketika : Syafei Ma'arif sudah berbicara erbuka dan menantang di Mtero bahkan secara lugas berkata bahwa negeri ini seperti kampoen tak bertuan, Frans Magnis, Daoed Yusuf, dan Gunawan Moehamad sudah mengembalikan Bakri award, dan ini tadi PONG Hardjatmo menulis di atap gedung DPR/MPR :"JUJUR, ADIL, TEGAS" maka, sebenanya masyarakat sudahn bisa melihat keberpihakan roh iblis dan roh kebenaran kemana. Katalisator Bakri Award telah memperjelas itu. Apalagi ketika kini peran PG yang bosok semakin terkuak dengan niatnya untuk mempeti-eskan Century setelah membentuk Sekber. Kita tidak usah berbicara agama, mereka semua orang beragama. Masyarakat umum menjadi susah untuk membedakan, maka gunakan saja moralitas sebagai ukuran. Mana yang dikuasai oleh roh iblis dan mana yng dikuasai oleh roh kebenaran. Biarkan masyarakat menentukan kebeprihakan dirinya, akan membuka diri untuk roh iblis atau roh kebenaran. Mas Bas wartawan Kompas juga sudah semakin berbicara direct. Seandainya saja tokoh-tokoh yang masih memegang prinsip moralitas itu semakin terekspose untuk membangun kondisi obyektif maka niscaya critical mass dengan kemunculan kondisi subyektif tinggal menunggu waktu. Perhatikan tanda-tanda jaman. PG sudah terbukti sejak berdirinya seperti itu. Mestinya salah satu tuntutan reformasi itu adalah bubarkan PG. Gunakan mimbar bebas yang disediakan di Senayan dan dikatakan oleh Priyo sebagai mimbar bebas mahasiswa tanpa harus demo yang menggangu masyarakat dan biarkan diliput dan digemakan oleh Wartawan ke seluruh penjuru nusantara. Mestinya Effendi Gazali dkk yang mengkoordinir siapa yang akan tampil untuk berorasi, dari Sang sampai Merauke, dari rakyat kecil yang ingin menyuarakan haknya hingga mahasiswa. he... he... bisa mengulang Diponegoro ..........