B
  
Menakar Urgensi Partai Politik Kristen        
Ditulis oleh Administrator     
Minggu, 01 Agustus 2010  
Kehadiran Partai Politik (parpol) Kristen di tengah-tengah bangsa Indonesia 
mengalami satu proses dinamika yang panjang. Namun, mengacu pada masa sekarang, 
kehadiran Partai Politik Kristen telah menjadi polemik tersendiri karena 
mengalami pro dan kontra di kalangan masyarakat Kristen. Parpol Kristen begitu 
dirindukan tetapi sekaligus juga di benci. 


Masyarakat yang pro atau yang mendukung mengajukan segudang argumen demi 
membenarkan dukungannya, diantaranya, Parpol Kristen menurut mereka adalah 
sebuah keniscayaan dan mutlak diperlukan bangsa ini. Mengapa? Beberapa faktor 
yang dikemukakan adalah bahwa selama ini aspirasi Kristen tidak tersalurkan 
lewat partai lain dan terjadi marjinalisasi perannya. Juga fakta sekarang 
menjamurnya UU dan perda-perda yang berbau agamis tertentu yang menggerogoti 
empat pilar bangsa yakni UU 1945, Pancasila, NKRI, dan Kebhinekaan. Singkatnya 
kelompok pro ini berkesimpulan parpol Kristen yang kuat adalah jawaban semua 
itu.
Sebaliknya, disisi lain. Kelompok masyarakat yang menentang berpandangan bahwa 
kehadiran parpol Kristen adalah sebuah kemunduran. Itu sama saja tidak 
nasionalis karena cenderung jadi partisan dan sektarian. Bagi mereka, 
pengalaman 
selama empat pemilu, 1955, 1999, 2004 dan 2009 telah menjadi contoh kegagalan 
parpol Kristen. Satu-satunya solusi adalah menyalurkan aspirasi ke partai 
nasionalis. Dengan cara itu perkuat empat pilar. 


Dalam rangka merayakan sewindu Majalah Gaharu, majalah ini mencoba menggagas 
sebuah Diskusi Panel tentang sebuah kajian ilmiah, perlu tindaknya sebuah 
partai 
politik Kristen di Indonesia. Diskusi ini mengusung tema, “Urgensi Partai 
Politik Kristen dalam Konstelasi Politik Indonesia abad 21.” Diskusi ini 
menghadirkan pembicara dari berbagai latar partai seperti ML Denny Tewu, Milton 
Pakpahan danBoni Nababan, dan diskusi dipandu Putra Nababan. Diskusi yang 
dihadiri lebih dari seratus orang dari aktivis, mahasiswa, tokoh agama, 
wartawan 
itu berlangsung dengan seru dan ramai. Terjadi debat pendapat yang sengit 
antara 
narasumber dengan peserta diskusi. Bagaimana pandangan mereka tentang seberapa 
penting kehadiran partai Kristen di Indonesia? Apa aspek-aspek yang mendasari 
dan apa keuntungan bagi umat Kristen itu sendiri? Sebaliknya jika tidak 
penting, 
bagaimana dan kemana umat Kristen menyampaikan aspirasi perjuagannya? 


ML Denny Tewu, Ketua Umum PDS Munaslub Manado berpandangan bahwa kebutuhan akan 
parpol Kristen sangat penting dalam memperjuangkan aspirasi Kristen. Menurutnya 
berbagai produk UU di DPR dan termasuk menjamurnya perda-perda syariah tidak 
mencerminkan keadilan dan pluralitas Indonesia. Nah kehadiran parpol Kristen, 
menurut Denny disini perlu untuk mengawal dan menjaga empat pilar bangsa. “Kami 
(PDS) telah bersuara di parlemen dan terbukti ketika masih di Senayan berhasil 
memperjuangkan kepentingan komunitas Kristen dan komunitas lainnya,” tutur 
lulusan program doktor Universitas Pajajaran Bandung Ini. 


Lebih jauh Denny mengungkapkan, empat pilar bangsa sekarang mulai diguncang. 
Bahkan tidak mungkin kalau acuan demokrasi bisa menguburkan empat pilar sendiri 
jika melihat konstelasi pertimbangan politik di DPR. Denny memberi contoh hasil 
penilitian litbang Kompas yang menyatakan 80 persen masyarakat khususnya anak 
muda tidak suka Pancasila. “Pancasila secara ideologi tidak ada lagi berganti 
dengan ideologi agama. Ini pengorbanan secara sebuah generasi yang akan 
hilang,” 
ungkapnya kuatir sembari menguraikan sebuah data bahwa 25 triliun dana 
departeman agama hanya 25 milyar di peruntukan bagi Kristen. Ini menurut Denny 
sebagai ketidakadilan lain yang perlu dimonitor. Anggaran keadilan seharusnya 
berlaku proporsional. Masalah lain, UU Perbankan Syariah sebenarnya tidak 
penting, kalau itu bagian produk silahkan tidak bisa dihalangkan tetapi tidak 
harus UU sendiri. Disinilah menurut Denny, pentingnya peran parpol Kristen. 
“PDS 
sudah melakukan itu di DPR dan terbukti Bimas Kristen mendapat tambahan. Hal 
seperti ini tidak mungkin diperjuangkan parpol nasionalis lain, sekalipun orang 
Kristen banyak disana,” gugatnya. 


Pandangan yang berbeda diungkapkan Milton Pakpahan. Politisi Demokrat yang juga 
anggota DPR RI ini lebih mengajak menelaah kebelakang sejarah perjalanan 
bangsa. 
Tahun 1908 hingga 1928 adalah bicara soal kesatuhan. Kita tidak terjebak untuk 
menerima minoritas. Jadi tidak harus menerima minoritas di DPR. Alumni ITB ini 
lebih menerima keberadaan politisi Kristen berkarya di DPR dan tidak harus 
partai Kristen. Menurutnya tahun 1971-1999 di DPR saja tidak ada partai Kristen 
tetapi banyak politisi Kristen yang bisa mengemban tugas menyampaikan aspirasi 
itu. 


“Era 2009-2014 ini meski tidak ada partai Kristen di Demokrat sendiri ada 20 
orang atau  sekitar sekitar 15 orang Kristen bahkan wakil ketua partai kita 
juga 
orang Kristen,” tukas anggota DPR Partai Demokrat dari daerah pemilihan Papua 
ini. “Saya mewakili papua, yang kebetulan batak Kristen yang lahir di Jakarta. 
Saya ditugasi untuk memperjuangkan papua. Kita jelas mewarnai mereka dengan 
membawa panji-panji Kristen,” kilahnya. 


Keberadaan politisi Kristen di partai nasionalis, kata Milton, justru sangat 
penting. Melalui lobi dan berjuang dengan anggota separtai yang bukan Kristen, 
memperjuangkan penghapusan peraturan atau perda-perda yang tidak sesuai UUD 
1945. “Perjuangan seperti ini lebih elegan dan lebih maksimal hasilnya,” 
tambahannya sembari menambahkan keberadaan mereka di partai bisa memperkuat 
sebagai jangkar di tengah, tidak ditarik ke kiri atau ke kanan. Lebih jauh, 
Milton malah menganjurkan agar orang Kristen berusaha berjuang dari semua 
parpolinklusif. “Sekarang PKS aja terbuka, kenapa kita coba masuk kesana. 
Disana 
kita bisa berperan lebih. Di pegunungan Papua sana, ada juga anggota dewan 
Kristen dari PKS,” tukasnya memberi contoh nyata. 


Pendapat ini tentu saja disanggah oleh Denny Tewu. Menurutnya, politisi kristen 
di partai manapun, termasuk nasionalis seperti PD, PDIP dan Golkar, kebijakan 
partai amat tergantung kepada ketua partainya. “Contoh kecil saja lihat 
pembakarn gereja, mana ada bisa dibicarakan di partai-partai tertentu yang 
banyak kristennya sekalipun, ini menandakan kebijakan tergantung ketuanya. Beda 
dengan PDS atau partai kristen sebelumnya, walau sedikit di DPR mereka langsung 
menanggapi dengan serius,” ujar lulusan Fakultas Universitas Sam Ratulangi ini 
mencoba mementahkan argumen Milton. 


“Perusakan rumah ibadah, masalah ijin, perlakuan diskriminatif dan sebagainya 
menjadi tantangan dan menjadi bagian dari kita bersama. Disini tidak hanya 
politisi tetapi juga pengamat, pers, LSM dan lainnya. Kuncinya lebih banyak 
bekerja dari orang lai,” timpal Milton mencoba memberikan pendapatnya. 


Pendapat berseberangan kedua politisi kristen berbeda partai ini dicoba 
jembatani pandangan Boni Hargens. Pengamat politik Universitas Indonesia ini 
lebih memandang dari sisi obyektifitas ilmiahnya. Apakah perlu partai kristen? 
“Bagi saya cara berpolitik yang baik adalah melampaui symbol. Dia harus 
berangkat dari standar nilai-nilai yang sama. Yang penting yang harus 
diperjuangkan universal itu,” tegasnya menanggapi paparan kedua narasumber 
lainnya.
“Dosa pemerintah terbesar adalah tidak peduli dengan masalah sosial. Sekian 
rumah ibadah dirusak oleh sekelompok orang yang anarkhis dimana-mana. 
Seakan-akan ini film-film tontonan di layar televisi. Setelah adegan itu 
dibiarkan saja. Buat saya itu bukan kepribadian seorang pemimpin,” kritiknay 
tajam sembari menyayangkan masalah pluralisme yang makin mengkuatirkan 
sepeninggal Gus Dur. 


Jika pertanyaannya sebagai efektif keberadaan parpol kriten? Sebetulnya yang 
sedikit, kalau kita saling menonjolkan perbedaan, disana sama saja kita 
memperlihatkan warna kental masing-masing dan ini tidak menyelesaikan masalah, 
begitu katanya. Misalnya partai Hindu, Kristen ataupun Cina, ini akan membuat 
tercapainya mimpi pluralisme akan sulit. Boni Hargens mengutip pandangan Arnold 
Tony Bee, yang mengatakan nasionalis akan menguat jika ada musuh dari luar. 
Jika 
masing-masing akan memperkuat identitas kelompok sendiri disana. Masing-masing 
akan saling unjuk gigi. Sesuai teori itu, keberadaan itu akan tajam dan pada 
gilirannya akan melahirkan ruang permusuhan. 


“Saya mau bilang bukan partai subtansial, tapi bagaimana orang kristen harusnya 
bicara memberikan konstribusi untuk membangun bangsanya. Karena antara misi 
kekristenan dan pribadi, dan juga misi kekuasaan itu sulit dibedakan. PDS, 
Partai Katolik dan lainnya, dimata saya tidak melakukan sesuatu yang istimewa 
selama ini,” kritiknya. Menanggapi ini, Denny mengakui ada perbedaan harus 
didialogkan. 


Kekristenan itu seperti ini lho dan harus disosialisasikan. Keberadaan partai 
kristen menurutnya menjadi penting karena untuk memperjuangkan aspirasinya. 
“Lebih muda lewat pintu sendiri daripada pintu orang lain. Faktanya memang 
begitu kok,” ujarnya. Selain itu, SDM kita juga bisa ditampung. Selama ini, 
kader GMKI dan GAMKI susah mendapat tempat di partai nasionalis.
Namun Milton justru lebih melihat pentingnya chek and balance. “Saya kembalikan 
ke voters in human, mereka yang menentukan dan punya hak suara. Mereka akan 
melihat semua partai dan apa yang sudah dilakukan. PDS sendiri masih punya 200 
wakil rakyat di daerah  mereka harus memberikan warna jelas sehingga mereka 
bisa 
bangkit kelak bisa menuju Senayan,” ujarnya diplomatis menantang PDS 
membuktikan 
diri di pemilihnya. Milton menghormati hak itu, akan tetapi baginya tetap 
perjuangan itu tidak hanya satu rumah harus lebih membuka diri terhadap partai 
nasionalis. “PAN dan PKS menyatakan inklusif, kenapa kita gak coba, kan lebih 
baik nantinya kan?” tantangnya sembari mengingatkan dengan hanya menuju satu 
partai itu sama merusak ekosistem ke-Indonesiaan. 


Mengacu pada latar belakang sejarah, demikian Hargens lebih jauh menguraikan, 
bahwa 9 partai pada pemilu 1971 melakukan fusi, berdasarkan kelompok alirannya 
yakni agamis dan nasionalis. Menariknya Parkindo dan Partai Katolik waktu itu 
tidak mau dikelompokkan ke PPP atau kelompok agamis (kanan) tetapi mereka 
memilih bergabung dengan PDI kelompok paham nasionalis. Menurut Boni Hargens, 
ini seharusnya mencerminkan bahwa sikap kristen sejak dulu memang condong 
nasioalis. Identitas itu mampu tidak, dijaga sampai kini?
“Saya melihat partai Demokrat terlalu ke kanan. PDIP yang murni partai tengah. 
Itu yang benar. Coba ditimang kalau benar ke depannya, PBR akan membubarkan 
diri 
dan bergabung dengan Golkar di bawah Ical lalu juga PPP beralih ke Golkar, 
pertanyaannya adalah bagaimana dengan nasib PDS dan PKS? Apa akan memikirkan 
PDKS (gabungan keduanya), tentu sulit bukan? Partai agama apapun kita terima 
semua sah secara politik, namun secara alamiah ada seleksi alam nantinya. Nanti 
partai akan mengerucut ke 4-5 partai. Partai yang tidak bisa eksis pasti akan 
mati muda. 


“Saya kira, jika terjadi pengerucutan seperti itu solusinya mau tidak mau PDS 
ke 
depan harus berafiliasi ke PDIP di tingkat pusat, dengan demikian mereka lebih 
konsentrasi di daerah-daerah yang memang ada khusus basisnya. Artinya PDS akan 
leading sebagai partai lokal, seperti terjadi di Aceh. Itu sebagai satu jalan 
keluar yang perlu dipikirkan petinggi PDS ke depan,” himbaunya memberikan 
analis.(KUTIPAN)  

DAMAI NEGERIKU
SEJAHTERA BANGSAKU
MELALUI DUKUNGAN
PARTAI DAMAI SEJAHTERA  


      

[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke