Dulu Gus Dur mempraktikkan ketegasan seperti ini, dengan hasil dia dimusuhi oleh para bawahannya sendiri dan dijatuhkan juga oleh mereka. Kapolri diganti, ngadunya ke konco-konconya di DPR (dan media), dan koor DPR lalu serempak menghantam presiden. Departemen tidak perform dibubarkan, lagi-lagi ngadunya ke DPR, menambah panjang daftar hujatan terhadap Gus Dur. Jadi, tak ada barang gampang yang bisa diselesaikan cuma dalam setahun di negeri proak-poranda ini. manneke
--- On Tue, 8/10/10, Irwan Kurniawan <irwank...@gmail.com> wrote: From: Irwan Kurniawan <irwank...@gmail.com> Subject: [Forum-Pembaca-KOMPAS] Satgas (Imajiner) Pemberantasan Korupsi To: koran-digi...@googlegroups.com, "Forum Kompas" <Forum-Pembaca-Kompas@yahoogroups.com>, "mediacare" <mediac...@yahoogroups.com> Received: Tuesday, August 10, 2010, 4:36 AM Dear Rekans, Beberapa tahun yang lalu pernah bertemu dengan seorang purnawirawan yang cara berbicara dan substansi pembicaraannya masih gagah.. tidak klemar klemer curcol doank.. Beliau mengatakan, kalau benar penguasa (nama presiden sekarang) seorang pemimpin, dalam setahun bisa beres masalah" yang ada koq.. Sebagai contoh, kalau ada masalah di Kepolisian, tinggal bilang: Hei Kapolri, kamu bisa bereskan masalah itu 6 bulan atau 1 tahun/gak? Kalau gak bisa, siap" diganti.. Lantas sang Kapolri perintahkan bawahannya (KaBareskrim atau siapalah) dengan isi yang sama, namun hanya mengganti waktu menjadi 3-6 bulan (1/2 dari yang dia terima).. Ganti kata Kepolisian dengan Kejaksaan, dan Departemen".. Lihat betapa banyak potensi perbaikan yang ada namun disia"kan selama 5 tahun periode pertama + 2 tahun periode kedua.. Logikanya, dengan titah seperti itu dan 'bereskan' dalam arti yang sebenarnya, bukan rekayasa dsb (spt kasus kriminalisasi pimpinan KPK dll), masalah besar yang dihadapi dapat dibereskan dalam setahun (atau bahkan lebih cepat). Seperti dalam dialog di FX (twitter-nya Bro Teguh Juwarno) hari ini (10/08/2010), (penguasa) negara ini tidak jelas.. satu masalah tidak tuntas, tertutup masalah lain.. begitu seterusnya (entah sampai kapan).. Bahkan masalah ledakan (kompor/ tabung/selang) gas, tidak ada yang bertanggung jawab.. meski sudah ratusan/ ribuan korban meninggal dunia.. Mungkin karena mereka hanya keluarga rakyat biasa saja.. BUKAN KELUARGA PENGUASA DAN PARA PEJABAT NEGARA RI !!! Masalahnya sekarang, yang kita punya ini pemimpin sejati/betulan atau bukan? Atau cuma (maaf) 'boneka' kepentingan pihak lain, saja? -- Wassalam, Irwan.K "Better team works could lead us to better results" http://irwank.blogspot.com/ fb/twitter/skype: irwank2k2 ========== http://m.kompas.com/news/cread/data/2010.08.09.02412636 Satgas (Imajiner) Pemberantasan Korupsi Oleh Hendardi Keberadaan Satuan Tugas Pemberantasan Mafia Hukum saat ini kembali menghadapi ujian. Sebelumnya, Satgas diuji oleh Petisi 28 yang mengajukan uji materi landasan hukum pembentukan Satgas ke Mahkamah Agung. Meskipun belum ada kabar lanjutan dari MA, pengujian atas Keputusan Presiden Nomor 37 Tahun 2009 telah menyadarkan banyak orang bahwa pilihan politik SBY membentuk Satgas bukan tanpa masalah. Kini kisruh internal Satgas kembali menandaskan bahwa keberadaannya telah mengusik pribadi anggota Satgas yang berasal dari unsur Polri atau bahkan mengusik institusi Polri. Bukan prestasi Membaca tulisan Zainal Arifin Mochtar, Satgas dan Pembuktian Presiden SBY, (Kompas, 5/8), publik semakin mampu menangkap bahwa kinerja Satgas yang selama ini diperagakan justru lari dari tugas pokok Satgas itu sendiri. Zainal menyebutkan, ”Jika dibaca secara jeli Keppres No 37/2009 tentang Satuan Tugas Pemberantasan Mafia Hukum, landasan hukum ini hanyalah untuk pembentukan sebuah tim koordinasi”. Dengan demikian, sesungguhnya khitah Satgas hanya sarana dan instrumen koordinasi institusi penegak hukum. Namun, yang diperagakan Satgas justru sebaliknya: menerobos dan memimpin sejumlah penanganan kasus yang mengundang perhatian publik. Sambil menggunakan daya pancar media, Satgas dan tentu saja pemerintahan SBY memetik citra positif dari reality show mewahnya sel Artalyta Suryani, drama penangkapan Gayus, dan ekspose sejumlah kasus lain. Dengan cara kerja yang demikian, Satgas bukan lagi menjalankan peran koordinasi, melainkan justru mengambil peran-peran yang semestinya bisa dilakukan oleh institusi-institusi hukum yang ada, sejauh SBY memberikan perhatian saksama dan meminta kepada para pembantunya untuk serius bekerja. Untuk sekadar mengetahui kondisi rumah tahanan, misalnya, SBY cukup memerintahkan Menteri Hukum dan HAM untuk melakukan sidak reguler. Sebab, kondisi sel bagi orang-orang yang berduit seperti Artalyta, publik semuanya sudah mafhum. Memamerkan 2.700 kasus yang diterima Satgas bukanlah prestasi karena lembaga-lembaga bantuan hukum, lembaga antikorupsi, selama ini pun cukup mampu menampung pengaduan dan bahkan mendorong penyelesaiannya. Jadi, persoalannya adalah apakah SBY mampu mengoordinasi institusi yang berada di bawah jangkauannya atau para pembantunya yang tidak sungguh-sungguh bekerja? Daripada membentuk Satgas yang kontroversial, seharusnya ijtihad politik SBY akan lebih berguna jika diarahkan pada akselerasi reformasi di institusi utama penegakan hukum, khususnya kepolisian dan kejaksaan. Meski diakui oleh Zainal keberadaan Satgas ini berguna dan mampu menembus sejumlah kebekuan, kinerjanya tetap menunjukkan kuatnya kesan tebang pilih Satgas dalam membidik kasus. Kriterianya jelas: mengundang perhatian publik, tidak menyentuh kepentingan lingkaran tertentu, dan memikat para pemburu berita. Dengan kriteria ini, mudah sekali citra politik dapat dihimpun. Dan inilah orientasi kerja Satgas. Untuk kasus semacam dugaan skandal Bank Century, korupsi di lingkaran Istana dan petinggi partai politik, misalnya, Satgas nyaris tak bernyali. Sifat kelembagaan Satgas yang hanya katalisator, yakni mendorong dan memfasilitasi kemungkinan terciptanya koordinasi pemberantasan mafia melalui format kerja sama, sebagaimana disampaikan Zainal, justru gagal digapai Satgas. Kerja sama yang dibayangkan Satgas justru telah menciptakan demoralisasi institusi kepolisian dan (mungkin) kejaksaan yang ”diintervensi” secara berlebihan oleh Satgas. Demoralisasi personel dan institusi kepolisian dan kejaksaan tidak serta-merta merupakan penanda pembangkangan kedua institusi atau bahkan penanda bahwa kepolisian dan kejaksaan lebih memilih menjadi pelindung para mafia dibandingkan memberantas mafia. Akselerasi Jika memang berniat mereformasi institusi kepolisian, kejaksaan, dan institusi hukum lain, SBY sesungguhnya punya kuasa penuh untuk mengarahkan, memerintahkan, dan menagih sekaligus mengevaluasi komitmen pejabat di Kejaksaan Agung, Polri, dan juga Kementerian Hukum dan HAM. Sedangkan koordinasi, katalisasi, bisa dimainkan oleh Menko Polhukam. Hanya saja, langkah konstitusional dan sesuai dengan pakem ketatanegaraan ini justru diabaikan karena jelas mengatrol citra pemerintahan dengan kinerja Kejaksaan, Polri, serta Kementerian Hukum dan HAM jauh lebih sulit dan jauh tidak lebih seksi daripada pilihan membentuk Satgas baru. Langkah Petisi 28 yang menyoal konstitusionalitas dan legalitas Satgas serta kisruh internal di tubuh Satgas harus diakui telah menyadarkan publik tentang Satgas (imajiner) Pemberantasan Mafia Hukum. Selain kedudukan hukum yang lemah, Satgas juga tidak lebih sekadar ”tukang gebrak” yang tidak tuntas bekerja, apalagi memimpin pemberantasan mafia hukum. Alih-alih jadi dirigen atau konduktor arah pemberantasan mafia, Satgas justru secara sistemik melemahkan institusi-institusi hukum. Sebagai sebuah cara untuk memupuk citra, keberadaan Satgas mutlak dievaluasi, bahkan dibubarkan, dibandingkan terus membela prestasinya yang minimum dan eksistensinya yang tidak jelas dalam konstruksi ketatanegaraan. Meskipun pembentukan badan ad hoc dan Satgas khusus itu lazim dalam negara transisi, jalan itu sungguh-sungguh dimaksudkan untuk menembus kebekuan sisa rezim sebelumnya, bukan untuk memoles citra yang menopang kekuasaan. Penegasan bahwa Satgas hanya dimaksudkan untuk politik pencitraan ditunjukkan pula oleh SBY dengan abai memperkuat KPK, Komisi Yudisial, justru ketika komisi-komisi ini rentan dilemahkan. Meski tidak punya kewenangan langsung terhadap badan-badan itu, Presiden tetap memiliki cara yang sah, seperti dalam hal rekrutmen dan politik penganggaran, untuk penguatan yang lebih serius. Ijtihad politik SBY yang gemar membentuk satgas atau berbagai tim ad hoc tak selalu berarti menunjukkan empati dan kesungguhan pembelaan, tetapi bisa jadi hanyalah instrumen pemupuk citra untuk menutupi kelemahan yang sesungguhnya: kegagalan menggerakkan institusi dan aparat yang sesungguhnya bisa dijangkau. Pilihan akselerasi reformasi di tubuh kepolisian dan kejaksaan adalah ijtihad politik yang tepat dan mendesak untuk dilakukan SBY mengatasi kisruh internal di tubuh Satgas. Membiarkan Satgas dengan pola dan kinerjanya sebagaimana selama ini diperagakan justru akan melemahkan citra SBY sendiri dan menjauhkan harapan publik atas penegakan hukum yang adil. HENDARDI Ketua Badan Pengurus SETARA Institute, Jakarta ------------------------------------ ===================================================== Pojok Milis Komunitas Forum Pembaca KOMPAS [FPK] : 1.Milis Komunitas FPK dibuat dan diurus oleh pembaca setia KOMPAS 2.Topik bahasan disarankan bersumber dari http://cetak.kompas.com/ , http://kompas.com/ dan http://kompasiana.com/ 3.Moderator berhak memuat,menolak dan mengedit E-mail sebelum diteruskan ke anggota 4.Moderator E-mail: agus.hamonan...@gmail.com agushamonan...@yahoo.co.id 5.Untuk bergabung: forum-pembaca-kompas-subscr...@yahoogroups.com KOMPAS LINTAS GENERASI ===================================================== Yahoo! Groups Links [Non-text portions of this message have been removed]