Perjalanan ke sebuah tempat selalu membawa kesan tersendiri. Apa lagi kalau melakukan kunjungan ke sebuah rumah seorang pejabat yang pernah berpengaruh di masanya. Itulah yang saya lakukan pada Hari Senin, 8 Februari 2010, berkunjung ke rumah mantan Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib), yang didirikan setelah terjadi Gerakan 30 September/PKI, 10 Oktober 1965.
Di lihat dari luar, rumah Soedomo yang terletak di Pondok Indah, tidak berbeda dengan rumah-rumah di sekitarnya. Ya, untuk ukuran masyarakat bawah, pasti terkesan...wah! Tetapi jika masuk ke dalam, sangat sederhana sekali. Kursi perabotan tertata rapi, rak-rak buku yang juga tersusun rapi.Untuk hal ini Jenderal Polisi Anton Tabah, mantan Ajudan Presiden Soeharto, pernah mengatakan kepada saya bahwa rumah Presiden Soeharto juga sangat sederhana. Tetapi saya baru mendengar, melihat langsung rumah di Jalan Cendana itu belum pernah. Sebelum masuk ke rumah, saya memang sedikit agak canggung. Maklumlah orang yang pernah terkenal di masa Presiden Soeharto itu belum pernah saya temui. Kalau pun melihat wajah dan perawakannya, hanya melalui televisi. Bahkan sejak menjadi wartawan tahun 1983, belum pernah saya bertatap muka, karena saya banyak meliput berita-berita di Departemen Luar Negeri. Wah, seperti apa Soedomo ini. Angkerkah? Kejamkah? Mengapa pada masanya selalu ditakuti ? Sebelum bertatap muka saya hanya ditemani seorang asisten dan dari dialah saya sedikit mengetahui apa saja kegiatannya sekarang ini setelah usianya sudah lanjut karena lahir di Malang, 20 September 1920. "Bapak sekarang sering ke Masjid. Sebagai anak muda, jika waktu Shubuh, saya kalah langkah. Bapak sudah duluan ada di Masjid," ujar asistennya itu. "Sekarang hidup Bapak banyak beribadah dan beramal. Untuk beramal bukan sekarang saja, sejak dulu Bapak rajin beramal. Uang gajinya malah saya yang mengambil dan selalu dipesankan untuk memberikan kepada orang-orang yang membutuhkan.," tambahnya lagi. Tepat pukul 10 WIB, karena Soedomo selalu tepat waktu, saya diterima oleh beliau di ruang tengah. Saya melihat wajah beliau masih seperti dulu, segar dan langkah-langkahnya masih tegap. Menjelaskan persoalan juga masih jernih. Kalimatnya yang bermanfaat untuk dijadikan bekal kehidupan,"Manusia itu ada batasnya." "Kalau orang berkata hidup dimulai umur 40 tahun, saya justru mulai umur 75 tahun. Terus terang saja dan bukan rahasia umum, saya dulu kan murtad. Kasih sayang Allah SWT kepada hamba-Nya lebih luas dari pada murka-Nya," kata Soedomo. "Apakah saya angker? Ah, tidak. Dari luar saja demikian karena melaksanakan tugas. Lagi pula Kopkamtib itu tugasnya untuk memelihara dan meningkatkan stabilitas keamanan dan ketertiban. Buktinya ketika Mala Petaka Lima Belas Januari (Malari) terjadi, betul Hariman Siregar dan Sjahrir saya amankan. Tetapi di balik itu saya sekolahkan dia ke luar negeri, karena dia masih muda waktu itu, bangsa dan negara ini masih memerlukan tenaga dan pikirannya" jelas Soedomo menjelaskan apakah dia betul-betul angker atau sebaliknya. Banyak cerita yang tidak perlu saya ungkapkan, mengapa Soedomo melakukan berbagai tindakannya yang kebanyakan orang tidak memahami dia harus melakukan itu. Banyak pula cerita-cerita lucu yang saya peroleh, bahkan saya sering terpingkal-pingkal. Inilah sedikit oleh-oleh di bulan puasa ini kepada teman-teman, betapa seseorang itu pada akhirnya bisa menemukan dirinya sendiri. Menurut agama saya, Islam, Taubat Nasuha adalah perjalanan yang sebaik-baiknya.Selamat berpuasa (http://dasmandj.blogspot.com) [Non-text portions of this message have been removed]