Saya  tinggal di 
bilangan Guntur, Setiabudi Jakarta Selatan. Guntur lebih dikenal karena 
di pojokan Jalan Sultan Agung dan Perempatan Jalan Guntur ada markas 
Polisi Militer (PM).  Di belakang penjara PM Guntur, ada Pasar Manggis, 
tempat kami acap membeli kebutuhan sehari-hari. Tak terkecuali gas 
elpiji ukuran 3 kg.  Sekelimut pengalaman memakai tabung gas elpiji 3 kg
 dan kisah  pemberhentian langkah di saat menjelang berbuka puasa 
Ramadan hari pertama di Pintu Air Manggarai, Jakarta Selatan. SEJAK
  menjelang Ramadan, hingga puasa hari pertama, suatu kehebohan nyata di
 Pasar Manggis, Guntur, Jakarta Selatan. Tabung gas elpiji 3 kg, tak 
bertanda Standar Nasional Industri (SNI) tidak  bisa ditukarkan lagi ke 
pedagang. Tabung terakhir  kami pakai, bagian  mulut lehernya diberi 
ikat karet gelang, kajai, kata orang Minang. Suatu
 petang aku pulang. Di dapur  aku menyium bau gas. Sertamerta aku cabut 
selang tabung,  lalu membawa "melon"  ke halaman. Dan kini tabung itu 
tak mau diterima pedagang, padahal sebelumnya dibeli dari pedagang 
sama.Dan di belakang Pasar Manggis ada perkampungan padat, yang 
sehari-hari warga membeli gas dengan tabung gas tanpa SNI itu. Keajaiban
 demikian,agaknya, mungkin cuma terjadi di ranah Indonesia. Di
 awal Ramadan ini, menikmati hidup sebagai rakyat,  ihwal berpisahnya 
nyawa  dari badan akibat meleduknya tabung gas, membuat jasad bisa bak 
sampah. Seakan murah. "Tukang gas yang 12 kg tak lewat. 
Telepon ke  penjual agen agak dekat rumah, dia bilang tidak ada  petugas
 antar," kata isteri saya. Maka dengan berjalan kaki, dan 
 menenteng tabung  "melon" ringan, menjadi pilihan keluarga kami membeli
 gas. Apalagi pedagang penjual gas "melon": yang suka keliliang juga tak
 lewat. Kenyatan demikian, manalah dipedulikan oleh 
Pertamina. Segenap pimpinan Pertamina, jajarannya, asyik sibuk  dengan 
rutinitas yang ada. Lagian, mereka di kantoran, sudah pasti melepaskan 
tanggung jawab ke para distributor, dealer dan segenap turunannya. Dengan
 logika demikian, mereka membenarkan diri, tetapi dengan rendah hati  
saya katakan: bolehlah sebagai orang biasa bertanya, bagaimana 
pengawasan produsen terhadap barang dagangan produksinya? Apalagi urusan gas 
elpiji ini memang monopoli Pertamina memproduksi? Dalam
 kerangka inilah kepapaan sebagai orang biasa menjadi kian tergerus asa.
 Bentuk kekecewaan publik satu dua meretas ke aksi datangnya warga ke 
istana: setelah cara dan segenap akal menjadi percuma menyampaikan kata,
 tak tahu lagi harus mengadu ke mana? Puncaknya  seorang 
Susi Hariani yang membawa anaknya, Ido,  cacad panggang,  dari 
Bojonegoro mengadu ke istana, 18 Juli lalu  - - untungnya kini sudah 
dalam penanganan rumah sakit dibiayai pemerintah. Lebih banyak masalah tak 
mengemuka ke media! Lebih berjibun mengendap di bawah permukaaan. Kami
 tinggal hanya dipisahkan Jalan Sultan Agung dan Kali Ciliwung, hitungan
 jarak  tak sampai dua ratus meter, bersebelahan dengan kawasan Menteng,
 Jakarta Pusat, dan tidak pula  sampai lima ratus meter dari kediaman 
Rumah Dinas Wapres, mengalami keadaan tabung gas bermasalah, bagaimana 
  pula warga di banyak daerah? Jika di pusat Jakarta saja,
 tabung gas bermasalah beredar banyak, kuat dugaan saya, angka 9 juta 
tabung bermasalah  dari 45 juta  elpiji 3 kg tabung beredar kini, lebih 
besar lagi. Angka sembilan itu kini bisa jadi sudah sembilan belas, atau
 bisa jadi dua puluh sembilan? Kedengaran mengarang memang. Tetapi
 sebuah angka rabaan bisa jadi bukan omong kosong, karena tidak  ada 
program darurat,  aksi cepat,  Pertamina memverifikasi  perihal 
ke-pah-poh-an ini. Hilangnya nyawa puluhan orang  mereka 
anggap biasa. Sama biasanya dengan pulang perginya mereka  bekerja di 
Pertamina sehari-hari menunaikan tugas, terkadang membuat mereka 
bagaikan robot, melupakan aras  manusia. Macam melihat robot itulah body 
language 
 Dirut Pertamina dalam sosialisasi penggunaan tabung gas 3 kg belakangan
 di televisi. Bahkan dalam iklan layanan masyarakat yang mereka buat 
pun, sang  Dirut  hanya berujar, "Tabung Gas Pertamina Aman". Tanpa ada 
kerendah-hatian, membeberkan  dalam satu paparan, langkah-langkah 
tanggap telah mereka lakukan, lalu prihatin mendalam dari musibah  telah
 terjadi. Laku demikian,  akibat langgam hidup, tak pernah
 lagi mau bersinggungan dengan kenyatan hidup sehari-hari.. Tak ingin 
lagi merasakan bagaimana memasak dengan minyak tanah, bagaimana 
merasakan antri minyak tanah. Ketar-ketir terror"melon". Nah bila insan 
"begawan" demikian dominan mengaku memimpin segenap kepentingan rakyat, 
sulit memang berharap bahwa mereka akan mampu menjiwai denyut-kejut 
rakyat, kusut-masai, mereka cincai-cincai!   SATU
  jam lebih menjelang berbuka  Ramadan hari pertama. Saya sengaja mampir
 ke Pintu Air Manggarai, yang diarsiteki Herman van Breen, pada 1922. 
Dulu agaknya, kawasan pengatur aliran air mengatasi banjir kanal barat 
ini bisa jadi tampak besar sekali. Kini, bila Anda  
berdiri di tepiannya, di sebelah kanan menumpuk batang kayu  
berdiameter  lebih tiga pagutan orang biasa. Di sampingnya menumpuk 
gelondongan kayu lain lebih kecil. Bersebelahan, potongan-potongan kecil
 pecahan kayu digelontor air pasang. Bau sekitar anyir. Anda yang alergi bau, 
saya pastikan akan hacin-hacin. Petang
 itu saya perhatikan dua anak muda tampak memancing. Mereka bilang suka 
dapat lele,mujair, sesekali ikan gabus. Gabus bila di Riau dikenal 
Ruting, jenis ikan darat banyak gizi, sekaligus dianggap  makanan 
menyehatkan pria. Di bagian kiri ada jalan menuju ke 
tepian air bercorak coklat. Saya perhatikan menggunung sampah mulai dari
 kasur hanyut, bantal, kursi pun ada. Urusan  botol plastik, patahan 
kayu-kayu pendek selengan, jangan ditanya jumlahnya. Seorang
 bapak tua, tampak mengait pakai galah setiap aliran barang yang ada. Ia
 pilah-pilah botol plastik, ember plastik pecah-belah dan barang 
plastik  khanyut lainnya. Dari binar matanya terlihat bagaikan orang 
mencari butiran intan di Martapura, Kalimantan Selatan. Di
 bagian atas bersebelahan dengan jembatan  kereta api Manggarai, sebuah 
gubuk seukuran kandang ayam, menaungi  tempat tinggal seorang nenek tua.
 Nenek bongkok itu menjemur potongan kayu basah dari kali. Ia hidup dari
 menjual potongan-potongan kayu kecil yang kini kian dicari masyarakat 
sebagai kayu bakar. Petang  merembang menjelang  berbuka 
pusa itu, saya membayangkan sosok Fauzi Bowo, Sang Gubernur Jakarta ini,
 ada berdiri di samping saya. Ia ada sebagai rakyat biasa, melihat 
bagaimana gunungan sampah, bau apek, kumuh,  anyir, dan nenek tua renta 
tidak nyinyir masih bekerja. Sayang, yang saya terima dari
 sang Gubernur sehari menjelang Ramadan, hanya ucapan selamat menunaikan
 puasa Ramadan via SMS saja.  Ia mengajak semoga amalan puasa diterima  
Tuhan. Terima kasih gubernur. Selama Ramadan
 pula dirilis ke media oleh  Pemda DKI , gubernur akan berkeliling 
melakukan  Shalat tarawih. Tak ada agenda menginjak kenyataan riil 
kehidupan warga DKI, yang air got, paritnya,  mampat, kalinya belum 
bersih jua. Giliran hujan, air berlepak-peak di jalanan, kemacetan 
menjadi-jadi. Solusi angkutan massal belum juga 
terealisir. Proyek MRT sudah tiga tahun bergulir, terindikasi baru hanya
 memakan APBD untuk perencanaan tok, sudah lebih Rp 200 miliar. Anehnya,
 Monorail, jelas-jelas terindikasi lebih - - sebagaimana pernah saya 
tulis di Sketsa - - kepada perebutan kepentingan pengusaha, bukan demi 
kepentingan publik, tak berani juga diputuskan untuk  dilanjutkan oleh 
sang gubernur. Pilar-piliar Monorail  yang berdiri kini dengan  
investasi awal PT Adhi Karya, tetap saja berderetan karat sunyi. Apakah 
kemudian lalu menunggu ada warga DKI menampar muka gubernur dan segenap jajaran 
pemda DKI dalam arti riil? Tulisan
 Sketsa Ramadan ini aku tulis dengan ajakan, sebelum tamparan riil itu 
terjadi, macam "kenekatan" Ibu Ido datang ke  istana, marilah beramadan 
dalam arti riil, jauhkan diri dari seremoni. Apalagi beribadah demi 
seremoni. Injaklah bumi, temuilah rakyat, rasakan denyut kehidupan 
rakyat nyata. Toh semua dana kalian mainkan, dari rakyat jua asalnya. Lain 
tidak! Jika itu dicamkan, aku yakin Ramadan kali  ini menjadi puasa 
berbeda. Memartabatkan harkat manusia dengan mutu kehidupan, mulia 
adanya!***  Iwan Piliang, Literary Citizen Reporter,blog-presstalk.com



[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke