Menurut saya secara bodoh, saya lebih memilih menggunakan syair lagu dangdutnya 
Rhoma Irama yang berbunyi sbb :

"Gali lobang tutup lobang, Pinjam uang bayar hutang"

Cicilan utang plus bunga yang dibayar saat ini merupakan utang yang dibuat 
dimasa "ORBA"

Karena itulah kalau bangsa ini mau kesatria, jalan keluarnya adalah :

1. Stop utang baru !
2. Bagai mana/dari mana uang untuk bayar cicilan plus bunga utang sebelumnya ?  
ya harus ditanggung renten oleh seluruh pengelolah negara ini dari masa Orba 
hingga saat ini dari mulai :

~ Seluruh Presiden; mantan Presiden; Wakil Presiden dan mantang Wakil Presiden 
dan atau ahli warisnya
~Seluruh Menteri sampai dengan pejabat eselon IV dibawahnya; mantan menteri 
sampai dengan mantan pejabat eselon IV dibawahnya; pejabat setingkat menteri 
dan mantan pejabat setingkat menteri dan atau ahli warisnya
~Seluruh pimpinan dan anggota lembaga tinggi negara/lembaga-lembaga tinggi 
pemerintah non departemen; seluruh mantan pimpinan dan mantan anggota lembaga 
tinggi negara/lembaga-lembaga tinggi pemerintah non departemen dan atau ahli 
warisnya.
~Seluruh guberbur dan wakil gubernur sampai dengan pejabat eselon IV 
dibawahnya; mantan gubernur dan wakil gubernur beserta mantan pejabat sampai 
dengan eselon IV dibawahnya dan atau ahli warisnya.
~Seluruh bupati dan wakil bupati sampai dengan pejabat eselon IV dibawahnya; 
mantan bupati dan wakil bupati beserta mantan pejabat sampai dengan eselon IV 
dibawahnya dan atau ahli warisnya.
~Seluruh walikota dan wakil walikota sampai dengan pejabat eselon IV 
dibawahnya; mantan walikota dan wakil walikota beserta mantan pejabat sampai 
dengan eselon IV dibawahnya dan atau ahli warisnya.
~Seluruh anggota komisaris; mantan komisaris; direksi; mantan direksi sampai 
dengan setingkat kabag BUMN dan BUMD dan atau ahliwarisnya.
~Seluruh Jaksa dan mantan Jaksa dari tingkat Kejaksaan Agung sampai dengan 
Kejaksaan negeri dan atau ahli warisnya.
~Seluruh Hakim dan mantan Hakim dari tingkat Mahkama Agung sampai dengan 
Pengadilan negeri dan atau ahli warisnya.
~Seluruh anggota TNI yang berpangkat Letkol ke atas baik yang masih aktip 
maupun sudah pensiun dan atau ahli warisnya.
~Seluruh anggota POLRI yang berpangkat AKBP ke atas baik yang masih aktip 
maupun sudah pensiun dan atu ahli warisnya.

Mereka itu semua wajib menyerahkan 70% dari total kekayaannya untuk diserahkan 
ke kas negara guna membayar utang luar negeri pemerintah/negara.

Revisi undang-undang tindak pidana korupsi, dimana ancaman hukuman maksimal 
bagi seseorang yang terbukti korupsi lebih dari 5 juta Rupiah adalah hukuman 
mati.

Kalau kita ingin menjadikan Indonesia maju dan sejahtera itu caranya,  Merdeka !


Salam hangat,
Suhaimi



  ----- Original Message ----- 
  From: Alex Simanjuntak 
   
  Sent: Friday, August 13, 2010 5:03 PM
  Subject: [Forum-Pembaca-KOMPAS] Hati-hati Mengelola Utang


    


  Dengan "banjir bandang" hot money, Indonesia disanjung oleh media Barat 
(siapa lagi) sebagai ekonomi yang mantap, tentu sesuai tolok ukur 
neoliberalisme yang predatoris. Sekejap hot money bisa disedot, imbasnya bukan 
pada yang super kaya, pada semua yang kian melarat. Kita sungguh perlu 
pemerintah yang pro rakyat. Status quo pelestarian kemiskinan 2004-2014 teramat 
panjang!
  Hati-Hati Mengelola Utang
  Suryopratomo
  METROTVNEWS
  Kamis, 12 Agustus 2010 19:09 WIB

  EKSPOSE utang luar negeri kita yang melewati angka Rp1.600 triliun memang 
bisa dilihat dari dua sisi yang berbeda. Dilihat dari perbandingannya terhadap 
produk domestik bruto yang tercatat 25 persen, utang itu masih dalam tingkatan 
yang aman. Namun dilihat dari sisi nominalnya, angka itu tergolong menakutkan.

  Mengapa kita katakan seperti itu? Karena dilihat dari sisi perbandingannya 
terhadap PDB masih dalam batasan wajar. Utang-utang negara lain ada yang di 
atas 60 persen, bahkan banyak yang di atas 100 persen.

  Namun melihat kewajiban pembayaran pokok dan bunga yang mencapai Rp110 
triliun per tahun, kita pantas untuk berhati-hati. Belum lagi pembayaran bunga 
obligasi peninggalan krisis keuangan 1998 yang mencapai Rp60 triliun per tahun, 
artinya hampir 20 persen dari anggaran pendapatan dan belanja negara habis 
untuk membayar utang.

  Hal yang harus kita perhatikan dari utang itu adalah bagaimana penggunaannya. 
Untuk apa semua utang itu dipergunakan? Apakah utang itu dipakai untuk 
kepentingan yang produktif ataukah dipakai untuk konsumtif.

  Menarik penjelasan yang disampaikan Menteri Keuangan Agus Martowardojo pada 
rapat kerja di Istana Bogor pekan lalu. Menurut Menkeu, APBN yang ada sekarang 
sekitar 91 persen habis untuk biaya rutin. Anggaran yang tersedia untuk 
pembangunan hanya sekitar sembilan persen dari APBN sekitar Rp1.000 triliun 
atau sekitar Rp90 triliun saja.

  Artinya, APBN yang kita siapkan setiap tahun itu lebih banyak dipakai untuk 
membayar utang daripada untuk membangun. Lalu dengan kondisi seperti itu, dari 
mana kita mendapatkan modal untuk membayar kembali utang yang di atas Rp1.600 
triliun itu?

  Inilah yang pantas membuka mata kita. Utang yang kita buat setiap tahun itu 
lebih banyak dipakai untuk kepentingan yang tidak produktif. Anggaran kita 
lebih banyak dipakai untuk membiayai provinsi atau kabupaten baru yang 
terbentuk karena pemekaran.

  Kita mendukung langkah moratorium pemekaran daerah. Kalau pemekaran hanya 
sekadar memerbesar biaya dan tidak lebih menyejahterakan kehidupan masyarakat 
di daerah, lebih pemekaran itu dihentikan dulu sementara. Lebih baik anggaran 
yang tersedia dipakai dulu untuk membangun negara ini.

  Kita harus meningkatkan produksi nasional. Kita harus menggerakkan sektor 
riil agar kita mampu membangun industri yang lebih kokoh. Dengan hadirnya 
industri yang bisa diandalkan dan membawa keunggulan bagi bangsa dan negara 
ini, maka kita akan mampu mengakumulasikan modal. Akumulasi modal dari kegiatan 
usaha itulah yang bisa dipakai untuk melunasi utang negara kita itu.

  Kalau kita sekadar mengandalkan dari PDB artinya kita hanya mengandalkan 
kepada sumber daya alam yang kita miliki. Memang dengan menjual hasil tambang, 
minyak, dan hasil kehutanan dalam bentuk mentah, kita bisa mendapatkan devisa 
untuk melunasi utang itu. Namun ketika kekayaan alam itu habis, maka kita 
tinggal gigit jari tidak lagi memiliki apa pun untuk membangun negara kita.

  Oleh karena itulah kita tidak bosan-bosan mengingatkan agar kita segera 
mengubah orientasi. Kita tidak bisa hanya mengandalkan kekayaan alam, tetapi 
secara sungguh-sungguh membangun industri yang berlandaskan kekuatan kita. Apa 
itu? Industri berbasis pertanian serta tambang dan energi.

  Kalau kita membangun perkebunan dengan industri pendukungnya, maka kita akan 
menjadi raksasa yang menakutkan. Mulai dari kelapa sawit, karet, kakao, gula, 
kita bisa menjadi raksasa dunia. Demikian pula di industri kertas dan bubur 
kertas, kita seharusnya tidak perlu kalah dari Amerika Serikat yang produksinya 
bisa mencapai 30 juta ton per tahun.

  Demikian pula kalau kita mampu membangun industri tambang dan energi. Kita 
seharusnya menjadi raksasa di industri petrokimia. Kita seharusnya bisa 
memiliki industri tambang emas, tembaga, timah, bauksit yang besar karena kita 
memiliki semua sumber alam itu.

  Sungguh ironis kalau untuk bahan bakar minyak saja kita harus membeli dari 
Singapura. Bahkan harga BBM yang kita jual menggunakan patokan harga Singapura. 
Siapa Singapura itu? Apa yang dimiliki oleh negara itu? Mengapa kita yang lebih 
kaya justru harus berkiblat ke negara kota itu.

  Ada yang salah dalam pengelolaan negeri ini. Bukan hanya sekarang, tetapi 
selama 45 tahun ada yang keliru dari arah pembangunan negara kita ini. Kita 
terlalu terpaku kepada kekayaan alam dan lupa untuk meningkatkan kualitas 
manusia kita. Akibatnya, kekayaan yang kita miliki tidak membuat kita menjadi 
kekuatan ekonomi utama dunia.

  Kita bahkan semakin terperosok ke dalam jebakan utang. Kalau kita tidak 
mengelolanya secara baik utang-utang itu, maka kita akan terpuruk sebagai 
bangsa. Semua kekayaan alam yang kita miliki akan habis hanya membayari utang. 
Sementara rakyatnya terus hidup dalam kebodohan dan kemiskinan.

  Inilah yang harus kita hindari. Kita tidak boleh seperti tikus yang mati di 
lumbung padi. Kita harus bangkit untuk meraih kejayaan sebagai sebuah bangsa 
yang besar.

  [Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke