Diambil dari 
http://roythaniago.wordpress.com/2010/08/16/apa-kabar-masyarakat-adat/



Apa Kabar Masyarakat Adat?
Oleh: Roy Thaniago

Ia orang Dayak Punan. Dalam sebuah diskusi informal, lelaki limapuluhan tahun 
itu bicara, “Kalau hutan habis, apakah saya masih disebut masyarakat adat? 
Apakah saya masih orang Punan?”

 
PERTANYAAN itu tiba-tiba menjadi besar dan rumit ketika diucapkannya menjelang 
perayaan Hari Masyarakat Adat Sedunia (HMAS) yang tepat dirayakan beberapa hari 
lalu, 9 Agustus 2010. Pun hanya berjarak seminggu dari 17 Agustus, hari 
kemerdekaan republik ini. Ternyata di usia 65 tahun republik ini masih ada 
sekelompok masyarakat yang resah pada hak yang paling asasi dalam hidupnya: 
tanah.

Makna tanah bagi masyarakat adat tidaklah sesederhana bagaimana masyarakat 
urban 
memaknai tanah. Kebanyakan masyarakat urban memaknai tanahnya hanya sebagai 
aset 
atau dalam tataran fungsional, walau terkadang pemaknaan sebagai sebuah 
identitas budaya dan rangsangan-rangsangan nostalgik turut membayanginya. 
Sedang 
bagi masyarakat adat, makna tanah tidak sekedar untuk dimiliki, tapi juga 
menyangkut penghayatan hidupnya (2004: Winangun, 73). Segala nilai, identitas, 
ikatan emosional, dan cara menyatakan diri masyarakat adat sangat ditentukan 
oleh tanah.

“Jika kami tidak memiliki tanah, maka kami tidak bisa disebut sebaga orang 
Moi,” 
ungkap masyarakat adat suku Malamoi, Sorong, Papua Barat dalam memaknai tanah. 
Buat mereka, tanah adalah perempuan. Menjual tanah sama saja dengan menjual ibu 
mereka sendiri. Sedang bagi orang Bali, tanah dianggap suci. Persoalan tanah 
adalah persoalan dengan Sang Ilahi. Atau simak bagaimana ikatan emosional yang 
sangat kuat antara masyarakat suku Anak Dalam (Jambi) dengan tanah, di mana 
mereka memiliki tradisi , yakni sebuah ritual meninggalkan tanahnya ketika ada 
anggota keluarga yang meninggal. Ritual ini dilakukan untuk mengusir kesedihan 
karena kenangan akan almarhum/almarhumah, dan dilakukan selama berbulan-bulan 
bahkan bertahun-tahun, tergantung seberapa cepat mereka dapat mengikhlaskan 
kematian anggota keluarganya.

Data-data tadi ingin menunjukkan betapa kuatnya hubungan antara masyarakat adat 
dengan tanah adatnya. Ada sebuah simbiosis yang saling membutuhkan, yang akan 
menghancurkan keduanya kalau keduanya dipisahkan satu sama lain. Nyatanya, 
ancaman pemisahan masyarakat adat dengan tanahnya kini masih dan sedang 
berlangsung, bahkan dilakukan secara sistemik dan struktural oleh negara.

Comotlah contoh dari masyarakat adat Banten Kidul (Lebak-Sukabumi) dan To 
Kulawi 
(Palu, Sulawesi Tengah). Kedua kelompok masyarakat ini sebagian tanah adatnya 
dimasukkan dalam wilayah Taman Nasional Gunung Halimun Salak dan Taman Nasional 
Lore Lindu. Akibatnya, beberapa warganya sempat dipenjara karena mengambil kayu 
untuk keperluan hidupmya sehari-hari. Padahal, mereka sudah hidup jauh lebih 
dulu sebelum republik ini berdiri. Ironis: mereka dianggap pencuri di tanahnya 
sendiri!

Menihilkan perspektif budaya dan keterlibatan masyarakat adat dalam menerapkan 
kebijakan pemerintah juga punya cerita lain. Dalam hal batas administratif 
suatu 
daerah, misalnya, Desa Trusmi, Cirebon, Jawa Barat, punya kisah tersendiri. 
Pada 
tahun 1974, desa ini melebihi batas jumlah penduduknya sehingga harus dibagi 
dua, Desa Trusmi Wetan dan Trusmi Kulon. Pembagian wilayah ini menyebabkan 
makam 
keramat Buyut Trusmi masuk dalam wilayah Trusmi Wetan, sehingga memberatkan 
warga Trusmi Kulon karena terpisahkan dari akar sejarah maupun ikatan 
emosional. 
Cara negara dengan perspektif geopolitik ternyata tidak selalu sinkron dengan 
masyarakat adat yang berperspektif geokultural (2000: Endo Suanda dalam Jurnal 
MSPI “Global-Lokal”, 65).

Masalah pertanahan akan tambah pelik dan mengenaskan jika disertakan pula 
kasus-kasus di daerah lain yang turut melibatkan aktivitas perkebunan, 
penebangan hutan, pertambangan, dan lainnya. Banyak dari masyarakat adat yang 
terpaksa hidup menjadi buruh di atas tanahnya sendiri, dan tidak menikmati 
keuntungan yang didapatkan para perusahaan yang bermukim di sana.

Bukan hanya itu, kerusakan bumi yang dibicarakan dalam tahun-tahun terakhir 
ini, 
justru berdampak paling besar terhadap masyarakat adat. Seperti yang kita 
ketahui bahwa tanah dan alam telah hidup dengan erat bersama masyarakat adat. 
Para masyarakat adat yang menggantungkan hidupnya dari pemberian alam, otomatis 
akan menjadi kelompok manusia yang paling terkena dampaknya akibat kerusakan 
bumi. Sekali lagi ini sebuah ironi, bahwa kerusakan itu justru diakibatkan 
paling besar oleh mereka di luar masyarakat adat.

Dalam hal seni dan budaya, terampasnya tanah masyarakat adat, diyakini akan 
turut membunuh kekayaan kesenian dan kebudayaan tradisi yang ada. Kesenian 
adalah produk budaya yang merespons lingkungan sekitar. Ketika masyarakat adat 
kehilangan tanahnya, maka kesenian akan terancam keberadaannya. Kesenian pada 
konteks semulanya itu akan dipaksa dan diseret masuk dalam dimensi ruang yang 
baru, yang lain dari apa yang selama ini dimaknai dan dirasakan.

Di antara dua peristiwa besar, HMAS dan HUT RI, persoalan masyarakat adat 
menyempil tidak terteropong dengan luas. Media ramai membicarakan isu yang 
sangat Jakartasentris atau masalah khas masyarakat perkotaan, mulai dari 
kemacetan, tabung gas, premium, premanisme, redominasi rupiah, sampai lagu 
Keong 
Racun. Sedang mengenai masyarakat adat? Sepi.

Karenanya, tulisan ini ingin mengetengahkan kembali persoalan masyarakat adat 
yang berada di jalan sunyi ini. Bahwa pemiskinan dan diskriminasi terhadap 
masyarakat adat tidak boleh alpa dan dianggap biasa dalam kehidupan kita. Bahwa 
persoalan masyarakat adat yang disepelekan dan disederhanakan – dalam hal ini 
baru disinggung persoalan tanahnya – berarti mengingkari konsensus bersama 
tentang ke-Indonesia-an. Ia juga sebuah inkonsistensi atas amanat dalam 
konstitusi kita UUD 1945, yang tertuang dalam Pasal 18 B Ayat (2) dan Pasal 28 
I 
Ayat (3) tentang masyarakat adat dan hak-haknya.

Kemarin HMAS, besok HUT RI ke-65. Entah, bagaimana kita menjawab pertanyaan 
lelaki Punan di atas soal hutan dan identitasnya.
-- 
Roy Thaniago
http://roythaniago.wordpress.com




[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke