Beritasatu.com | Selasa, 17 Agustus 2010
Indonesia Merdeka tapi Dijajah Utang http://www.beritasa tu.com/articles/ read/2010/ 8/969/indonesia- merdeka-tapi- dijajah-utang Agus Triyono Utang Indonesia saat ini berjumlah Rp 1.625 triliun dan rezim SBY jadi pengutang terbesar. Meskipun sudah merdeka sejak 1945, Indonesia ternyata masih terbelenggu utang yang besarnya mencapai Rp 1.625 triliun. "Saya kira kemerdekaan kita selama ini hanya di teks Proklamasi. Secara ekonomi kita terjajah," kata Wahyu Susilo, aktivis INFID atau International NGO Forum on Indonesian Development itu, kepada wartawan beritasatu.com. Dengan utang sebesar itu, INFID memperkirakan, setiap bayi Indonesia yang lahir dan selamat harus menanggung utang Rp 7,5 juta. Wahyu membenarkan, utang Rp 1.625 triliun itu merupakan warisan sejak zaman Sukarno. Namun pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono merupakan rezim yang jumlah utangnya paling besar. Hanya dalam waktu enam tahun menjabat sebagai presiden, utang yang diperoleh pemerintahan SBY mencapai Rp 300-400 triliun. "Utang itu baru bisa dilunasi 45- 65 tahun mendatang. Itu pun dengan syarat, mulai sekarang Indonesia menghentikan utang dan berusaha mencari sumber pendanaan pembangunan lain selain utang," kata Wahyu. Komisi Diplomat Dia mengungkapkan, salah satu penyebab menumpuknya utang Indonesia adalah kebiasaan para diplomat Indonesia yang rajin mengajukan utang karena mereka mendapat komisi. Padahal pengelolaan utang itu juga tidak efesien. Lima tahun terakhir, besaran penyerapan APBN kita tidak lebih dari 25 Persen. "Sementara utang kita dipakai atau tidak, argo tetep jalan. Kita sudah bayar bunga, fee, cicilan, meskipun utang tidak terpakai," kata Wahyu. "Karena bisnis utang adalah bisnis komisi maka buruknya pengelolaan utang bukan tidak mungkin merupakan kesengajaan untuk menciptakan celah korupsi," kata Wahyu. INFID karena itu meminta Presiden SBY melakukan diplomasi penghapusan utang secara komprehensif karena sebagai negara yang pernah mengalami masa otoritarian, Indonesia memiliki peluang untuk mendapatkan skema penghapusan utang dari utang-utang yang diidentifikasi sebagai utang tak sah [illegitimate debt]. Yang masuk kategori utang itu antara lain penggunaan utang untuk pelanggaran HAM dan utang yang dikorupsi oleh rezim yang otoriter. INFID juga mengusulkan sebuah inisiatif politik penghapusan dan pengurangan utang dalam bentuk audit utang. Inisiatif ini diperlukan untuk mengidentifikasi status utang luar negeri Indonesia masa lalu. Bias Investor Sementara itu, Koalisi Anti Utang menyatakan, berdasarkan hasil Audit BPK 2008 terdapat sejumlah proyek yang didanai utang luar negeri senilai Rp 438,47 triliun yang tidak dapat berjalan optimal karena lemahnya perencanaan, koordinasi, dan monitoring. Akibatnya, pemerintah harus menyediakan biaya commitment fee Rp 2,02 triliun yang diakibatkan keterlambatan program. Beban tambahan Rp 2,02 triliun berupa biaya komitmen dan eskalasi didapat atas audit BPK terhadap 66 perjanjian utang luar negeri senilai Rp 45,29 triliun. Koalisi menilai, argumentasi pemerintah menolak opsi moratorium dan penghapusan utang sangat bias investor. "Sikap pemerintah tersebut sangat merisaukan. Sangat takut jika berhadapan dengan kreditor, tetapi berani mengambil resiko kebijakan yang menyengsarakan rakyat. seperti menaikkan tarif dasar listrik, harga BBM, tarif LPG, tarif tol, dan sebagainya," kata Dani Setiawan dari Koalisi Anti Utang. Koalisi meminta pemerintah mempertimbangkan penghapusan utang, karena Indonesia akan sulit membebaskan dari utang. Jalan menuju negosiasi penghapusan utang menurut Dani, setidaknya membutuhkan tiga syarat. Pertama ada kemauan politik dan komitmen dari pemerintah dan parlemen untuk menjalankan ekonomi kerakyatan. Kedua, keterlibatan masyarakat sipil yang terorganisir dan memiliki komitmen memperjuangan keadilan dan kemandirian ekonomi. Ketuga, dukungan kaum intelektual progresif berideologi kerakyatan dan berpihak pada kepentingan nasional.*** [Non-text portions of this message have been removed]