Evi,

Wah, udah maju banget tuh ada kades perempuan. BRAVO!
Semoga mampu membawa perubahan dengan tetap melestarikan kearifan lokal sebagai
jati diri suku Tengger.

Suku Tengger memang punya keunikan yang luar biasa serta kearifan lokal yang
begitu membudaya.
Beberapa tahun lalu saya punya pengalaman tatkala kami membawa rombongan tamu
asing untuk mengetahui kegiatan perempuan Tengger.
Pertemuan dilaksanakan malam hari karena bagi masyarakat tengger, siang hari
adalah waktu untuk bekerja, jadi menemui tamu hanya bisa dilakukan di malam
hari..

Tentunya bicara kegiatan perempuan ditingkat komunitas ya hanya PKK, maka
peserta pertemuan tampak duduk rapi dengan mengenakan seragam PKK, yang
berlengan pendek.

Saya bertanya, :"Apakah Ibu-ibu tidak kedinginan?"

Langsung dijawab setengah berteriak, "Ya dingin!"

Saya bertanya lagi, "Kenapa tidak pakai baju hangat?"

Mereka jawab rame-rame, "Disuruh pakai seragam"

Lalu saya katakan, "Kan disini udara sangat dingin sekali, pakai saja baju
hangtatnya kalau anda bawa!"

Ganti mereka yang bertanya, "Boleh pakai mantel, bu?"

"Tentu boleh, supaya ibu-ibu nyaman dan dialog akan berjalan lancer", kataku.

Dan langsung suasana menjadi riuh, terdengan tawa gembira dan suara
geredak-gteredek, semua peserta langsung membuka tas masing-masing dan
menggunakan baju hangatnya.

Ini adalah realita kepatuhan warga kepada pimpinannya, yang terkadang melampaui
nalar kita..


Salam,
Yuda irlang






________________________________
Dari: Evi Douren <evi_...@yahoo.co.uk>
 Suku Tengger Miliki Kades Wanita Pertama

Suku Tengger Miliki Kades Wanita Pertama: Suku Tengger di Gunung Bromo memiliki
kepala desa wanita untuk pertamaka... http://bit.ly/9LAX7z

Suku Tengger Miliki Kades Wanita Pertama

Minggu, 15 Agustus 2010 17:50 WIB | Peristiwa | Politik/Hankam | Dibaca 203 kali

Pasuruan (ANTARA News) - Suku Tengger di Gunung Bromo memiliki kepala desa
wanita untuk pertamakalinya setelah melalui pemungutan suara pemilihan kepala
desa di Wonokitri, Kecamatan Tosari, Kabupaten Pausuruan, Jawa Timur, Minggu.

Nyonya Aidarmiwati terpilih menjadi kepala desa di daerah tersebut mengungguli
perolehan suara suaminya, Karnoto dalam pemilihan kepala desa (Pilkades) yang
hanya diikuti sepasang suami istri, Karnoto dan Aidarmiwati itu.

Dari 2.175 warga yang mempunyai hak pilih, Aidarmiwati mendapat 1.483 suara,
sedangkan Karnoto suaminya hanya mendapat 430 suara. Sisanya sebanyak 85 warga
tidak datang.

Pejabat Sementara Kepala Desa Wonokitri Margono menyebutkan, kejadian tersebut
bukan perebutan kepemimpinan yang sebenarnya di dalam Suku Tengger di Gunung
Bromo. Kejadian tersebut, lanjutnya, hanya sekadar untuk memenuhi persyaratan
domokrasitisasi kepemimpinan.

Sebab, kata Martgono, sebagian besar warga Suku Tengger di Gunung Bromo kurang
tertarik untuk saling bersaing memperebutkan kursi kepemimpinan.

Dijelaskan, sistem kepemimpinan di dalam Suku Tengger di Gunung Bromo berjalan,
dan lahir secara alami. Warga sudah saling memaklumi, karena menjadi pemimpin
Suku Tengger juga mempunyai konsekuensi yang cukup berat.

Selain mampu menjadi kepala pemerintahan di desa, juga mampu menjadi tokoh adat
yang mempunyai tugas untuk terus melestarikannya. "Kepala Desa juga harus mampu
mengurusi, mulai ritual yang sifatnya pribadi, hingga ritual adat yang secara
umum atau massal," katanya.

Ia mengatakan, menjadi kepala desa di Wonokitri itu tidak mendapat gaji atau
tanah ganjaran (bengkok) seperti hak-hak yang diterima kepala desa lainnya.
Kepala Desa Wonokitri hanya menerima tunjangan perangkat desa sebesar Rp1 juta
per bulan.

Dijelaskan, saat pendaftaran calon kepala desa dibuka, hanya Aidarmiwati saja
yang mendaftar. Untuk memenuhi syarat demokratis, yakni calon tidak boleh
tunggal, maka sehari menjelang masa pendaftaran ditutup, menyusul suaminya,
Karnoto mendaftarkan diri.

Jadilah sepasang suami istri tersebut harus duduk bersanding di panggung
pemilihan Kepala Desa Wonokitri. Meski demikian, proses pemilihan kepala desa
yang juga terus dikawal oleh para mangku (pemimpin agama) berjalan semarak.

Hampir seluruh warga Desa Wonokitri, hari itu, libur bertani ke ladang. Mereka
berbondong-bondong antre ke Pendapa Agung Wonokitri untuk menyalurkan hak
aspirasinya.
(MSW/B010)

COPYRIGHT © 2010


Evi Douren

Sent from my BlackBerry® smartphone from Sinyal Bagus XL, Nyambung Teruuusss...!

Kirim email ke