Pak Iscab,
   
  Sedikit meluruskan soal ujian. UAN itu ditujukan sebagai evaluasi hasil 
belajar. Sementara itu, UMPTN adalah ujian saringan. Yang namanya ujian 
saringan memang ya kejam. Lha wong daya tampung 100 kursi dikeroyokin puluhan 
ribu peminat. Kalo tak kejam, kursinya tak cukup :)) 
   
  Ini bukan khas Indonesia. Di banyak negeri di dunia ya sama saja. Di AS ada 
LSAT, di Inggris ada O Level (ditiru sama Malaysia dan Singapura kalo tak 
salah).
   
  manneke

Ignatius Sapto Condro <[EMAIL PROTECTED]> wrote:
          iscab:

Dulu saya pernah merasakan menjadi guru SMA. Karena berstatus honorer, saya
mengajar sekitar 10 kelas lebih supaya nyaman di kantong. Masing-masing
kelas berisi antara 30 hingga 40 siswa. Guru-guru lain mungkin mengajar
murid dengan jumlah yang tidak jauh beda. Aku tak tahu bagaimana dengan guru
yang mengajar di lebih dari satu sekolah.

Rasanya sulit bagi guru-guru sekolah untuk memberikan perhatian cukup kepada
masing-masing siswa yang diajarnya. Guru hanya mengajarkan pelajaran sesuai
tuntutan kurikulum sekolah. Kurikulum sekolah juga disesuaikan dengan
tuntutan pasar. Karena SMA, maka kurikulum sekolah disesuaikan dengan
tuntutan ujian masuk perguruan tinggi yang akan menerima lulusan SMA.

Pernah ada kritikan bahwa UAN itu kejam. Tapi Ujian Masuk Perguruan Tinggi,
dengan soal pilihan gandanya juga sama kejamnya. Jadi anak-anak kita (dan
juga orangtuanya) hanyalah korban dari pasar pendidikan.

Ingin juga sih, sekolah menjadi tempat yang manusiawi. Namun sekarang pasar
berkuasa, maka sekolah pun mau tak mau harus ikut pasar yang tidak
manusiawi. Guru-guru juga harus ikut pasar, karena pasarlah yang bisa
memberi makan guru dan keluarganya.

con...

On 7/3/07, bertha rea <[EMAIL PROTECTED]> wrote:
>
> Betul sekali.... setiap anak punya tujuan sendiri
> mengapa dia dilahirkan dan untuk apa,
> terkadang guru pun harus lebih banyak mengenal satu
> persatu anak muridnya karena setiap murid adalah
> istimewa, mengapa saya begitu iri bila melihat di show
> oprah winfrey mengenai anak yang walaupun cacat
> mendapatkan perhatian sehingga mereka berhasil,
> mengapa di Indonesia guru hanya sekedar seorang guru
> yang hanya memberikan mata pelajaran setelah itu
> selesai tanpa tau apakah anak muridnya memahami atau
> tidak. Mengapa seorang guru hanya melihat anak yang
> berprestasi dan memandang sebelah mata kepada anak
> yang kurang berprestasi? walaupun belum tentu anak
> yang bodoh itu benar-benar bodoh.
>
> bertha

[Non-text portions of this message have been removed]



         

       
---------------------------------
Ask a question on any topic and get answers from real people. Go to Yahoo! 
Answers. 

[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke