Oleh Veven Sp Wardhana http://www.kompas.co.id/kompas-cetak/0707/09/swara/3653303.htm ======================
Kawin-cerai bisa dihitung sebagai perkara biasa. Jika perceraian Bambang Trihatmodjo dan Halimah serta perkawinan (lagi) Bambang Trihatmodjo dan Mayangsari dianggap luar biasa, terutama oleh media massa, itu bukan sebatas karena pelakunya orang penting, melainkan (bagi saya) karena pola pemberitaan di media massa Indonesia cenderung memojokkan para perempuan: Halimah dan Mayangsari; dan ini bukan kali yang pertama. Yang pertama, pada Mei 2006, seusai Halimah dan anak-anaknya menabrakkan mobil mereka ke pagar rumah artis Mayangsariyang ditengarai bersama Bambangmedia massa, terutama media hiburan dan bahkan tabloid wanita (pengelolanya tak menyebut tabloid perempuan), mewacanakan bahwa cinta segitiga ini disebabkan para perempuan: Mayang sebagai perebut suami orang dan Halimah sebagai istri yang gagal menjaga agar Bambang, suaminya, tetap betah tinggal bersama di rumah. Kali yang kedua ini, pada pekan-pekan terakhir, sebagian besar siaran infotainment di televisi makin memojokkan dua perempuan di samping Bambang: Mayangsari menggunakan ilmu guna-guna untuk menggaet Bambang agar meninggalkan istri sahnya (jangan baca: istri pertama!), dan pengajuan talak cerai dari Bambang sebagai kemungkinan karma yang harus dijalani Halimah. Media sama sekali tidak menunjukkan bukti bahwa Mayang benar-benar menggunakan ilmu teluh itu. "Bukti" yang dimunculkan media semata berupa pendapat seseorang atau beberapa orang yang dianggap memiliki kemampuan percenayangan alias paranormal. Mama Lorenz dimintai pendapat, Ki Joko Bodo dijadikan narasumber, juga nama-nama lainnya, termasuk artis Ratna Listy yang belakang hari menekuni èlmu penujuman ala kartu tarot. Rata-rata jawaban dan jabarannya ada ketidakberesan dalam perkawinan Bambang-Mayang, ada garis bibir yang tak terasa tulus, ada senyum yang tampak dipaksakan, dan seterusnya. Intinya: Mayang main teluh. Itu pula sebabnya saat sidang pengadilan perceraiannya digelar di Pengadilan Agama Jakarta Pusat, Selasa, 19 Juni 2007, para ibu melontarkan celetukan ke Bambang agar Bambang segera sadar. Sadar dalam arti agar tidak semata-mata mengabaikan Halimah, melainkan agar "sadar dari pengaruh teluh". Dakwaan yang dialamatkan pada Halimah yang dihubungkan dengan kemungkinan karma adalah pernikahan dengan Bambang merupakan perkawinan Halimah yang keduasementara yang pertama dengan Agus Sumitro, putra Jenderal Sumitro, mantan Panglima Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Pangkopkamtib) zaman Presiden Soeharto, tepatnya dari 27 Maret 1973 sampai 28 Januari 1974. (Ajaibnya, ada tayangan televisi yang memvisualkannya dengan foto begawan ekonomi Soemitro Djojohadikusumo, ayahanda Prabowo Subianto!). Tegasnya, sebagaimana diwacanakan media melalui beberapa narasumber yang disebut "sahabat Bambang Trihatmodjo" yang juga diimani dan diamini presenter: jika sekarang Halimah hendak ditinggal Bambang, itu merupakan keniscayaan atau buah dari perbuatan Halimah dulu yang meninggalkan Agus Sumitro. Pertanyaan kritisnya: benarkah Halimah dulu meninggalkan suami pertamanya? Tak adakah, misalnya, kemungkinan Halimah "direbut" dari suami sahnya; mengingat pada masa-masa itu siapalah yang berani menolak kehendak keluarga dan kerabat Presiden Soeharto? Atau kemungkinan lainnya lagi. Investigasi Berbagai kemungkinan semestinya menjadi titik pijak investigasi media. Dengan buru- buru menjatuhkan dakwaan bahkan vonisbahwa Halimah terkena tulah atau karma, atau Mayangsari bermain teluh, ditambah tanpa sama sekali mempersoalkan dan "mengusik" Bambang Trihatmodjo; pada akhirnya sesungguhnya itu bukan semata persoalan profesionalitas dan etika jurnalistik, melainkan ideologi di baliknya yang terasa lebih mengemuka, yakni menjadikan perempuan sebagai tersangka, terdakwa, terhakimi, dan tervonis. Persoalannya, sekali lagi, bukan sebatas pada ngawurnya media yang menempatkan para cenayang itu sebagai narasumber utama, atau minimal opini sekunderpadahal mereka lebih tepat sebagai opini ke-27selain betapa rancunya media menggunakan terminologi talak cerai dengan gugat cerai, yang jelas- jelas berbeda; melainkan lebih pada adanya ideologi yang terasa didesakkan, yakni dalam persoalan cerai dan kawin lagi itu perempuan ditempatkan sebagai tersangka, sebagai yang diperiksa, disidik, diselidik, disangka, didakwa, dihakimi, dan divonis. Pewacanaan macam itu kenyataannya bisa muncul dari mana pun: dari media atau pers atau jurnalistik, dalam gunjingan, bahkan sekadar dalam rerumpian arisan atau celoteh ala gardu siskamling.