Oleh Ariel Heryanto
http://www.kompas.co.id/kompas-cetak/0708/05/persona/3733820.htm
===========================

Beberapa teman Australia bingung ketika ke Indonesia pertama kali dan
bertamu. Tanpa bertanya, sang tuan rumah menyajikan minum. Hampir
selalu teh atau kopi. "Hampir selalu sangat manis karena banyak
gulanya", kata mereka.

Sebaliknya ada kisah teman dari Indonesia bertamu di Australia
disambut hangat tuan rumah dengan tawaran "mau minum?". Reaksinya
spontan, "Ah, nggak usah." Dia tidak diberi minum hingga pulang,
sesudah tiga jam. Dan ini berulang berpuluh kali selama empat tahun.
Dalam adat di sana, sajian minum diberikan kepada tamu hanya bila tamu
itu menyatakan mau minum. Itu pun masih akan disusul dengan pertanyaan
lanjutan: Mau minum apa? Air? Teh? Kopi? Pakai susu? Gula? Berapa
sendok gulanya?

Di Indonesia pertanyaan seperti itu hanya ada di restoran. Tidak di
ruang tamu. Sajian minum diberikan kepada tamu tanpa menunggu tamunya
minta. Tanpa peduli apakah tamunya mau minum atau tidak. Dalam adat
kita, sajian minum berfungsi komunikatif "selamat datang". Bukan
fungsi kegunaan menghilangkan dahaga.

Silang-komunikasi juga terjadi ketika orang mendengar "Travel Advice"
Pemerintah Australia. Kasarnya, istilah itu bisa diterjemahkan jadi
"Saran Perjalanan". Pemerintah Australia mengumumkan Travel Advice
untuk warganya yang berencana ke luar negeri. Tingkat keamanan di
berbagai wilayah di dunia dinilai dalam lima kategori: dari yang
paling aman sampai yang paling berbahaya. Penilaian itu ditinjau
berkala dan diumumkan ulang bila berubah.

Sejak awal abad ini Indonesia mendapat rapor merah dalam daftar Travel
Advice Australia. Apalagi sesudah bom Bali. Industri wisata di
Indonesia terpukul. Gara-gara kebijakan yang sama, jumlah pelajar
tentang Indonesia di Australia turun deras, dengan ancaman sebagian
program bergelar ditutup. Berbagai kegiatan seperti pertukaran
mahasiswa atau penelitian lapangan tidak diizinkan lagi oleh lembaga.
Bila terjadi apa-apa, pihak asuransi tidak mau membayar ganti rugi.

Berbagai pihak Indonesia maupun Australia telah berusaha membujuk
Pemerintah Australia agar menarik Travel Advice itu. Pemerintah
Australia bergeming. Malahan sesekali memperburuk penilaian atas
keamanan di Indonesia. Juli lalu beberapa anggota DPR itu berang dan
mengusulkan supaya Indonesia melakukan yang sama terhadap Australia.

Daripada bereaksi emosional, lebih baik lebih teliti memahami Travel
Advice Australia. Secara harfiah, Pemerintah Australia tidak
"melarang" orang ke Indonesia. Mereka hanya "menyarankan" agar warga
negaranya (dan bukan warga lain) sangat berhati-hati, menunda, atau
menimbang kembali rencana perjalanan ke Indonesia. Sebagian besar
wilayah negeri ini berada satu tingkat di bawah kategori paling berbahaya.

Tampaknya ada dua tujuan yang jelas, di samping tujuan lain yang lebih
samar-samar, mengapa Travel Advice itu dipertahankan. Pemerintah
Australia ingin membuktikan pada bangsanya bahwa mereka telah
melakukan kewajiban intelijen demi warganya. Kedua, pemerintah ini
tidak mau disalahkan dan dituntut bertanggung jawab bila ternyata
benar ada serangan teror terhadap warganya ketika berada di luar negeri.

Apakah benar hasil analisa intelijen mereka, itu soal lain. Tidak
jelas mengapa London yang berkali-kali diserang "teroris" dinyatakan
dua tingkat lebih aman ketimbang wilayah Indonesia yang tidak pernah
kena bom. Amerika Serikat yang paling diincar kaum "teroris"
dimasukkan dalam kategori paling aman di dunia dalam daftar Travel
Advice pemerintah Howard.

Ketakutan terhadap bahaya di Indonesia itu sepertinya takhayul atau
berlebihan. Malahan ada yang menuduh itu taktik teror-negara terhadap
rakyatnya. Apa bedanya Pemerintah RI ketika berbicara soal bahaya
"komunisme", "separatisme", atau "pornografi"? Sementara bahaya
korupsi, pembunuhan Munir, dan lumpur Lapindo ditanggapi dengan sikap
hangat-hangat tahi ayam.

Sementara pemerintahnya menyatakan Bali dan Jakarta sebagai kawasan
paling rawan di Indonesia, para pejabat Pemerintah Australia
berkunjung rutin ke kedua tempat ini. Kepada warganya, Pemerintah
Australia seakan berpesan: "Mau ke Indonesia? Silakan. Tapi tanggung
risiko sendiri, seperti juga pejabat kami." Travel Advice tidak
berhasil menaklukkan gairah rakyat Australia berkunjung ke Indonesia.
Dalam paruh pertama tahun ini jumlah turis Australia ke Bali naik 30
persen.

RI tidak perlu bikin Travel Advice tandingan. Kalaupun dibikin, siapa
peduli? Orang Indonesia sudah sejak dari awal sejarahnya terbiasa
menanggung risiko hidup sendiri tanpa asuransi dan perlindungan
negara. Boro-boro asuransi bagi mereka yang terkena musibah dalam
perjalanan ke luar negeri. Anak negeri yang seluruh kampung dan
sejarah komunitas mereka terendam lumpur dibiarkan sakit jiwa, setelah
terlunta-lunta dan putus asa.



Kirim email ke