Makasih Viridi atas infonya. Sekali lagi, ini memperlihatkan bahwa beda negara beda juga sistem pendidikan doktornya. Kadang bahkan di satu negara pun bisa beda dari satu universitas ke universitas lain. Di UI, kami skeptis bahwa ada orang bisa melakukan riset pada tingkat doktoral dalam waktu cuma setahun. Apalagi tanpa kuliah penunjang apa-apa. Kami cuma takut nantinya dicap cuma jualan ijazah doang, tapi tak membekali mahasiswa sama sekali. Enak kan? Mahasiswa bayar full untuk pendidikannya, sementara dia tak punya dosen satupun dan tak kuliah sama sekali. Cuma lapor ke pembimbingnya doang soal kemajuan tesisnya. Lalu diuji. Ijazah pun dapet. Kalo soal mutu input S1, kami tak khawatir. Mereka ini lulusan UMPTN yang sangat kompettitif, dan tanpa diajar apa-apapun sudah pinter sendiri. Wong yang diterima ini top-topnya lulusan SMA di mana-mana. Tapi kalo ngomong pascasarjana (S2 dan S3), he he he. Saringannya jauh lebih ringan daripada saringan S1. Gak ada UMPTN-nya :) Nilai TOEFL-nya juga rata-rata lebih rendah dari mahasiswa S1. Nah loe! Kalo matrikulasi, diadu sama yang S1 pun seringkali lebih menangan yang mahasiswa S1. Lalu, yang begini mesti langsung dilepas tanpa kuliah apa-apa langsung riset dan nulis tesis, dan dalam waktu 1-2 tahun dapet doktor? Waduh! Nggak tega deh saya... Ini gejala umum di Indonesia lho, Mas. Coba deh tanya temen-temen lain yang ngajar pascasarjana. Soal Jerman, saya juga punya kawan yang S3 di Jerman di bidang Studi Sastra Jerman. Dia S1 dan S2-nya di bidang Sastra Jerman juga. Ke Jerman juga tetep harus ambil kuliah teori, dan studinya makan waktu 4 tahun tuh? Dia studinya di Humboldt. Jadi, memang bisa lain-lain ya ternyata, meski di satu negara? manneke Sparisoma Viridi <[EMAIL PROTECTED]> wrote: Rekan-rekan FPK Ysh.,
saya hanya mau berbagi pengalaman. Saya dan beberapa rekan saya yang sama-sama studi di Jerman, mendapat perlakuan yang berbeda dalam persiapan menempuh program doktoral. Ada yang tidak harus kuliah, akan tetapi ada pula yang harus kuliah sampai 2 semester. Di sini semua terpulang pada matakuliah S2 yang telah diambil sebelumnya. Apakah matakuliah-matakuliah tersebut diakui oleh universitas di sini atau tidak. Atau bila perlu, ada matakuliah yang tidak ada dalam program S2 dulu (jika pindah bidang, atau bidangnya tidak sama persis), yang kemudian harus diambil di sini agar bisa membantu menyelesaikan program doktoral yang bersangkutan. Mungkin dalam kasus kuliah sampai 4 semester itu terkait dengan program doktoral dalam bidang teoritis atau riset terbaru, sehingga ia harus mempelajari hal-hal baru yang telah dicapai dalam teknologi sampai saat ini: metoda baru, teori baru, model baru, dll. Untuk kasus di Indonesia, di beberapa bidang, matakuliah S2/S1 dengan nama yang sama kadang kurang bobotnya untuk melanjutkan program S3/S2, sehingga tercipta yang namanya matrikulasi (terdapat matakuliah dengan nama sama tetapi nomor berbeda: S1, S2, S3). Tapi umumnya sih hanya 2 semeter. Jika sampai 4 semester dengan batas waktu program doktor hanya 6 semester, terlalu singkat waktu untuk melakukan riset, menurut saya. Salam, Viridi "manneke budiman" [EMAIL PROTECTED] wrote: Sun Sep 9, 2007 9:21 pm (PST) Luar negerinya di mana? Di universitas AS seperti Univ. of Wisconsin, kuliahnya juga empat semester. Pada akhirtahun ekdua ada qualifying exam untuk menentukan orang bisa jadi kandidat doktoral atau tidak. Jika tak lulus, alternatifnya ia bisa dapat gelar master (terminal, bukan in passing). Di University of British Columbia di Kanada, mahasiswa juga harus ambil kuliah 4 semester, lalu ikut comprehensive exam untuk menentukan bisa jadi akndidat doktor atau tidak. Jadi, tak ada yang aneh dengan sistem di Indonesia. Biarkan saja masing-masing sistem menentukan apa yang terbaik bagi programnya serta lulusannya. manneke --------------------------------- All new Yahoo! Mail - --------------------------------- Get a sneak peak at messages with a handy reading pane. [Non-text portions of this message have been removed]