Kalau tak salah, proses pengangkatan ketua MA di era GD dulu rada 
alot. Perannya sangat strategis dalam memenangkan operasi justisi 
antara kekuatan pro dan anti reformasi.

Kasus Bulog yang menyangkut bang Akbar bisa diselesaikan dengan 
cantik, lalu closing menawan dengan mempecundangi Time. Apakah suatu 
kebetulan bila peristiwa itu berbarengan dengan anugerah WB  kepada 
pencuri nomor satu di jagat itu?

Lalu gegeran BPK-MA yang yang tak sudi diaudit, apa pula kaitannya 
dengan distorsi memori publik? Kayaknya suatu exit strategi yang 
cantik.  Kalau tugas pokok sudah rampung, kemudian dilengserkan, maka 
yang melengserkan semakin mempesona...

DJP



--- In Forum-Pembaca-Kompas@yahoogroups.com, "Agus Hamonangan" 
<[EMAIL PROTECTED]> wrote:
>
> Oleh Effendi Gazali
> http://www.kompas.co.id/kompas-cetak/0709/25/opini/3866392.htm
> =======================
> 
> 
> Tentu tidak semua yang dilakukan Presiden Soeharto selama memerintah
> dan tidak semua yang dilakukan Mahkamah Agung adalah salah. Namun,
> keputusan kasasi MA yang memenangkan gugatan pencemaran nama baik
> mantan Presiden Soeharto terhadap majalah Time jelas menyalahi semua
> aspek teoretis dan empiris komunikasi publik.
> 
> Sedikitnya terdapat tujuh aspek ilmu komunikasi yang perlu terus
> dikaji sehubungan dengan kasus ini. Pertama, dalam hukum komunikasi
> publik, ratusan pakar—mulai dari yang klasik sampai Middleton (2007
> update edition)—selalu memerhatikan kepentingan publik serta
> keterlibatan publik.
> 
> Kedua, kepentingan publiklah alasan yang tak terbantahkan sepanjang
> zaman, yang membuat pers bisa melakukan laporan investigatif! Memang
> orang bisa berdebat bahwa kadar kepentingan publik berbeda-beda,
> sampai-sampai perkara artis kawin cerai dalam infotainment pun 
diklaim
> membawa-bawa kepentingan publik!
> 
> Namun, (ketiga), terhadap suatu obyek: pejabat publik, hampir semua
> hukum media di berbagai negara membebaskan pers untuk mempersoalkan
> mereka setiap saat sejauh menyangkut kepentingan publik.
> Konsekuensinya, semakin tinggi posisi pejabat publik, semakin sering
> dan semakin banyak media siap melakukan investigasi terhadapnya. 
Kalau
> dulu basis ilmunya cuma name makes news, sekarang sudah benar-benar
> paralel dengan konstruksi realitas bahwa setiap ulah pejabat publik
> pasti berimplikasi pada kepentingan publik. Bahkan konteksnya pun
> berkembang sedemikian rupa sehingga seorang pejabat publik yang
> dianggap melakukan kebohongan dan merugikan publik tidak hanya akan
> dicecar di negaranya, tetapi juga oleh media pada tataran global!
> 
> Bangunan reyot
> 
> Bagaimana memahami perkembangan mutakhir tersebut? Logikanya, karena
> para pejabat publik (apalagi yang berposisi tinggi) memiliki
> kekuasaan, kesempatan, dan jaringan politik untuk menutup akses pers
> serta mampu membangun pencitraan yang manipulatif. Jadi jika pers
> tidak di- perbolehkan (seakan) "menyeruduk ke kiri dan ke kanan" 
untuk
> mulai investigasi, ti- dak akan pernahlah terbongkar suatu tindakan
> korupsi atau pembohongan publik.
> 
> Analogi yang amat sering disodorkan dalam perkuliahan berupa pers 
yang
> melihat keanehan dari suatu bangunan yang oleh pemiliknya tak boleh
> dimasuki wartawan. Dari beberapa sumber, termasuk karyawan yang
> bekerja di dalam gedung, wartawan mendengar bahwa kondisi bangunan
> sangat reyot dan sewaktu-waktu bisa roboh. Setelah melakukan studi
> kawasan dan wawancara dengan pakar walau tetap tidak diberi akses
> melihat langsung bangunan tersebut ataupun akses wawancara oleh
> pemiliknya, para wartawan akan segera menulis, "Awas bangunan itu
> berbahaya bagi publik!" Dalam hal ini tidak diperlukan bukti bahwa
> gedung itu harus roboh dulu barulah insan pers bisa mengangkatnya
> sebagai berita. Dan ketika apa yang ditulis oleh pers pun ternyata
> tidak terbukti sepenuhnya demikian, sejauh semua tata kerja dan kode
> etik jurnalistik telah mereka lakukan, akan tetap diyakini bahwa
> kepentingan publik masih jauh lebih penting di atas potensi 
kemarahan
> pemilik bangunan tadi.
> 
> Keempat, persinggungan hukum media dan komunikasi publik, baik di
> tingkat teoretis maupun empiris kontemporer, semakin mengkristal
> menyikapi perkara korupsi dan penyalahgunaan uang negara sebagai
> "perbuatan ternista" yang harus selalu ditembus, dikorek-korek, dan
> dikeroyok oleh insan pers. Berbagai survei terhadap wartawan di 
aneka
> negara menunjukkan bahwa mereka beranggapan salah satu panggilan 
tugas
> utamanya adalah menjadi pengawas pemerintahan (agar terbebas dari
> tindakan koruptif dan pembohongan publik).
> 
> Kelima, dengan dibentuknya hukum- hukum media di hampir semua 
negara,
> baik sebagai lex specialis maupun terkait dengan produk hukum lain,
> semakin didorong suatu upaya mediasi oleh badan pengatur independen.
> Umumnya perkara dengan pers tidak berlanjut ke pengadilan jika badan
> pengatur independen di bidang media telah menyatakan bahwa apa yang
> dilakukan sudah memenuhi tata kerja dan kode etik jurnalistik.
> Kalaupun si penggugat ngotot ke pengadilan, hakim-hakim umumnya akan
> menggunakan, pertama-tama dan terutama, opini badan pengatur
> independen tersebut!
> 
> Sayangnya, Indonesia tidak bisa menjadi contoh yang baik dalam soal
> ini. Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) pada tataran empirisnya belum
> benar-benar menjadi badan pengatur, sementara Dewan Pers belum
> dinyatakan berada dalam posisi tersebut oleh perundangan kita.
> 
> Rindu Soeharto?
> 
> Keenam, teori-teori ilmu komunikasi dan penampilan media tidak 
pernah
> tercerabut dari konteks terkini masyarakatnya (Can we theorize the
> press without theorizing the public?, Eliasoph, Political
> Communication, 2004). Dengan keenam aspek di atas, sudah pasti 
muncul
> pertanyaan: apakah MA hidup sendiri, terisolasi, dan merupakan
> tokoh-tokoh yang luput dari teori, analisis, ataupun praktik ilmu
> komunikasi?
> 
> Sampai saat ini, termasuk dalam serangkaian artikel opini yang 
dikirim
> ke Kompas, para penulisnya terkesan putus asa untuk menemukan
> rasionalitas di balik keputusan MA terhadap Time; yang sebenarnya 
tak
> lain adalah pertanyaan terhadap keenam aspek di atas: (1) apakah MA
> tak melihat sama sekali terdapatnya kepentingan publik di balik 
upaya
> pengungkapan laporan investigatif Time?; (2) apakah kepedulian pers
> terhadap kesewenangan pejabat publik—mantan presiden Soeharto—yang
> bahkan telah sampai ke tataran global tidak mengusik hati MA (sama
> seperti hati dunia terusik dengan kebohongan Bush soal alasannya
> menyerang Irak)?; (3) apakah bisa dibuat dikotomi bahwa pers semakin
> menganggap korupsi sebagai tindakan ternista, sementara MA
> sebaliknya?; (4) apakah MA merasa mampu mengadili sepenuhnya perkara
> terhadap pers tanpa mendengarkan pendapat Dewan Pers atau 
pertimbangan
> lain pada tingkat pengadilan negeri (PN) dan pengadilan tinggi (PT)?
> 
> Aspek ketujuh justru muncul sesudah rentetan pertanyaan itu. Apakah 
MA
> gagah berani menantang keprihatinan internasional karena yakin bahwa
> sebagian (atau malah sebagian besar) publik di dalam negeri
> akan—secara diam-diam atau terbuka—membela MA? Katakanlah karena
> Gerakan Rindu Soeharto semakin menguat? Juga karena menguatnya
> nasionalisme sempit bahwa membela Time berarti membela kepentingan
> asing? Atau karena berbeda dengan Filipina, Korea Selatan, Peru, dan
> sejumlah negara lain yang berani menghukum mantan presidennya, di
> negeri ini MA malah yakin tidak akan pernah ada pemimpin 
pemerintahan
> yang sungguh-sungguh mengadili para pendahulunya yang korup, 
sekalipun
> terwahid di dunia?
> 
> Jika ya, mungkin kita akan menyaksikan logika komunikasi publik dan
> kebebasan pers yang "menanti ajalnya" gara-gara MA. Jika tidak, MA
> yang justru mengalaminya (menanti ajal) karena legitimasinya yang
> makin tergerus oleh opini publik karena citranya yang buruk dan
> mengesankan ia merupakan lembaga yang tak tersentuh (the 
untouchable),
> seperti yang ditulis rekan Rocky Gerung kemarin. Silang pendapat 
Ketua
> MA versus Kepala Badan Pemeriksa Keuangan—sebelum dimediasi
> istana—menguatkan kesan tersebut.
> 
> Effendi Gazali Koordinator Program Master Komunikasi Politik UI
>


Kirim email ke