GUGATAN MAHASISWA DI PTUN: 
  BONGKAR KEDOK OTORITER DAN PERSELINGKUHAN ITS
   
  SIARAN PERS, 25 SEPTEMBER 2007
   
  Perjalanan panjang gugatan 3 mahasiswa ITS, Tomy Dwinta Ginting, Benny 
Ihwani, dan Yuliani, di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Surabaya terhadap 
kesewenang-wenangan Rektor ITS yang menjatuhkan sanksi skorsing selama 2 
semester pasca melakukan aksi Seminar Jalanan: Menggugat Perselingkuhan 
Pemerintah – Pemodal (Lapindo) – Kampus Dalam Kasus Semburan Lumpur Lapindo, 
telah memasuki babak akhir. Dimana pada hari Selasa, 25 September 2007 
merupakan sidang terakhir dengan agenda pembacaan keputusan oleh hakim. 
Akhirnya tepat pukul 10.00 WIB di PTUN Surabaya hakim memutuskan jika gugatan 
mahasiswa dinyatakan kalah atau tidak diterima.
   
  Jika mereview perjalanan gugatan yang diajukan sejak 6 Juni 2007. Dapat 
dilihat bahwa pertama dalam proses pemberian sanksi ternyata Rektor ITS tidak 
tahu dasarnya. Mantan Pembantu Rektor III, Achmad Jazidie, yang didatangkan ke 
persidangan terbukti tidak mampu menunjukkan dasar hukum penjatuhan sanksi 
skorsing terhadap 3 mahasiswa ini. Dia mengungkapkan bahwa apa yang 
dilakukannya adalah hanya berdasar kebiasaan. Sungguh aneh kampus yang 
seharusnya ilimiah kok mendasarkan keputusannya hanya berdasar kebiasaan.
   
  Kedua Rektor ITS jelas-jelas melanggar asas persamaan dan tidak cermat. 
Dimana sanksi skorsing hanya dijatuhkan pada 3 orang, padahal peserta aksi 
lebih dari 20 orang. Keputusan ini bisa jadi hanya subyektifitas salah seorang 
pejabat rektorat. Seperti halnya yang diungkapkan oleh Ketua Tim Penyelesaian 
Pelanggaran (TPP), Taslim Ersam, pada saat beliau menjadi saksi. Beliau 
menyatakan jika TPP hanya menerima “barang jadi” dari Pembantu Rektor III saat 
itu, yaitu Achmad Jazidie. Ketiga, dalam proses persidangan pihak Rektor ITS 
tidak mampu membuktikan 14 tuduhan sebagaimana tertuang dalam SK-nya. Artinya 
14 tuduhan tersebut hanya mengada-ada. 
   
  Patut diketahui oleh ITS maupun publik bahwa mahasiswa menggugat Rektor ITS 
ke PTUN bukanlah perkara menang atau kalah. Karena yang terpenting bagi 
mahasiswa, pengajuan gugatan ini telah membongkar kedok ITS yang otoriter. 
Dimana kampus seharusnya merupakan tempat yang paling demokratis, ternyata ITS 
justru memberangus kebebasan dan kekritisan mahasiswa. 
   
  Sekali lagi bukan perkara menang atau kalah. Kampus yang seharusnya berpihak 
pada rakyat. Dalam kasus ini, justru menguatkan jika ITS memang telah 
berselingkuh dengan para pemodal, khususnya dalam kasus semburan lumpur Lapindo.
   
  Maka apapun keputusan hakim, mahasiswalah pemenangnya. Mudah-mudahan kasus 
ini menjadi pelajaran berharga bagi ITS dan kampus-kampus lain di Indonesia 
agar tidak sewenang-wenang baik terhadap mahasiswa, dosen, karyawan. Terlebih 
mengkhianati rakyat dengan menggunakan kapasitasnya hanya untuk meligitimasi 
kejahatan korporasi.
   
  Perjuangan tidak selesai sampai di sini. Kami mengajak seluruh mahasiswa dan 
seluruh elemen masyarakat di Indonesia untuk bergandengan tangan menolak 
komersialisasi pendidikan. Pendidkan adalah hak dasar rakyat. RUU BHP adalah 
wujud pendidikan kita akan dikomersilkan. Maka mari bersama-sama teriakkan 
TOLAK RUU BHP!!! 
   
   
  Contact Person:
  Yuliani (085648027407)
  Tomy Dwinta Ginting (08563059408)
  Benny Ihwani (085664422544)
   
  
 Send instant messages to your online friends http://uk.messenger.yahoo.com 

[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke