Stratifikasi Bahasa
Oleh ANTON

Ada keunikan bahasa dalam wilayah psikologis manusia, bahasa selain 
sebagai alat komunikasi- informasi, juga bisa sebagai alat yang 
menciptakan jenjang perbedaan antara pandangan manusia terhadap 
manusia lainnya berdasarkan wilayah ilmu pengetahuan, agama, politik 
dan kekuasaan.

Dulu di Eropa pada  abad pertengahan bahasa untuk filsafat dan agama 
adalah bahasa latin, bahasa latin dianggap sebagai bahasa 
intelektual, bahasa milik elite tertentu saja, rakyat jelata yang 
menggunakan bahasa-bahasa ibu (Eropa lainnya) mereka jika tidak 
menguasai bahasa latin dianggap orang yang tidak terdidik, sampai 
kini definisi-definisi tertentu dalam cabang ilmu pengetahuan 
seperti kesehatan dan biologi menggunakan bahasa latin. Bahasa latin 
memiliki perspektif elite-nya sampai pada ketika Rene Descartes 
merilis buku yang berjudul "discourse de la methode" (diskursus atas 
metafisika) ke dalam bahasa Perancis, hal ini menimbulkan protes 
oleh kaum akademisi karena mereka menganggap Descartes membuat 
sebuah filsafat yang dapat dibaca oleh anak-anak, ibu-ibu rumah 
tangga, petani-petani dan orang yang tidak terdidik lainnya. 
Karena pada saat itu bahasa perancis lebih dikenal sebagai bahasa 
kampungan, bahasa yang hanya digunakan oleh orang-orang yang tidak 
mengenal pendidikan, kemudian setelah berjalannya waktu lazim pula 
digunakan bahasa Perancis dalam tulisan-tulisan intelektual, maka 
bahasa Perancis mengalami transformasi stereotipe menjadi bahasa 
kaum intelektual, bahasa orang terdidik. Nah...pada saat itu bahasa 
di luar bahasa Perancis dan Latin, dianggap bahasa milik rakyat 
jelata, orang-orang elite dari Jerman misalnya menggunakan bahasa 
Perancis bila berbicara dengan yang dianggap tinggi derajatnya, 
saking rendah nilainya bahasa Jerman seorang ahli filsafat Perancis 
yang sangat membenci feodalisme dan kerap menggunakan satir dalam 
kritik-kritik sosialnya Voltaire, mengejek bangsawan Jerman, bahwa 
mereka bicara bahasa Jerman bila dengan prajurit dan kuda!!..kini 
setelah orang-orang jelata Jerman maju secara intelektual, maka  
bahasa Jerman dianggap bahasa teknologi dan bahasa yang dimuliakan 
oleh kaum terdidik.

Bahasa dalam agama juga mengandung perspektif yang bisa digali 
dengan segala problemanya, adalah sebuah gagasan jenius dari 
keyakinan penerus Nabi Muhammad bahwa kitab suci tidak boleh di alih 
bahasakan ke dalam bahasa lain di luar bahasa Arab-Quraisy, mereka 
mempertimbangkan bahwa adanya indikasi bahwa perbedaan bahasa dapat 
membuat seribu penafsiran, apalagi dalam bahasa Arab-Quraisy, 
sebagaimana rumpun bahasa semit lainnya, banyak mengandung tafsir 
bila diucapkan dalam tekanan yang berbeda sedikit saja. Namun pada 
perkembangannya di Indonesia, misalnya adanya penekanan unsur bahasa 
Arab sebagai pintu pembuka untuk memahami Islam, sering hanya 
berhenti pada bisa membaca tanpa tahu artinya, ini sama saja seperti 
seorang anak australia (misalnya) yang belajar bahasa Indonesia bisa 
membaca bahasa Indonesia tanpa tahu artinya. Fenomena ini justru 
memunculkan sebuah anggapan kalimat-kalimat yang berbunyi bahasa 
arab dianggap sebagai do'a, ada sebuah adegan menarik dalam salah 
satu episode "Bajaj Bajuri" dimana Sa'id (tetangga Bajuri, keturunan 
Arab) menghadiri sebuah upacara/selametan rumah baru di rumah Mpok 
Minah, kebetulan si Sa'id datang bersama pamannya dari Arab yang 
tidak begitu lancar berbahasa Indonesia, saat si Sa'id bicara dengan 
pamannya dalam bahasa Arab, para undangan yang datang menganggap 
pamannya Sa'id sedang berdo'a, maka mereka mengucapkan "amin..amin" 
setiap penggal ucapan pamannya si Sa'id, disinilah kemudian timbul 
kelucuan, dan bila kita pikirkan maka ada semacam gap antara 
pemahaman terhadap unsur-unsur bunyi dalam bahasa yang menimbulkan 
penafsiran tertentu.

Bahasa dalam politik dan kekuasaan juga mempunyai kaitan yang erat, 
di Indonesia sejak masih jaman Hindia Belanda, bahasa Belanda tidak 
boleh digunakan oleh rakyat jelata, inilah sebabnya kenapa bahasa 
belanda tidak menjadi bahasa yang menimbulkan jejaknya setelah 
Indonesia merdeka, tujuan pemerintahan Batavia pada waktu itu adalah 
agar tercipta jarak yang jelas antara orang yang berkuasa dan yang 
tidak, sehingga ketika orang mendengar bunyi bahasa Belanda maka 
akan dirasakan aura kekuasaannya. Begitu pula ketika Orde Baru 
berkuasa, bahasa di gunakan sebagai alat yang paling efektif dalam 
mengelola kekuasaannya. Pertama-tama di tahun 1972, pemerintahan 
Orde Baru menciptakan suatu sistem ejaan yang disempurnakan (EYD), 
dalam perspektif politis penggunaan ejaan ini bisa dilihat Orde Baru 
ingin melepaskan diri dari belenggu masa lalu (era Sukarno), 
Pemerintahan Suharto ingin secara psikologis-bahasa menciptakan 
persepsi bahwa era/jamannya lebih baik dan seakan-akan 
ada `Umwertung alle warte' atau pemutusan terhadap semua hal dimasa 
lalu. Kemudian Orde Baru menciptakan bahasa-bahasa dengan unsur 
menakuti-nakuti, hal yang paling spektakuler adalah penggunaan kata 
PKI sebagai bentuk hadirnya kekuasaan di dalam masyarakat walau 
hanya dalam segi bahasa saja. Ada anekdot yang di tulis dalam buku 
Daniel Dhakidae tentang Negara Orde Baru : 
" ada seorang copet dikejar-kejar oleh hansip dan masyarakat, copet 
itu berlari kencang sekali, diteriaki maling, anjing, berhenti 
lu...si copet terus berlari dengan cepat, tapi sang hansip tidak 
kehabisan akal, dia meneriaki copet itu ...PKI...PKI...PKI...jangan 
lari lu...PKI, dan kontan copet itu berhenti, lalu menunduk dan 
berteriak bahwa dia bukan PKI"..Kata-kata PKI bagi si copet (dan 
sebagian besar kita) dalam wilayah psikologis lebih bermakna kejam, 
jahanam, tak bertuhan bahkan lebih sadis dari perampok paling 
bengis. Nah disinilah kekuasaan mengambil peranan dalam pemaknaan 
bahasa.

ANTON  

Visit My Blog :
http://anton-djakarta.blogspot.com



Kirim email ke