Oleh Frans Sartono dan Susi Ivvaty
http://www.kompas.com/kompas-cetak/0711/25/urban/4017525.htm
=====================


Siapa bilang keroncong bikin kantuk? "Keroncong itu menenangkan jiwa,
mendamaikan," kata Tuti Maryati, penyanyi keroncong yang dulu populer
dengan nama Tuti Tri Sedya. Dengan keroncong, Tuti menyanyikan
peristiwa kehidupan.

Suatu siang di rumahnya yang teduh di bilangan Cinere, di selatan
Jakarta, Tuti melantunkan Stambul Terkenang. Begini potongan liriknya:
"Terkenang kasih mesra, senyum simpul kekasihku/ Di waktu dulu
menyinarkan cahaya terang di hatiku...." Merdu suaranya.

Tetapi, kok lagu-lagu putus cinta?

"Lagu patah hati itu selalu enak dinyanyikan. Jangan heran kalau aku
patah hati terus. Ha-ha…," seloroh Tuti yang juga menyukai lagu
bertema putus cinta Saputangan gubahan Gesang sampai Patah Hati karya
Budiman BJ.

"Tetapi, mungkin aku jatuh cinta kepada orang yang salah," tambah
Tuti, ibu tiga anak yang sejak dua tahun lalu menjanda.

"Anak-anak bilang, 'Mama menikah lagi saja'. Tetapi, aku belum ketemu
orangnya. Aku percaya setiap manusia itu punya soulmate, belahan jiwa.
Orang Jawa bilang tumbu oleh tutup—bakul dapat tutup. Lha, tutupnya
itu yang belum ketemu. Ah, daripada dapat tutup yang enggak-enggak, kan."

Keroncong menjadi bagian hari-hari Tuti. Lagu-lagu dalam keroncong
banyak yang mewakili babak-babak pengalaman hidupnya, termasuk Stambul
Terkenang tadi. Ia mengisahkan kehidupan dengan tiga anak yang sudah
dewasa dan memberi seorang cucu berusia lima bulan. Keroncong telah
mengajari perempuan kelahiran Makassar, 8 Oktober 1956, ini bersikap
tenang dan sabar menempuh hidup.

Akan tetapi, betapapun getirnya pengalaman hidup itu, Tuti tidak
pernah mengekspresikannya dalam sikap bernyanyi yang mengiba-iba atau
terisak-isak dalam tangis. Bagaimanapun, keroncong tetap harus membawa
rasa ayem tenteram dan damai.

"Keroncong itu tidak bisa meledak-ledak seperti musik rock. Jiwa
keroncong itu halus dan sabar. Lagu sesedih apa pun, menyanyinya tak
perlu sesenggukan, terisak-isak. Kami ekspresikan itu lewat lagu dan
mungkin juga wajah. Lagian, kalau sesenggukan kan enggak bisa menyanyi
he-he...."

Pernah suatu kali dalam pembuatan video, Tuti menyanyikan Stambul
Kecewa. Sutradara meminta Tuti meneteskan obat tetes mata agar
terkesan sedang menangis. Tuti menolak karena dengan memejamkan mata
dan mengingat pengelaman hidup ia bisa menangis. "Saya lalu menyanyi
dengan menangis sungguhan."

Meski begitu, diingatkan Tuti, keroncong tidak hanya bicara soal patah
hati. Keroncong juga membawa semangat cinta tanah air, optimisme, dan
gairah hidup.

"Gebyar Keroncong"

Seperti keroncong yang tenang, kira-kira seperti itu pula pembawaan
Tuti. Coba saja simak penampilan Tuti di acara Gebyar Keroncong yang
ditayangkan TVRI setiap Senin pukul 21.30 selepas Dunia Dalam Berita.
Tuti yang menjadi pembawa acara, penyanyi, dan koordinator acara
dengan ramah dan sabar menyapa pemirsa.

Pada tayangan Senin (19/11) malam ia tampak luwes mengenakan kain
batik dan kebaya biru, dengan rambut bersanggul. Ia melantunkan lagu
Bersenandung dan Balada Pelaut . Malam itu tampil bintang tamu
penyanyi serba bisa, Victor Hutabarat dan Dorce.

"Keroncong itu kuncinya di kelembutan. Itu mungkin yang membuat orang
bilang keroncong bikin kantuk. Yang benar keroncong itu menenangkan
jiwa," katanya serius.

"Kalau jiwa tenang, hati damai, kita denger sambil duduk nyender di
sofa lalu ngantuk. Orang bisa tidur itu kan berarti hatinya damai
he-he...," tambah Tuti, kali ini dengan nada berseloroh.

"Sebenarnya yang bikin kantuk itu packaging, cara pengemasan tampilan
keroncong. Saya ingin tunjukkan bahwa keroncong itu tak bikin
ngantuk," kata Tuti yang belakangan menjadi koordinator acara Gebyar
Keroncong yang sebelumnya dibawakan Sundari Soekotjo.

Untuk itu, penyanyi keroncong, kata Tuti, misalnya, tak harus berdiri
mematung kaku. Komunikasi dengan penonton tidak harus formal, tetapi
tetap santun, ramah, dan akrab. Kemasan musik juga terbuka untuk
penyegaran. Dalam Gebyar Keroncong, misalnya, musisi muda dari
Himpunan Artis Keroncong Indonesia (Hamkri) pimpinan Sukardi bermain
dengan gaya progresif.

"Intro dan koda bisa dibuat progresif. Tetapi, pokok komposisi tetap
keroncong asli. Jadi, tak jauh dari pakem," kata Tuti tentang kiat
membuat keroncong tetap segar di mata pemirsa televisi.

Mengurus acara keroncong di televisi kini menjadi bagian dari
kesibukan Tuti. Musisi dari Hamkri berlatih di garasi rumahnya yang
sehari-hari ditongkrongi tak kurang dari tiga mobil.

"Keroncong kalau tidak di-openi (dirawat) ya tidak jalan. Kami ini
empat serangkai ibu-ibu bahu-membahu ngopeni keroncong. Saya, Mamik
Marsudi, Ida Zuraida, dan Tetty Supangat bagi-bagi tugas. Kami semua
dengan musisi muda itu sudah seperti satu keluarga," tutur Tuti
tentang keguyuban seniman keroncong.

Tenis

Di luar urusan ngopeni keroncong, Tuti sabar dan tekun merawat diri
dan keluarga. Selasa pagi saat dihubungi melalui telepon, ia masih
berpeluh keringat seusai bermain tenis di sekitar Cinere. Padahal,
Senin malam hingga jauh malam ia tampil di TVRI. "Saya tak takut panas
matahari. Kulit memang jadi item, tetapi yang lebih penting kan
sehatnya," kata Tuti yang cukup bermain tenis 2-4 set tiga kali seminggu.

Sejak pertengahan tahun 2006 Tuti juga kembali ke bangku kuliah. Tuti
yang tercatat sebagai lulusan terbaik program ekstension ASMI tahun
1977 itu kini kuliah lagi di Fakultas Hukum UPN Veteran, Jakarta.

"Tadinya saya hanya ingin mengisi kekosongan daripada ngalamun," kata
Tuti yang di bangku SMA Negeri 9 Bandung pernah mengikuti program
pertukaran pemuda Indonesia-Kanada.

Tuti kini adalah nenek dari seorang cucu. Bulan Oktober lalu ia
menggelar hajat mantu, pesta pernikahan putri ketiganya, Romandina
Patrianingrum. Katanya, ia ingin punya banyak cucu.

"Menimang cucu itu kebahagiaan tiada tara. Cucu membuat saya lupa
kesedihan dan membuat saya tak mikir yang sudah-susah. Bawaannya
happy," kata Tuti tentang keroncong kehidupan lain yang tak bicara
soal patah hati. 

Kirim email ke