Oleh ANDREAS MARYOTO
http://www.kompas.com/kompas-cetak/0712/14/humaniora/4079692.htm
==========================

Bila kita berkunjung ke rumah orang Jawa, jangan kaget kalau di ruang
makan bisa ditemukan sepeda motor, jemuran baju, dan juga tumpukan
gabah. Secara umum, konsep ruang makan tidak ada di kalangan orang
Jawa. Arsitektur rumah lama di Jawa tidak menyediakan tempat khusus
untuk ruang makan. Ruang tamu, ruang untuk makan, dan ruang untuk
keluarga bercampur.

Kultur agraris memperlihatkan makan pagi dilaksanakan di sawah atau
ladang. Para petani harus sudah keluar dari rumah sebelum matahari
menyengat. Akibatnya, mereka tidak bisa makan pagi di rumah.
Setidaknya pengamatan Thomas Stamford Raffles dalam History of Java
(1817) juga menyebutkan hal seperti itu. Bahkan pengamatan Augusta de
Wit yang datang pada 1890-an dalam Java: Facts and Fancies
menyebutkan, orang Jawa makan pagi di sungai setelah mandi.

Ahli kebudayaan Jawa dari Universitas Negeri Semarang, Teguh
Supriyanto, mengatakan, orang Jawa memang tidak mengenal ruang makan.
Kebiasaan agraris menjadikan orang Jawa tidak memerlukan ruang makan
secara khusus. Makan siang pun kadang dilakukan di sawah.

Kebiasaan makan di sawah atau kebun mengakibatkan sikap tubuh saat
makan di rumah pun persis seperti di sawah. Duduk dengan jegang (kaki
naik), duduk bersila, sambil makan tanpa sendok mudah terlihat, bahkan
hingga sekarang sekalipun.

Rumah tanpa ruang makan ini masih bisa ditemui di beberapa tempat
seperti di Kabupaten Bantul, DI Yogyakarta. Arsitektur rumah tidak
menyediakan ruang makan secara khusus. Bahkan, meja untuk menaruh
makanan pun kadang tidak ada. Keluarga yang mau mengambil nasi ataupun
sayur dan lauk mengambil langsung di dapur. Setelah itu, mereka makan
di sembarang tempat.

Pergeseran mulai terjadi di keluarga-keluarga yang tinggal di kota
kecamatan. Mereka sudah mulai memiliki ruang makan tetapi masih
bercampur dengan dapur. Kedua ruangan ini tidak ada sekatnya. Mereka
masih menaruh berbagai benda, seperti sepeda motor, jemuran pakaian,
dan gabah, di ruangan itu. Keadaan ini bisa ditemukan di sebuah
keluarga di Kecamatan Ponjong, Kabupaten Gunung Kidul, Yogyakarta.

Makanan kadang tersedia di meja makan, tetapi ini pun dilakukan bila
ada tamu. Bila tidak ada tamu, anggota keluarga tetap saja mengambil
makanan langsung dari perapian atau dapur. Setelah itu, mereka tetap
saja makan di sembarang tempat, mulai dari ruang tamu hingga dapur.
Posisi badan bisa duduk di kursi, amben, dan lantai.

Bila ada tamu, kadang mereka menemani makan. Namun tidak sedikit si
empunya rumah tidak menemani makan para tamu. Bagi para tamu yang
terbiasa dengan kehangatan di meja makan, hal ini kadang membuat
canggung. Bagaimana mungkin saat tamu makan tetapi tuan rumah malah
tidak makan? Bagi orang Jawa sendiri, hal ini untuk menghormati
tetamunya, tetapi belum tentu diterima oleh tamunya. Masih lumayan
tuan rumah mau menemani sambil mengobrol meski dia tidak makan.

Berikutnya kita bisa menemukan rumah yang memiliki ruang makan yang
tidak tergabung dengan dapur. Akan tetapi, ruang makan ini seadanya
saja. Ada meja makan dan ditata layaknya ruang untuk makan. Meja hanya
berfungsi untuk meletakkan makanan. Berbagai peralatan ada di meja
makan, tetapi terkesan seadanya.

Ruang makan berikutnya berada di keluarga yang secara serius merancang
ruang makan ketika rumahnya dibangun. Di ruang makan terdapat berbagai
peralatan dan dilengkapi berbagai atribut, seperti telapak meja dan
satu set alat makan. Alat makan seperti garpu sudah digunakan setiap
kali makan.

Di kota besar, ruang makan kadang terbuka dan tanpa sekat dengan dapur
dan ruang tamu. Mereka yang duduk di ruang tamu bisa melihat meja
makan dan isinya. Perubahan ini sangat mungkin terkait dengan minimnya
tanah, tetapi bisa juga karena perubahan gaya hidup. Mereka makin
terbuka. Di sisi lain mereka ingin menampilkan gaya hidup terbaru.
Mereka ingin menunjukkan pilihan desain ruangan dan menu makanan yang
sesuai dengan gaya yang paling baru. Identitas mereka juga ingin
ditunjukkan melalui penataan ruang makan.

Meski banyak orang Jawa telah memiliki ruang makan dan mengetahui tata
sopan santun makan, tetap saja sikap-sikap orang agraris masih
melekat. Meski mereka makan di meja makan dengan berbagai peralatan,
tetap saja ada kerinduan untuk makan di tempat yang "bebas" seperti
warung kaki lima. Mereka juga kadang ingin makan dengan tangan
langsung alias tanpa sendok. Mereka juga mengunjungi rumah makan
tradisional yang kadang tak memerlukan sikap badan yang penuh dengan
sopan santun.

Masih melekatnya sifat-sifat agraris dalam hal makan dan pemahaman
keberadaan ruang makan hingga sekarang sebenarnya merupakan perjalanan
panjang orang Jawa dari sekadar makan untuk mengisi perut hingga
mereka mengenal tata cara makan dan ruang makan.

Pengenalan itu hingga sekarang belum selesai. Sikap-sikap tubuh dalam
makan masih saja menunjukkan kebiasaan makan masyarakat agraris. Tidak
sedikit yang merasa ruang makan juga masih terasa asing. Ruang makan
masih dianggap pelengkap sebuah rumah atau sekadar ruangan yang
bermeja untuk menaruh makanan.

Pengenalan orang Jawa mengenai konsep ruang makan sangat mungkin
terkait dengan keberadaan orang Belanda di Nusantara.
Keluarga-keluarga Belanda mempekerjakan penduduk setempat untuk
menjadi pembantu. Para pembantu inilah kemudian mengenal berbagai
jenis makanan orang Belanda, tata cara makan, dan ruang makan.

Akan tetapi, pengenalan yang lebih masif terjadi sekitar abad ke-19
saat Belanda memberi kesempatan bagi penduduk untuk mulai masuk dalam
sejumlah kehidupan orang Belanda, seperti menjadi pejabat dan
kesempatan bersekolah. Analisa pengenalan kebudayaan Belanda ini
setidaknya terdapat dalam buku Dutch Culture Overseas karya Frances
Gouda. Penduduk pribumi kemudian mengenal gaya hidup orang Belanda.
Pola-pola peniruan gaya hidup ini merasuk hingga soal kebutuhan ruang
makan dan juga menu yang ditampilkan.

"Konsep ruang makan dan tata cara makan memang dipengaruhi oleh
Belanda," kata Teguh. Sejak saat itu, orang Jawa mengenal ruang makan.
Meski demikian, orang Jawa tetap tidak mudah untuk akrab dengan ruang
makan. Di keluarga modern pun kadang kaki bisa diangkat ke kursi saat
makan. Ruang makan masih menjadi ruangan yang asing bagi orang Jawa.



Kirim email ke