Minggu, 27 April 2008 Sebuah Kontroversi dari Abu Ghraib Nara sumber dibayar agar mau 'berkicau'.
Errol Morris adalah nama besar untuk film-film dokumenter. Pria berusia 60 tahun itu sempat menyabet penghargaan Oscar untuk karyanya yang berjudul The Fog of War: Eleven Lessons From the Life of Robert S. McNamara. Morris terkenal sebagai seorang pewawancara cermat yang bekerja dengan perangkat khusus, Interrotron, yang memungkinkan orang yang diwawancara melihat langsung ke arah Morris, tidak ke kamera, ketika pengambilan gambar berlangsung. Akan tetapi, dalam film dokumenter terbarunya, Standard Operating Procedure, yang berkisah tentang skandal penganiayaan tahanan di sana, Morris mendapat perlakuan berbeda. Dia menjadi bahan pembicaraan hangat di kalangan sineas dan jurnalis lantaran menempuh prosedur lain untuk menuntaskan filmnya kali ini, yaitu dengan cara membayar orang yang akan diwawancara. Cerita ini muncul setelah sebuah situs andthewinneris. com mengungkap pengakuan Morris di awal filmnya saat penayangan perdana bahwa dia membayar beberapa nara sumber untuk wawancara. Morris mengaku, sejumlah tentara berpangkat rendah yang dituding menganiaya tahanan di Abu Ghraib, Irak, mendapat bayaran untuk menceritakan peristiwa yang terjadi dalam penjara itu secara detail dan mendeskripsikan suasana kisruh yang memicu terjadinya aksi kekerasan itu. ''Saya membayar karena mereka memang minta dibayar. Kalau tidak, mereka tidak mau diwawancara, '' ungkap Morris dalam sebuah pernyataan. Dalam wawancara singkat setelah penayangan perdana film itu di Tribeca Film Festival, Manhattan, belum lama ini, Morris enggan menyebutkan nama tentara yang dibayar dan berapa besarnya. Untuk membela tindakannya, Morris hanya berkata,''Tanpa wawancara ekstensif, tak akan ada yang tahu cerita mereka.'' Belakangan, Morris sendiri masih ragu apakah soal pembayaran itu juga harus diungkap dalam filmnya. ''Mungkin saja perlu. Namun, saya tidak melihat pentingnya ini. Saya juga tidak mengungkap bahwa Stephen Hawking dibayar untuk muncul dalam film A Brief History of Time dan demi hak cipta bukunya,'' kata Morris. Dalam Standard Operating Procedure, Morris menekankan bahwa gambar-gambar mengerikan yang membuat Abu Ghraib masuk dalam pemberitaan dunia --termasuk tindakan terhadap tahanan yang diikat seperti binatang atau seorang tentara wanita yang berpose di atas tubuh tahanan yang dianiaya hingga tewas-- tidak mengungkap seluruh cerita. Berseberangan Tak urung, topik ini menghangat dan memicu reaksi di kalangan sineas film dokumenter di mana nilai-nilai show business telah dikenal berseberangan dengan standar kuat jurnalisme. Ada yang menyebutkan bahwa nara sumber film dokumenter telah biasa mendapat bayaran. Bahkan, dengan cara seperti ini, para sineas dokumenter mampu mengangkat orang-orang yang penderitaannya bisa bernilai komersial. Untuk kasus Morris kali ini, soal pembayaran itu bergema hingga pada urusan dunia media cetak di mana kompensasi uang untuk wawancara terbilang tabu. Ini lantaran terbit pula sebuah buku yang terkait dengan peluncuran film tersebut. Morris dan Philip Gourevitch dijadwalkan akan meluncurkan buku yang diterbitkan oleh Penguin Press pada 15 Mei mendatang. ''Sesungguhnya, untuk saya, ini sama sekali bukan isu,'' kata Gourevitch, editor The Paris Review dan staf penulis The New Yorker. Bagi dia, materi yang ada tetap solid. ''Bagaimana cara materi ini dikumpulkan tidak terpengaruh dengan validitas data,'' ujarnya. Diane Weyermann, executive vice president Participant Productions, yang mendanai Standard Operating Procedure sekaligus produser dari film dokumenter An Inconvenient Truth dan Jimmy Carter Man From Plains, punya pendapat sendiri. ''Tak semuanya tak lazim. Hanya, ini bukan sesuatu yang menyenangkan untuk dibicarakan, '' ujar Weyermann. ''Terkadang, kita membayar orang-orang yang tidak punya apa-apa. Anda membuat film tentang mereka dan Anda tidak mau mengeksploitasi mereka,'' ujar Weyermann. Namun, pihak media massa punya pendapat lain. Surat kabar, majalah, dan divisi berita Amerika tidak membayar sesuatu saat melakukan wawancara. Ketegasan itu berdasar pada keyakinan bahwa kredibilitas orang yang diwawancara tak lagi kuat ketika uang bicara. Mereka bakal memberi jawaban yang mereka pikir bakal disukai pewawancara ketimbang mengungkap kebenaran. David Remnick, editor The New Yorker memastikan para penulisnya tak diizinkan membayar untuk melakukan wawancara. Bila ini terjadi, ''Kami akan menganggapnya tidak pernah ada. Dan, bila memang ada, kami tidak akan menerbitkannya, '' ujar Remnick. Remnick sendiri mengaku tidak tahu Morris membayar para sumbernya menyusul pemuatan buku Morris dalam sebuah tulisan di The New Yorker baru-baru ini. Sedangkan David L Paletz, profesor dan sutradara film, video, dan program digital dari Duke University, menilai praktik membayar nara sumber untuk wawancara ''sangat berbahaya.'' Katanya, ''Untuk saya, ini seharusnya tidak perlu dilakukan.''(nytimes) Satrio Arismunandar Executive Producer News Division, Trans TV, Lantai 3 Jl. Kapten P. Tendean Kav. 12 - 14 A, Jakarta 12790 Phone: 7917-7000, 7918-4544 ext. 4023, Fax: 79184558, 79184627 http://satrioarismunandar6.blogspot.com http://satrioarismunandar.multiply.com "Perjuangan seorang mukmin sejati tidak akan berhenti, kecuali kedua telapak kakinya telah menginjak pintu surga." (Imam Ahmad bin Hanbal) ____________________________________________________________________________________ Be a better friend, newshound, and know-it-all with Yahoo! Mobile. Try it now. http://mobile.yahoo.com/;_ylt=Ahu06i62sR8HDtDypao8Wcj9tAcJ [Non-text portions of this message have been removed]