Thanks, Boni. Ini membuat kita semua makin tersadar betapa kompleksnya kisah suatu kebenaran. Saya suka cara Martin menanggapi Salim Said. Martin memang layak disebut seorang penulis andal. manneke
Boni Triyana <[EMAIL PROTECTED]> wrote: Kawan-kawan yang budiman, Berikut saya sertakan tanggapan Martin Aleida terhadap komentar Salim Said. Sangat menarik! Selamat membaca. Tabik, Bonnie Triyana ---- Suara dari Kubur (Tanggapan untuk Salim Said) Salim Said telah memberikan tanggapan terhadap memoar saya. Tulisan itu saya susun untuk disumbangkan kepada upaya teman-teman yang ingin menerbitkan kumpulan tulisan serupa dari mereka yang pernah bekerja sebagai wartawan majalah berita mingguan TEMPO. Putu Wijaya, A. Dahana, Eka Budianta, Budiman S. Hartoyo, Toeti Kakiailatu dan beberapa lagi, sudah menyampaikan tulisan mereka. Tulisan saya, resensi untuk âWars Within,â tentang sepenggal sejarah TEMPO, yang ditulis Janet Steele, merupakan tulisan paling awal yang diterima teman-teman. Karena tulisan itu berbentuk resensi, maka saya tambahkan lagi, sekarang yang berbentuk memoar. Dalam sebuah pertemuan dengan teman-teman mantan TEMPO yang jadi motor rencana penerbitan itu, saya usulkan agar tanggapan Salim terhadap memoar saya dimuat saja. (Salim sendiri tidak mau memberikan sumbangannya. ) Dan teman-teman setuju. Saya pikir, cita-cita saya untuk menghargai perbedaan pendapat dengan begitu akan tercapai. Biarlah Salim menggunakan sebaik-baiknya kesempatan yang dia peroleh untuk meluruskan apa yang dia kira telah saya bengkokkan. Namun, perjalanan waktu menggoda saya untuk memberikan tanggapan atas tanggapannya itu. (Dan saya tidak berniat untuk memberikan tulisan ini kepada teman-teman yang sedang mempersiapkan kumpulan memoar orang-orang TEMPO tadi) Teman-teman muda, seperti Saut, Bonnie, Iqbal, Agustinus, dan beberapa lagi, yang adalah sastrawan dan wartawan, mendesak saya, âAbang seharusnya menjawab, supaya semuanya terang.â Generasi saya telah gagal menuliskan sejarah dengan jujur, karena stigma terhadap sesuatu fihak. Saya terpanggil untuk menyambut seruan teman-teman muda itu, mereka yang sehari-hari bergelut dengan saya. Dan inilah tanggapanku. Saya mulai dari soal-soal remeh temeh, untuk kemudian mengalir ke hal-hal yang substansial. Mungkin tertumpang emosi di sana-sini. Tapi, sejauh dia spontan saya kira malah akan memperkaya warna saya di depan teman-teman. âBanyak yang baru saya tahu tentang Martin dari tulisan ini. Baru sekaranglah saya tahu bahwa dia â¦. Martin pintar menyimpan rahasia, sehingga soal interogasi itu baru muncul bagi kami teman-temannya hampir 40 tahun kemudian,â begitu tulis Salim. Hahaha..! Saya tak percaya ini. Si Martin itu luarbiasa, hampir 40 tahun kemudian Salim (yang pernah menjadi atasan langsungnya di TEMPO) baru tahu siapa dia. Ini laki-laki edan, dia mengalahkan perempuan yang disusupkan komunis jadi sekretaris Willy Brandt. Ketika terbongkar, Kanselir itu pun jatuh dibuatnya. Cewek itu ketahuan tak sampai lima tahun kemudian. Martin 40 tahun! Euyâ¦! Apakah saya tidak bercerita siapa saya kepada Anda bisa dimahmilubkan, perlu ditangkap, dianggap sebagai penjahat setingkat kedurjanaan setan!? Wallahu alam. Salim baru tahu tentang saya, (apalah awak ini) walau tak secara lagsung dia katakan, setelah dia membaca âPretext For Mass Murderâ disertasi doktoral John Roosa (salah lagi, bukan Roose! seperti yang dituliskan Salim.) Menurut Salim nama saya muncul dalam buku itu di halaman 126, 173 dan 290. Salah!, 126, 173, 289n47. Yang nyata-nyata di depan mata saja Salim bisa salah. Bagaimana ini? (Untuk informasi bagi Salim, dalam edisi Indonesia buku itu âDalih Pembunuhan Massal,â namaku muncul di halaman 180, 198n47, 239-240.) Kabar yang menghibur adalah berita yang saya terima dari sebuah sumber primer. Katanya, John Roosa (hebatnya kawan yang berwajah mirip Richard Gere ini) menemukan tanggapan Salim tersebut di dunia maya, dan dia kabarnya tertawa terpingkal-pingkal membaca bahwa Salim baru tahu tentang Martin 40 tahun kemudian! Hihihihi⦠Tulis Salim selanjutnya: âYang saya tahu dulu adalah bahwa Martin itu anak muda, datang dari Medan, tidak tahu apa-apa dan lalu oleh temannya sesama anak Medan menampungnya di koran PKI, Harian Rakyat. Begitu cerita Goenawan Mohamad (GM) kepada saya dulu.â Saya ragu apakah kutipan ini benar-benar cerita GM. Tapi, ya mungkin saja, karena tahu orang yang dia hadapi adalah Salim, wartawan âAngkatan Bersenjataâ yang kecenderungan pikirannya tidak akan menjamin bahwa kalau Martin diceritakan sejujurnya siapa dia, apakah nyawanya akan selamat di tangan orang yang diajak bicara itu. Yang jelas, ketika saya melamar ke EKSPRES (atas anjuran Jufri Tanissan, staf EKSPRES, karena kasihan melihat saya nganggur. Dari Jufri kemudian saya dengar GM pernah tanya kepadanya di mana dia kenal dengan saya, sehingga merekomendasikan Martin untuk melamar ke EKSPRES?) saya mengatakan kepada GM bahwa saya adalah penulis beberapa cerita pendek yang dimuat âHorison.â Belakangan GM tahu bahwa saya pernah menjadi anggota redaksi majalah kebudayaan Zaman Baru, bersama Rivai Apin dan S. Anantaguna. Saya tak pernah secara spesifik menceritakan bahwa saya pernah bekerja di Harian Rakyat kepada GM. Saya masih ingat, ketika para tahanan politik dibebaskan dari Buru, GM meminta saya untuk mengundang Apin dan Boejoeng Saleh untuk datang menemuinya di TEMPO, dan saya laksanakan dengan baik. Merasa dihormati. GM tambah tahu mengenai saya dari perjalanan waktu. âPertanyaannya lalu, apakah GM tahu betul tentang Martin waktu itu sehingga berani mengambil risiko mempekerjakannya di TEMPO?â ulas Salim dengan menggunakan kalimat tanya? Ya, GM tahu betul bahwa saya bisa menulis. Dan saya masih ingat Siswadhi, kepala perpustakaan TEMPO, bekas wartawan majalah âJayaâ membocorkan hasil rapat redaksi, dengan mengatakan saya adalah reporter paling produktif dan âbaikâ dalam analisa para redaktur. Siswadhi sudah mengenal saya ketika saya bekerja sebagai wartawan Harian Rakyat. Salim kemudian berasumsi dengan pertanyaan bahwa GM tahu tentang Martin âtapi dengan sadar mempekerjakan Martin sebagai perlawanan GM kepada (Mas Salim, âperlawananâ diikuti kata preposisi âterhadapâ bukan âkepadaâ) rezim otoriter orde baru?â Maaf, karena nada tulisan Salim berbau amis darah terhadap saya, maka saya ingin mengatakan ini adalah pertanyaan yang keji. GM, di mata saya adalah orang yang mulia, yang telah menerima saya bekerja, untuk melepaskan saya dari jerat pengangguran, untuk membiarkan saya kembali ke dunia saya (penulisan), bukan untuk menggunakan saya sebagai pemukul terhadap Orde Baru, sebagaimana Salim telah memanfaatkan apa yang dia ketahui dengan telat mengenai saya sebagai pentungan untuk menghantam GM. Pernah sekali Nyoto (Ketua Dewan Redaksi Harian Rakyat) menunjukkan kepada saya tulisannya tentang Soekarnoisme sebelum turun cetak, dan saya hanya mengangguk setuju, karena memang saya tak punya keberatan. GM, paling tidak dua kali menunjukkan tulisannya kepada saya sebelum turun cetak. Pertama pengantar redaksi yang dia tulis untuk peristiwa jatuhnya pesawat terbang di Tinombala, di mana salah seorang wartawan TEMPO jatuh jadi korban. Dia menguji kebenaran tulisannya karena tahu saya yang berada di lapangan, dan menulis satu laporan utama mengenai bencana itu. Kedua, GM menunjukkan tulisannya yang kritis mengenai Pramoedya Ananta Toer, dan saya katakan tulisan itu harus ditunjukkan dulu kepada Pram, karena kalau sudah dimuat nanti, dia belum punya hak jawab sebagai tahanan politik. Dan ya Tuhan, GM memasukkan naskah itu ke dalam laci. Selama saya jadi wartawan tak pernah saya menemukan penulis setulus ini budinya. Apalah awak ni⦠Kredibilitas tulisan Salim tercemar karena terlalu banyak salah. Soal kecil, tapi mencermin jiwa penulisnya. Misalnya, Amarzan Ismail Hamid (bukan Amarzan Ismail Lubis!). Manyaka Thayeb (bukan Manjaka Tahir Thayeb, walau teman ini kadang-kadang menggunakan T. di depan namanya, karena dia itu Teuku). Ajip Rosidi (bukan Ayipâ¦) Tambahkan A. di depan nama Bastari Asnin. Kesaksamaan, kesaksamaan, sekali lagi kesaksamaan! Titel kesarjanaan bukan untuk diumbar, melainkan cermin dari tingkat pertanggungjawaban dan penghargaan kita dalam menjunjung martabat. Nada tulisan Salim tentang saya, Amarzan Ismail Hamid dan Manyaka Thayeb, walau tak terang-terangan, tapi kalau dibaca dengan teliti, diikuti gendangnya, terasa adalah bahwa orang-orang ini paling tidak harus disingkirkan, mungkin lebih tepat harus dibersihkan, dibabat, barangkali. Terbayang di mata saya, dia berdiri berkacak pinggang berdiri di atas bukit, menatap kami yang matanya sudah ditutup kain hitam, dan siap untuk menghunus pistol.. Baca ini: âOrang TEMPO yang pernah tidur di kamar bujangan saya, selain GM, adalah almarhum Komar..â Bagaimana mungkin jasad almarhum Komar menginap di rumah Anda. Atau memang itu maksudnya? Kan maksudnya Komar (almarhum)⦠Kecil tapi mengisyaratkan sesuatu, maaf. Dichtung und Warhait, kata Salim pula dengan kerennya. Sekali lagi maaf, maksudnya Dichtung und Wahrheit. Saya koreksi karena kita semua kan memupuk Wahrheitsliebe! Saya maafkan, karena Salim di Praha bukan di Berlin. Mari kita bicarakan yang menyangkut soal saham. Sejarahnya! Bukan sahamnya! Saya tidak tertarik dengan duit, paling tidak waktu itu. Perlu Salim ketahui saya bergabung dengan TEMPO 15 Januari 1971, sebelum majalah itu terbit 6 Maret 1971. Saya tidak tahu ada âperebutan saham.â Saya tak tertarik itu, Bung. Saya ingat betul, saya diundang Haryoko Trisnadi untuk ikut rapat yang begitu saya duduk baru tahu itu urusan saham. Rapat untuk para calon kapitalis, sebagaimana disindir GM suatu ketika. Rapat itu berlangsung di ruang bawah kantor TEMPO lama, yang baru direnovasi. Dindingnya tripleks, ukuran kira-kira 3 kali 5 meter. Di ruang itu jugalah pimpinan TEMPO menerima Duta Besar Inggris, duta besar pertama yang mengunjungi TEMPO. Saya juga ingat anak tangga menuju redaksi sebanyak 13, membelok ke kiri 10 anak tangga, membelok ke kanan menuju ruang redaksi ada tiga anak tangga. Malam-malam di ruang bawah, yang ditempati administrasi siangnya, Putu Wijaya dan grup teaternya berlatih teater. Salah seorang pemainnya adalah pemuda yang menjadi tukang batu ketika TEMPO merenovasi rumah toko yang dia tempati sebagai markas. Berlatih keras sehingga dia kena TBC dan diobati oleh TEMPO secara teratur, karena belakangan dia bekerja sebagai resepsionis. Saya juga tak lupa denga ciri-ciri Anda, waktu itu. Sebagaimana kebanyakan orang Indonesia yang suka memelihara kuku, Anda membiarkan kuku kelingking Anda memanjang. Dan jarak ibu jari kaki Anda dengan jari tengah begitu renggang. Saya suka itu, karena itu pertanda Anda seorang pejalan jauh. Saya mengagumi Anda, dan inilah kelebihan Anda, ketika menulis sorotan untuk cerita pendek di majalah Sastra begitu lancar, seperti mendengarkan Anda berbicara bertatap muka. Lancar. Tak banyak orang yang punya bakat seperti itu. Sayang, dunia sastra Anda tinggalkan. Padalah, inilah dunia yang bisa memperhalus budi manusia. Lantas kalau saya pernah di EKSPRES, apakah itu kesalahan saya kalau Anda tak tahu. Saya berhenti dari EKSPRES karena merasa dikejar-kejar, perasaan yang Anda tak bisa fahami, karena Anda di pihak yang melaksanakan red drive, pemburuan. Juga karena perbulan saya hanya menerima Rp 6.000.= Saya sudah punya anak satu. J.S. Hadis, waktu itu Sekretaris Jenderal Persatuan Wartawan Indonesia Pusat, (orang dekat Ibnu Subroto, juru bicara Angkatan Darat,) sahabat saya, mengajak saya untuk menjalankan kiosnya di Jembatan Merah, tak jauh dari Manggarai. (Dan GM tahu bagian sejarah pribadi saya yang ini, bahwa saya kenal Hadis - dia meninggal beberapa tahun lalu. Juga Fikri Jufri. Ibnu Subroto keberatan terhadap berita TEMPO, Hadis meminta saya datang ke rumah sang jenderal di seberang lapangan Banteng, yang sekarang di tempati Departemen Agama, untuk mengambil semacam bantahan sang jenderal. Saya lupa apa pasalnya. Tapi, bisa dicek di TEMPO.) âYang lebih fantastis lagi dari cerita Martin tentang saya adalah tentang kisah saya memberinya pistol yang, menurut tulisan Martin, dengan gagah dia menolaknya.â Begitu kata Salim. Sebenarnya, bukan episode itu âyang lebih fantastis.â Saya ingin dikenang lebih dahsyat lagi. Begini. Ketika terjadi pertikaian antara Anda dengan saya (saya lupa soal apa), dengan berjalan cepat dari ruang redaksi Anda menginjak-injak meja saya yang terletak dekat pintu, di ujung tangga. GM, setelah menyuruh saya diam, membawa Anda menuruni tangga, dan hilang entah ke mana. Tapi, saya masih sempat berteriak, âTembaklah, nyawa saya gratis!â Kata-kata saya itu terlontar karena saya merasa sudah menjadi bagian dari ribuan orang kiri, yang buta huruf atau sadar politik, dibantai dihabisi di seluruh negeri. Saya merasa sudah berada di dalam kubur bersama kewan-kawan saya yang malang, yang menghadap Tuhan dengan bekal pengabdian mereka kepada rakyat yang mereka bela. Mulialah kau kawan di alam baka. Tak sekarang, kelak suatu ketika kita akan jumpa. Memang, waktu itu saya tidak melihat Anda mengeluarkan pistol dari sarangnya. Episode ini dramatis, dan jadi kenangan buat saya. Pertemuan dengan Sarwo Edhy benar adanya. Anda salah ketika mengatakan tak mungkin Martin menginap di tempat saya, karena dia sudah berkeluarga. Saya sudah berkeluarga memang. Beranak satu. Ketika itu, saya masih ingat (saya suka minum air putih dan pepaya inilah rahasia kekuatan ingatan saya) waktu itu Agustus tahun 1972. Istri dan anak pertama saya kuungsikan ke Solo, rumah mertua saya, untuk menyambut kelahiran anak saya yang kedua, putri. Saya masih ingat, ketika kwitansi berisi ongkos persalinan di rumah sakit Muhammadiyah yang kira-kira Rp 2.000 saya serahkan kepada bagian admintsrtasi TEMPO, orang-orang heran kok biayanya begitu murah. Sebab ongkos persalinan ketika itu di Jakarta sudah puluhan ribu atau malah ratusan ribu rupiah. Gaji saya di TEMPO waktu itu Rp 10.000. Saya tidak ragu dengan ingatan saya. Saya ingat kata-kata GM kepada Ramadhan KH, suatu saat, bahwa wartawan TEMPO itu âtidak mencatat, mereka menghafal.â Apalagi masa yang belum terlalu jauh di belakang. Saya, misalnya, tentu saja masih ingat satu diskusi mengenai plagiarisme di bagian Pustakaloka KOMPAS sebulan lalu. Tamrin Amal Tomagola, dari Universitas Indonesia, bercerita tentang bakat plagiarisme di kalangan mahasiswa yang sudah dimulai sejak dini. Dia bercerita dengan kocaknya tentang rekan dia yang absen tapi minta dia menekenkan namanya di absen. Dosen, Juwono Sudarsono, memanggil Tamrin dan berujar, âOrang ini saya kenal, saya tak melihatnya tadi, kok di sini ada tandatangannya?â Tamrin menjawab âDia hadirâ¦Pakâ Juwono menimpali, âBaiklah, melihat bagaimana kamu menjawab saya tahu apa artinya.â Tamrin juga menceritakan dia menuliskan tulisan yang ditugaskan fakultas untuk rekannya itu. Jauh ke belakang, saya juga teringat Anda menyebutkan A. Sibarani sebagai orang Lekra dalam skripsi S1 Anda. Dan Sibarani datang ke TEMPO mencari Anda dengan mengenakan topi koboi dan sepatu larsa. Di ruang tamu karikaturis terkenal itu menghardik tak tahan menahan emosi, âMana Salim?â Sibarani, mungkin lebih kiri dari komunis, tapi dia bekerja untuk Bintang Timur yang berafiliasi dengan Partindo. Saya juga masih ingat Anda mau meneror dia dengan mengerahkan RPKAD. Dan manusia setengah dewa saya, GM-lah yang menasihati Anda supaya jangan melakukan itu. Saya juga ingat betul, Anda membantingkan botol Johny Walker ukuran kecil ke dinding kantor redaksi TEMPO di Proyek Senen, sambil menyumpah serapah. Ah⦠âIt was really a disaster.â Saya ingin membangkitkan kenangan Anda, pada waktu putri saya yang Anda sebut itu melangsungkan pernikahan di Aula HAMKA Masjid Al Azhar, Anda datang. Terima kasih, dan saya ingat saya memeluk Anda di pelaminan. Itu adalah saat yang luar biasa dalam hidup saya. Kupertemukan mereka yang saling berseteru. Datang di antara undangan adalah GM, Salim Said, A. Sibarani. Taufiq Ismail, Slamet Sukirnanto, Sori Siregar, Amrus Natalsya, Sides Sudyarto DS, Putu Oka, T. Iskandar AS dan lain-lain. Ah, luar biasa perhelatan pernikahan putri saya itu menjadi gelanggang âperdamaianâ walau sementara, untuk mereka yang saling tidak saling menyapa, padahal pernah menyatakan sehidup semati. Saya menulis memoar, bukan cerita pendek atau novel. Salam. Martin Aleida Send instant messages to your online friends http://uk.messenger.yahoo.com --------------------------------- Ask a question on any topic and get answers from real people. Go to Yahoo! Answers. [Non-text portions of this message have been removed]