TENTANG alm. Rashid Rachman, penterjemah film
Subject: Oom Aa - Intisari 1998 - Dibayar Sekantung Telur Ayam





http://www.indomedia.com/intisari/1998/desember/rashid.htm

RASHID RAHMAN, DIBAYAR SEKANTUNG TELUR AYAM 

Tak banyak orang yang menekuni profesi penerjemah
film. Sudah ribuan teks film digarapnya. Ada yang
dengan tulisan tangan, memakai mesin tik, sampai
kemudian komputer. Awalnya, profesi yang digelutinya
ini tak dihargai, lantaran nama si penerjemah tidak
dicantumkan dalam credit tittle. Padahal, pekerjaan
ini mengadung risiko dan sarat dengan kadar stres
tinggi.

Puluhan judul film impor dengan beragam tema beredar
setiap bulan. Seiring dengan itu nama para artis
pendukungnya maupun sutradara bersinar silih berganti.
Namun, kalau Anda perhatikan, di tengah ingar bingar
musik dan deretan nama pada credit tittle yang
tersorot proyektor ke layar bioskop, salah satu dari
mereka ini pasti selalu muncul walau hanya sekelebat.
Antara lain Mayasin, Agus Muhammad, Rashid Rachman,
dan D. Herry R.

Benar. Merekalah para penerjemah teks film berbahasa
Inggris yang Anda nikmati. Ditilik dari jumlahnya yang
hanya segelintir dan "jam terbang"nya yang rata-rata
sudah puluhan tahun, tak pelak usia mereka sudah tidak
muda lagi, kecuali Herry R. Bahkan, nama yang disebut
paling awal, Mayasin, sudah almarhum.

Salah seorang yang masih setia pada profesi ini adalah
Rashid Rachman (62). Hasil terjemahan teks film yang
mengalir dari tangannya sudah ribuan judul. Saking
banyaknya, yang bersangkutan mengaku sudah lupa berapa
persis jumlah film yang pernah digarap. Yang pasti,
jerih payahnya telah membantu para penonton menikmati
film-film seperti serial terkenal James Bond Tomorrow
Never Dies, Braveheart, Philadelphia, Jerry McGuire,
atau As Good As It Gets. Yang relatif baru seperti,
City of Angel, Armagedon, serta yang akan segera
dirilis, Avangers. Pemirsa televisi pun pasti pernah
menikmati hasil kerjanya, yakni dubbing (sulih suara)
serial film Jepang Orin, dan Oshin. Bahkan, ia menjadi
orang Indonesia pertama yang membuat terjemahan narasi
film IMAX Secret of Life, To The Limit, dan Mexico di
Theater Keong Emas, Taman Mini Indonesia Indah.

Bagi yang tak mahir berbahasa asing, teks terjemahan
tentu sangat membantu para penonton menikmati dan
memahami alur cerita sebuah film, baik di bioskop
maupun televisi. Tak terlalu berlebihan kalau
dikatakan jasa mereka cukup besar, meski namanya
senantiasa tenggelam di balik gemerlap nama besar
artis pendukung film. 

"Sayang, di dunia perfilman profesi ini tidak
dihargai. Di luar negeri, film-film dengan teks
terjemahan hanya diputar di bioskop-bioskop kecil, art
cinema. Jumlah penontonnya pun sedikit lantaran
dinilai tidak komersial. Kalau yang diputar di bioskop
pasti disulihsuarakan. Bahkan di sana ada anggapan,
memberi teks terjemahan pada sebuah film justru
melecehkan karya seni tersebut," aku Rashid.

Di Indonesia, pada awalnya profesi penerjemah film pun
nyaris dikesampingkan. Buktinya, nama mereka tidak
pernah dicantumkan pada credit tittle. Namun, dalam
pekembangannya, karena si penerjemah juga harus
bertanggung jawab atas pekerjaannya, sejak tahun 1963
di setiap film yang beredar selalu tercantum namanya.

Di satu sisi, pencantuman nama menuntut para
penerjemah bersikap lebih profesional di samping harus
selalu menjaga kualitas. Namun tak jarang tanpa bisa
menolak mereka terpaksa harus 'berdamai' dengan
dirinya untuk, misalnya, ikut mempropagandakan sebuah
kebijakan politik penguasa saat itu. Pemilihan
kata-kata dialog pun perlu disesuaikan. Misalnya, pada
era Soekarno, tepatnya ketika sedang berlangsung
konfrontasi dengan Malaysia, kata-kata ganyang perlu
dipopulerkan. Begitu pula kata buruh. Tapi setelah
Orde Baru, kata buruh justru dilarang. Harus diganti
dengan karyawan. Setiap zaman punya ciri.

Demikian pula kalau kenyataan ini dihadapkan pada
cita-cita awal Rashid untuk menjadikan teks terjemahan
film lebih bernuansa kesusasteraan. Indah dan enak
dibaca. Ladang ini justru memaksanya untuk selalu
berkompromi dengan keinginannya. Betapa tidak? Hasil
terjemahan film dituntut cepat, sederhana, dan mudah
dicerna. "Sering kali, dalam menerjemahkan teks, saya
tahu persis dalam bahasa Indonesianya harus begini.
Tapi kalau saya tulis demikian, nanti justru penonton
tidak akan menangkap maksudnya. Terlalu lama membaca,
malah ketinggalan terus," aku pria ini.

Yang membuatnya terus menekuni profesi ini lebih
karena ia sudah terlanjur menikmati. Apalagi karena
sampai saat ini ia mengaku tidak bisa menekuni
pekerjaan lain. "Bagi orang lain pekerjaan ini memang
sangat tidak menarik. Tetapi buat saya enak, bisa
mengkhayal ke mana-mana," ungkap ayah dari seorang
anak angkat yang kini juga mengikuti jejaknya sebagai
penerjemah film, D. Herry Rachman.

Tertarik terjemahan Asrul Sani
Sejak kecil anak ke empat dari 8 bersaudara ini memang
keranjingan nonton film. Ketika keluarganya masih
tinggal di Malang, Jawa Timur (1941 - 1950) karena
sang ayah H. R. Abdullah Rachman, bekerja sebagai
kepala sekolah menengah Persatuan Guru Indonesia
(PGI), pemuda ini sudah mengidolakan Errol Flinn, yang
membintangi film Robin Hood. Jarak rumah dengan
bioskop yang sekitar 5 km, tak mengalanginya untuk
hampir setiap hari nonton. Dengan uang 53 sen ia sudah
bisa nonton film di kursi kelas 4. "Kalau uang saku
saya habis saya bujuk adik, Rachmini (Mien Uno, Red.)
untuk nonton. Cukup dengan satu karcis, saya gendong
dia masuk. Karena masih kecil, Mien seringkali harus
diantar ke kamar kecil. Lama-lama karena mengganggu
keasyikan nonton, saya suruh saja dia kecing di lantai
..he..he..he. Dalam keluarga, hanya saya dan Mien itu
yang gila nonton film," ujar Rashid mengenang masa
kecilnya.

Kegemarannya nonton tetap berlanjut ketika keluarganya
pindah ke Jakarta, sampai ia kuliah di Fakultas
Pertanian Universitas Indonesia (kini menjadi Institut
Pertanian Bogor). Memang, saat itu ia sering membantu
saudaranya yang bekerja di perusahaan subtittling
film, Puja Film. Suatu hari dalam liburan di Bandung
ia nonton film Desiree yang dibintangi oleh Marlon
Brando. Teks terjemahannya dikerjakan oleh Asrul Sani.
"Saya sangat tertarik dengan penggarapan
terjemahannya. Indah, dan amat berseni. Sejak saat
itulah saya kepingin terjun ke profesi ini."

Awal tahun 1962, dengan perantaraan saudaranya ia
menghubungi Puja Film yang ternyata hampir bangkrut.
Tapi perusahaan ini masih punya sisa order
menyelesaikan 2 judul film yang belum diterjemahkan.
Rashid akhirnya disuruh mengerjakan. "Saya senang
sekali, meski hanya dibayar dengan satu kantung telur
ayam." Dari sini nasibnya mulai bergulir, apalagi
ternyata perusahaan itu tidak jadi ditutup. Rashid
diterima kerja penuh dengan gaji Rp. 12,-/bulan.
"Dengan uang itu kira-kira saya bisa beli satu baju."
Sejak itu Rashid mulai mengenal beberapa perusahaan
subtittling dan importir film.

Yang unik, cara kerjanya tidak terikat tempat dan
waktu seperti layaknya pekerja kantoran. Hampir semua
tugasnya dikerjakan di rumah. Itulah sebabnya ia bisa
bekerja untuk lima perusahaan subtitlling sekaligus.
Kala itu selain Puja Film, ada beberapa perusahaan
sejenis semisal, Teknik Insula, Superba, Subtan Film,
juga Cahaya Harapan.

Film pertama yang mencantumkan namanya sebagai
penerjemah adalah I Passed for White, produksi Allied
Artists (1963). Ketika itu ia menerjemahkan masih
belum didukung peralatan yang memadai. "Karena belum
punya mesin tik, waktu itu terjemahannya masih saya
kerjakan dengan tulisan tangan. Terkadang sambil
nyambi momong keponakan. Pernah suatu saat lembaran
kertas terjemahan itu diusek-usek keponakan saya. Yah,
terpaksa harus diulang lagi," kenang pria yang juga
kakak pakar pendidikan DR. H. Arief Rachman ini.

Dalam kondisi sekarang, ia mampu menerjemahkan 3 judul
film per minggu. Meskipun baginya sudah cukup
melelahkan. Kalau sudah begitu, ia tidak mengenal jam.
Akibatnya, dengan ngendon terus di rumah memelototi
teks, waktunya untuk bersosialisasi terasa kurang.
Toh, kalau dibandingkan ketika ia masih muda dulu,
beban ini sudah jauh berkurang. Menurut pengakuannya,
dulu ia pernah mengerjakan teks terjemahan 30 judul
film dalam sebulan. Alias sehari satu judul film.

"Terdorong oleh semangat muda, saya bisa kerja dengan
cepat. Tidak takut salah. Kini terkadang saya malu,
karena tahu bahwa dulu terjemahan saya banyak yang
keliru. Sekarang, dengan semakin bertambahnya
pengalaman, saya jadi semakin teliti. Takut salah.
Itulah sebabnya, waktu pengerjaan terjemahan semakin
lama," aku Rashid.

Krisis ekonomi yang belakangan cukup memukul importir
film secara tak langsung dampaknya juga dirasakan
Rashid. Beberapa terjemahan film yang sudah
dikerjakan, akhirnya tidak mendatangkan uang.
"Misalnya film Sphere, produksi Warner Brothers.
Karena begitu filmnya datang, dirasa tidak komersial.
Akhirnya film tersebut dipulangkan kembali. Nah, saya
tidak menerima honornya meskipun teks terjemahannya
sudah saya selesaikan," tambah penyuka film horor ini.

Berpacu dengan waktu
Seiring dengan perkembangan teknologi, pengerjaan teks
terjemahan yang dilakukan Rashid pun berkembang. Mulai
dari tulisan tangan, memakai mesin tik, dan kini
beralih ke komputer. Sebelum beralih ke komputer, ia
sudah "menghabiskan" 5 buah mesin tik. Uniknya,
penerjemahan teks tersebut dilakukan Rashid tanpa
harus melihat film itu sebelumnya.

"Sebelum menerjemahkan, saya tidak pernah melihat
filmnya. Saya hanya bekerja berdasarkan dialog di
script," akunya. Malah ada beberapa film, yang
terjemahannya dibuat tanpa melihat script. Caranya
sederhana kalau tak mau dibilang primitif. "Saya
bekerja berdasarkan rekaman suara dari kaset. Jadi
saya harus betul-betul menyimak dialog-dialog dari
suara rekaman, menangkap artinya, lalu menuliskan
terjemahannya."

Kasus-kasus langka ini biasanya terjadi karena film
tersebut dibeli tidak langsung dari agen resminya,
melainkan dari pasar kedua semisal, Hongkong. Misalnya
film Romeo - Juliet (1965) dengan bintang Olivia
Husey.
Meski hasilnya hanya deretan kata-kata dan kalimat,
proses pengerjaan teks terjemahan ternyata tidak
sesederhana seperti yang kita lihat di film. Banyak
kesulitan teknis yang acapkali menjadi kendala untuk
menyiasati terjemahan.

Panjang teks terjemahaan yang muncul dalam satu frame
film dibatasi tak lebih dari 32 kata. Itu pun paling
banyak hanya dua baris. Artinya, kalau hasil
terjemahan bahasa Indonesianya terlalu panjang, si
penerjemah harus pandai-pandai memperpendek tanpa
mengganggu dialog dalam adegan itu. Belum lagi kendala
yang berkaitan dengan faktor semantik, idiom, ataupun
ragam slank bahasa Inggris yang terkadang cukup
menyulitkan untuk menangkap artinya. Untuk mengatasi
masalah ini Rashid selalu berusaha memiliki beragam
jenis kamus dengan spesifikasi masing-masing. Sebagian
besar kamus itu dibelinya dari luar negeri. Kalau
perlu membeli kamus slank di tempat bahasa itu
dituturkan.

Yang cukup memusingkan kalau sebuah film memuat banyak
dialog jorok dan penuh dengan kata atau umpatan kasar.
Ini bisa saja ditemui karena dia sering dihadapkan
pada keadaan yang tidak memberinya banyak pilihan. Ia
juga mengakui, kadang-kadang ditawari untuk memilih
film yang hendak digarapnya. "Beberapa waktu lalu saya
ditawari memilih Big Hit atau City of Angel. Dalam
film City of Angel 'kan ada unsur SARA-nya, karena ada
tentang malaikat. Karena itu, ada kata-kata yang harus
kita hindari. Bagi saya lebih baik mengerjakan yang
seperti itu, ada tantangannya, walaupun nantinya film
itu tidak laku. Daripada memilih film action.
Kadang-kadang saya nggak ngerti, karena nggak saya
hayati. Film seperti itu 'kan banyak gerakan-gerakan
pukulan, nyaris tak ada pesan moralnya," akunya. Kalau
film lagi banyak kadang-kadang dia diberi 3 film
sekaligus. "Pada waktu mengerjakan saya pilih yang
saya sukai dulu," tambah pria yang mengidolakan
ayahnya sendiri ini.

Dalam kondisi banyak dialog kotor atau kasar seorang
penerjemah memang dituntut kearifannya untuk menyaring
dan mencari padanan kata atau kalimat dalam bahasa
Indonesia yang sopan, tanpa harus menghilangkan makna.
Terlebih kalau sudah berhubungan dengan aktivitas
pria-wanita di tempat tidur.

"Bahasa Inggris kaya dengan pilihan kata untuk
mengungkapkan adegan itu. Bahkan, di sana mereka
ucapan secara bebas. Lha, di dalam bahasa Indonesia
ungkapan sejenis itu 'kan terbatas. Misalnya, bercinta
atau berbuat, selebihnya akan terasa kasar. Kalau
misalnya harus menerjemahkan suatu perbuatan, seperti
yang dilakukan Bill Clinton misalnya, oral sex, ya
susah juga. Biasanya saya menempuh cara sederhana,
yakni tetap menulis seperti aslinya tapi dalam tanda
petik. Namun, terlalu banyak memakai tanda petik pun
tidak bagus, karena malah menarik perhatian."

Beragam dan luasnya cakupan tema dalam film-film yang
beredar, mau tak mau juga menuntut seorang penerjemah
untuk menguasai beragam pengetahuan dan idealnya
memiliki pemahaman akan berbagai budaya. Nah,
menyadari "modal" yang dimiliki tidak mencukupi, calon
insinyur pertanian yang gagal ini pun tahu diri. Ia
terus membaca buku apa saja untuk menambah
pengetahuannya, yang siapa tahu suatu saat sangat
berguna dalam mendukung kelancaran pekerjaannya. Bagi
Rashid, semua jenis bacaan itu wajib dilalapnya. Tak
jarang ia relakan waktu sembari menepis rasa malu,
membaca buku-buku porno atau memelototi rubrik
konsultasi seks di media cetak yang menjelaskan
hal-hal tabu tetapi secara ilmiah populer. Bahkan,
karena tuntutan profesinya, Rashid pun tak sungkan
membaca kitab suci agama lain, agar tak keliru dalam
menerjemahkan istilah-istilah yang dipakai dalam
sebuah film yang bertemakan regili tertentu.

"Sedapat mungkin pemakaian kata-kata atau kalimat yang
akan memicu persoalan SARA harus dihindari. Seorang
teman saya yang keliru memahami keberadaan tokoh
tertentu dalam budaya masyarakat yang tergambar di
film yang diterjemahkannya, sampai harus kehilangan
nafkahnya," tambah Rashid.

Karena kepiawaiannya menterjemahkan dan mengolah kata
atau kalimat, orang mengira ia seorang yang
berpendidikan tinggi. Padahal ia belajar bahasa
Inggris secara formal cuma sampai SMU. "Tapi saya
senang baca. Bahkan boleh dikatakan gila baca. Dulu,
saya sering beli koran (bekas) berbahasa Inggris yang
dijual-belikan secara kiloan. Saya pikir, di mana lagi
saya bisa membeli koran berbahasa Inggris dengan harga
murah." Dari sanalah makin lama ia makin memahami
Bahasa Inggris. Mungkin karena itu, kalau ia menerima
kartu lebaran, pada kartu lebaran itu dia diberi gelar
dokterandus. "Saya suka geli ya. Rupanya saya dianggap
sudah dokterandus ..he..he," katanya sambil tertawa.

Persoalan kedua dan ini yang seringkali membuatnya
sport jantung adalah soal waktu dan deadline
pengerjaan. Wajar kalau dia mengaku selalu berharap
listrik di rumahnya tetap menyala selama
menterjemahkan script film yang ada di tangannya.
"Karena kalau listrik mati, saya bisa rugi waktu.
Komputer juga jangan sampai ngadat. Kalau komputer
rusak, ya sudah saya diam saja, soalnya saya tidak
punya mesin ketik lagi." 

Memang datangnya script lebih dulu dari filmnya.
Namun, seringkali dia dihadapkan pula pada perilaku
produsen film yang berbeda. Tak jarang, script yang
diterjemahkannya ternyata bukan yang final. "Untuk
film besar dan mahal, biasanya yang datang duluan
adalah preliminary script. Karena importirnya ingin
cepat segera digarap, ya saya buat terjemahannya.
Begitu, selesai, eh ... datang lagi script baru yang
isinya terkadang amat berbeda. Baik adegan maupun
dialognya. Ini pun terkadang sifatnya masih pre-final.
Karena begitu selesai saya koreksi bisa datang lagi
script final." Salah satu film macam itu adalah
Tomorrow Never Dies.

Lantas apakah besarnya honor terjemahan ditentukan
oleh panjang-pendeknya film atau tingkat kesulitan
bahasanya? Menurut pria yang sekarang menetap di Bogor
ini, besarnya honor sudah ditentukan oleh perusahaan
tempatnya bekerja. Jadi, tak ada sangkut pautnya
dengan film yang ditangani. "Besar honornya? Jangan
deh. Nanti kelihatan gede untuk saya. Tapi bagi mereka
yang sudah jadi orang, justru akan merasa kasihan
melihatnya. Tahu sendiri, ... rumah saya 'kan di
kampung."

Rupanya, bagi seorang Rashid Rachman urusan uang lebih
diserahkan kepada mitra kerjanya, si pemberi tugas
penerjemahan. Dia tidak akan berhenti hanya karena
persoalan itu. Selama pekerjaan yang baginya
mengasyikkan dan memberi banyak tantangan itu tidak
hilang, dia akan tetap menggelutinya. "Selama saya
kuat dan tidak membuat kesalahan, saya akan tetap
menekuni pekerjaan ini," janji pria yang mengaku biasa
mengalami tekanan darah mencapai 180 mm.Hg. akibat
beban pekerjaan ini. (E.W. Djati Surendro/I Gede Agung
Yudana)
 




      

Kirim email ke