Tidak mungkin Cak Nun mau merusak korban lumpur. Tapi ia telah membuat perasaan 
gembira ketika mengambil sumpah korban dan bukan sumpah Lapindo....

Tapi kini ada banyak korban berurai air mata karena harapan mereka menerima 
pelunasan uang jual-beli tanah lumpur yang 80 persen itu terganjal oleh skema 
usulannya berupa cash & resettlement terhadap tanah-tanah yang belum 
bersertifikat. Caranya: uang 20 persen yang sudah dibayarkan Lapindo itu 
dihibahkan kepada korban lumpur yang sudah menerimanya, lalu kini Lapindo hanya 
mau membayar bangunannya, sedangkan tanahnya diganti dengan tanah kaplingan di 
perumahan milik Grup Bakrie bernama Kahuripan Nirvana Village. Orang kampung 
yang tak berpenghasilan tetap disuruh hidup di kompleks perumahan yang high 
cost? Katanya jika korban nanti tidak kerasan maka boleh menjual kembali tanah 
itu ke Minarak Lapindo Jaya. Apa bisa dijamin? Wong perjanjian ikatan jual beli 
yang berdasarkan payung hukum Perpres No. 14/2007 dan Surat Petunjuk 
Pelaksanaan BPN saja diingkari Minarak Lapindo Jaya, apalagi skema baru yang 
berada di luar aturan pasal 15 Perpres No. 14/2007 itu?

Artinya: Emha Ainun Nadjib bermaksud untuk memediatori kengototan Minarak 
Lapindo Jaya yang ingkar tidak mau membayar pelunasan tanah dan bangunan korban 
lumpur. Menurut Ehma itu jalan bijak dan baik. Ia berkata dengan bahasa yang 
tidak memahami aspek budaya dan hukum, dengan kata-kata, "Mereka yang dibayar 
20 persen saja sudah makmur apalagi kalau sampai sisa pembayaran 80 persen 
dibayar. Padahal, apa yang sebenarnya terjadi pada Lapindo, wong belum ada yang 
diputuskan bersalah tapi sudah dibayar ganti rugi. Ibarat kata, Lapindo itu 
sudah memberikan sadakoh kepada warga," katanya. Ia juga berkata bahwa ada 
orang mengaku-ngaku korban lumpur mendatangi instansi pemerintah padahal bukan 
korban lumpur. Itu kebohongan yang parah sebab selama ini tidak ada yang 
berdusta seperti yang ia katakan itu sebab instansi pemerintah juga nggak 
pernah ada yang tertipu (sarang penipu masak tertipu?).

Kalimatnya itu mengiris hati korban Lapindo. Siapa bilang dibayar 20 persen 
korban Lapindo jadi makmur? Mengapa ia tidak memikirkan bagaimana menderitanya 
mereka berjuang dua tahun hidup dalam lingkungan yang jauh dari layak? Siapa 
bilang Lapindo membayar ganti rugi, wong pembayaran itu jual-beli? Apa Emha 
Ainun tahu bahwa kubangan lumpur yang dibelinya itu punya nilai ekonomi tinggi? 
Apa Ehma tahu bahwa BPK sudah melakukan investigasi panjang dan menyimpulkan 
Lapindo salah dalam melakukan pemboran? Apa Emha tahu bahwa pemerintahan SBY 
sudah membentuk Tim Investigasi Independen yang dipimpin DR Rudi Rubiandini 
yang menyimpulkan adanya kesalahan pemboran, tapi kesimpulan itu tidak dipakai 
pemerintah? Apa Emha tahu bahwa putusan hukum oleh hakim itu harus mengikuti 
alat bukti fakta temuan resmi negara (hasil audit BPK dan Tim Investigasi 
Independen). Bagaimana jika hakim tidak mengikuti hasil penelitian kedua 
lembaga itu, apa putusan itu bisa dijadikan
 dasar yang meyakinkan? Apa pendapat Anda jika misalnya BPK menyimpulkan ada 
penyelewengan keuangan negara, tapi hakim memutus bebas koruptor? Apa Emha tahu 
bahwa pasal 6 UU Migas mengharuskan adanya kontrak kerjasama usaha hulu migas 
yang membebankan seluruh modal dan risiko kepada korporasi penambang?

Masih banyak pertanyaan lainnya. Emha hanya berpikir dari sudut dirinya 
sendiri, tidak melihat seluruh perspektif persoalan itu. Ia menghitung 
kelihatannya korban lumpur Lapindo berada dalam keadaan memberi mandat 
kepadanya secara mayoritas. Ia akan melihat nanti sebuah ujung persoalan yang 
tidak sesuai dengan ramalannya, sebagaimana ia pernah meramal dalam judul 
tulisan Anugerah Agung Lumpur Lapindo bahwa Pebruari 2008 akan terulang 
anugerah agung itu. Ternyata anugerah itu tenggelam ke dalam lumpur hingga kini 
dan bahkan yang muncul adalah keruwetan agung.

Lalu apa yang bisa saya lakukan selain nggrundel ini? Memberikan pemahaman agar 
korban lapindo lebih paham. Saya takut memberikan solusi sebab kuatir terjebak 
seperti Emha. Solusi itu ada pada bagaimana pemerintah negara ini tunduk pada 
konsensus nasional. Jika pemerintah mau melakukan paksaan pemerintahan 
(bestuurdwang) berdasarkan alat bukti temuan negara (qq. BPK) maka tak akan 
sepanjang itu urusannya.

Apalagi jika sampai ada 4 desa yang mengaku memberi uang terima kasih kepada 
Emha Ainun Nadjib, dan saya menjadi bertanya: "Apakah itu sikap budaya Emha, 
atau ia dimanfaatkan orang-orang yang selama ini menguntitnya?"

--- Pada Sel, 29/7/08, Adyanto Aditomo <[EMAIL PROTECTED]> menulis:
Dari: Adyanto Aditomo <[EMAIL PROTECTED]>
Topik: Balasan: [Forum Pembaca KOMPAS] Lapindo, Emha Ainun Nadjib dan DPR
Kepada: Forum-Pembaca-Kompas@yahoogroups.com
Tanggal: Selasa, 29 Juli, 2008, 9:56 AM











            Waduh, nggak salah tuh Emha Ainun Najib mencelakakan rakyat korban 
Lapindo ???

  Soal bersekutu dengan DPR, tentunya tidak bisa disalahkan, karena anggota DPR 
itu merupakan Wakil Rakyat dan juga Pilihan Rakyat.

  Yang tidak boleh adalah : Bekerjasama dengan oknum anggota DPR yang 
menyelewengkan kewenangannya dalam membela kepentingan rakyat.



  Tapi kalau orang seperti Emha Ainun Najib secara sengaja ingin mencelakakan 
Rakyat Sidoardjo korban Lumpur Lapindo, saya sangat berduka cita atas peristiwa 
tersebut.



  Pertanyaannya:

  Apakah nurani bangsa kita sudah mulai rusak?????



  Salam,





  Adyanto Aditomo




Kirim email ke