Ito ED, koreksi dikit, hagabeon itu penya keturunan kalau mungkin punya putra dan putri. Tetapi penjelasan ini sangat menarik dan benar-benar filosofis. ss
--- On Tue, 12/2/08, [EMAIL PROTECTED] <[EMAIL PROTECTED]> wrote: From: [EMAIL PROTECTED] <[EMAIL PROTECTED]> Subject: Re: [Forum-Pembaca-KOMPAS] Re: Peninggalan Kehidupan Orang Batak To: "Milist FPK" <Forum-Pembaca-Kompas@yahoogroups.com> Date: Tuesday, December 2, 2008, 8:29 AM Gengsi memang menjadi bagian dari kehidupan suku Batak. Gengsi disini tidak selamanya dimaknai secara negatif. Salah satunya yaitu 'Penempatan gengsi orang Batak' pada pendidikan yang membuat para orangtua Batak akan rela bekerja mati2an demi menyekolahkan anak2nya sampai jenjang tertinggi. Bahkan sampai ada lagunya loh, 'Anakonki do Hamoraon Diau' (Anakku merupakan Kekayaanku). Bahkan istilah 'INANG-INANG', yang menunjukkan para ibu/perempuan yang berlecek2 di pasar berdagang u/mencari nafkah (dan di Jakarta dikenal dengan pengelompokan di Pasar Inpres Senen, Jakarta Pusat), juga lahir dari penghayatan makna tsb. Dalam lagu tsb digambarkan seorang ibu yang bersedia u/'ketinggalan gaya' dari rekan2nya demi mencari nafkah bagi keluarganya dan mengantarkan anaknya ke gerbang pengetahuan yg lebih tinggi. Gengsi yang lain yaitu dalam hal pelanggaran terhadap nilai kesucian diri semisal larangan u/ melakukan hubungan seksual sebelum menikah. Pelanggaran terhadap hal2 tsb akan membawa orangtua 'kehilangan gengsi' di mata adat dan terpuruk serta membawa duka. Sampai sekitar pertengahan tahun 80an di Jakarta saja masih banyak dijumpai di kalangan jemaat gereja HKBP (Huria Kristen Batak Protestan, gereja komunitas Batak Toba) para orangtua 'yang memaklumatkan permohonannya mengeluarkan sang anak dari jemaat gereja' karena telah melakukan perzinahan (yang dianggap telah menodai kesuciaan nilai2 agama, yang berarti pula mempermalukan orangtua karena dianggap tak berhasil mendidik sang anak seturut kehendak Tuhan seperti yang dijanjikan o/orangtua kala membaptiskan anak tsb ketika kecil di hadapan jemaatnya.). Nah, sang anak yg kemudian tahu betapa beratnya perjuangan orangtua tadi akan membalaskan budi tsb dengan merawat sang ibu serta ayah di hari tua mereka dan saat matinya. Upacara Mangukar Holi, yang tadinya hanya dilakukan o/kalangan tinggi, pun kemudian dilakukan o/semua aras dalam konteks penghormatan tsb. Menjadi mubazir jika uang, yang jumlahnya sangaaaaat besar, tsb dikeluarkan di tengah kondisi kemiskinan nan menyayat. Jadi, nilai2 atau filosofi adat, dalam konteks adat Batak yaitu HAGABEON (Kekayaan secara material dan non-material, seperti mampu berdiri sendiri/bekerja, jika menikah memiliki anak yg berbudi pekerti nan baik dll), HASANGAPON (KEMULIAN) dan HAMORAON (Kekayaan harta) haruslah dilihat dalam suatu siklus kehidupan, dalam keterkaitannya dengan lingkungannya, bukan hanya diri sang individu itu sendiri. Tak akan 'diterge' (diperhitungkan) sebagai 'hasangapon' suatu Pesta Mangukar Holi takkala para turunan Si Mati tidaklah mampu meneruskan nilai2 baik tsb. It's just a party jadinyE gheetooo loooh! :))) ED Sent from my BlackBerry® wireless device from XL GPRS network