Dear pak Subagio.
 Saya senangmembaca tulisan bapak ini, terimakasih. Lalu saya berfikir: Jadi 
apa sebaiknya yang 'masih bisa kita berbuat seperti saya yang sudah umur 
banyak ini?  Ya saya selalu mengaurkan diri sendiri untuk berbuat yang 
terbaik, jangan sampai sakit sebab selain rugi waktu dan ga enak merasakan 
sakit apa pun itu, juga biaya pengobatannya PASTI mahal, belum waktu yang 
"terbuang" sebab memang jadi ga "moveable".  Dengan tidak sakit kayaknya 
masih lebih banyak yang bisa kita perbuat, misalnya tetap menjadi guru, dan 
mempersiapkan bahan ajar seringkali juga tidak mudah.  Sambil tentu saja tak 
lpa berdoa, sebab 'ada yang kita segani bahkan takuti' jadi perbuatan kita 
ga 'sembarangan' apalagi sampai merugikan orang lain.  Sangat kecil apa yang 
bisa diperbuat, kata orang "Begitu saja kok sombong".
Sekian dulu pak, terimakasih dan semakin menyadarakan saya untuk bersyukur 
padaNya atas segala karunia yang telah dilimgahkan olehNya, apa pun itu 
termasuk segala kekurangan-2 (pasti ada sebab pada hakekatnya kan kalau 
diumbar - manusia ga akan pernah merasa puas, makan enak pengin yang lebih 
enak, punya banyak materi bahkan uang mau yang lebih banyak dan lebih baik 
dan indah bahkan mewah, dst. dst. sampai-2 lupa bahwa yang jadi 'milik' kita 
itu sebetulnya ' milik orang lain' termasuk boros sumberdaya (alam, dll).
Kepareng smeoga Pak Bagio se keluarga senantiasa dikaruniai kesehatan, 
kebijakan serta kesejahteraan yang cukup, lahir dan bathin. Amin.
Pembaca FPK,
Ning Purnomohadi



----- Original Message ----- 
From: "subagyo sh" <cakba...@yahoo.co.id>

Subject: [Forum-Pembaca-KOMPAS] Kiamat 2009


> KIAMAT 2009
>
> http://masbagio.blogspot.com
>
>
> Malam tahun baru 2009, rintik hujan bagai air mata yang enggan
> meninggalkan masa lalu. Ada tanggungan masa lalu yang banyak belum
> terselesaikan dan akan menjadi beban di masa depan. Masa depan yang
> akan semakin menumbuhkan generasi pesta-pora, wujud pelarian atas beban
> berat yang diwariskan para pendahulu.
>
> Oh iya, aku lupa tidak
> membawa jas hujan. Malam itu, dari posko relawan korban Lapindo di Desa
> Gedang Sidoarjo aku mau pulang ke Surabaya. Terpaksa membiarkan tubuhku
> dibasahi perlahan-lahan oleh rintik hujan yang tak deras. Sepeda motor
> kujalankan perlahan. Tubuh semakin basah di jalanan, mengingatkanku
> masa remaja di desa, sering kehujanan di tengah hutan ketika mencari
> kayu bakar.
>
> Jalanan malam tahun baru, meski ramai kendaraan
> bermotor tapi tampak lesu. Kadang-kadang di beberapa bahu jalan tampak
> para remaja bergerombol. Semakin mendekati kota Sidoarjo, kelihatan
> para penjual terompet duduk lesu di dekat dagangan terompet mereka yang
> ditutupi plastik transparan pelindung hujan. Tak seperti malam tahun
> baru sebelumnya di mana para penjual terompet bisa lebih beruntung
> karena tak hujan, sehingga banyak orang yang membeli terompet.
>
>
> Bukan maksudku menyalahkan hujan. Tidak. Hujan adalah komponen alam,
> turun atau tidak, bergantung pada hukum alam yang diciptakan Tuhan.
> Malam itu para pedagang terompet mungkin kesepian rezeki, siapa tahu di
> lain hari mendapatkan kelimpahan rezeki. Toh mereka berjualan terompet
> hanya menjelang tahun baru. Setelah itu kan berjualan barang lainnya.
>
>
> Hari terakhir tahun 2008 terasa menyesakkan dada, mendengar
> berita-berita yang menyedihkan. Ada berita tentang terdakwa pembunuh
> mendiang Munir diputus bebas. Alangkah malangnya para korban
> ketidakadilan di negeri ini yang masih sulit mengungkap kebenaran untuk
> mencari keadilan yang selama ini seringkali tersembunyi di balik jubah
> kekuasaan. Ya kekuasaan politik, ya kekuasaan uang. Apakah Munir
> meninggal karena gempa Jogja?
>
> Kadang para ahli memaksakan diri
> membuat logika ilmiah yang tidak logis. Ya ahli hukum (termasuk hakim),
> ahli geologi, ahli pemboran, ahli pers, dan lain-lain. Bungkusnya tentu
> ilmu pengetahuan. Biasanya karena konspirasi busuk. Kata tokoh sufi
> Indonesia, DR. Jalaluddin Rahmat, kalau menilai sesuatu tindakan orang
> yang berkaitan dengan pihak lain itu kuncinya UUD atau UUS. Jika
> ujung-ujungnya duit atau ujung-ujungnya seks, maka itu bukan jalan
> Tuhan.
>
> Ada lagi Pak, UUP, ujung-ujungnya popularitas. Yang
> bahaya adalah UUTJ, ujung-ujungnya tidak jelas, seperti nasib korban
> Lapindo yang jelas tambah merana.
>
> Akhir tahun 2008, malang pula
> bagi saudara-saudara bangsa Palestina yang semakin terpuruk dalam
> kepedihan hidup puluhan tahun digerus oleh kekuasaan yang tiran yang
> haus darah. Anak-anak Palestina pun harus menanggung beban berat,
> pundak mereka ditumpangi masa depan yang tidak pasti.
>
> Setiap
> hari anak-anak Palestina disuguhi adegan kekerasan dan kematian. Bahkan
> mereka sendiri sewaktu-waktu terancam kematian dan cacat. Manusia
> adalah makhluk paling ganas, lebih ganas dibandingkan harimau paling
> ganas di dunia ini. Anehnya, meskipun manusia di dunia mempunyai
> tatanan, tapi seringkali tatanan itu tak berguna.
>
> Konflik
> Palestina-Israel memang sisa dari konflik politisasi dan
> konservatifisme agama yang dilatarbelakangi politik kekuasaan dan
> egosentrisme kebangsaan. Bangsa Bani Israel merasa paling tinggi,
> bangsa pilihan Tuhan. Perebutan tanah berdarah itu memang diramalkan
> hanya bisa berakhir di akhir zaman. Tapi manusia sebagai pelaku zaman
> tentu harus mengusahakan meminimalisasi konflik itu.
>
> Di akhir
> tahun itu pula posko korban Lapindo semakin sepi. Posko yang didirikan
> untuk memberikan edukasi dan menyatukan korban Lapindo kini mulai
> ditinggalkan para korban. Sejak peristiwa kesepakatan cicilan Rp. 30
> juta antara para wakil (elite) korban Lapindo dengan pihak Lapindo dan
> Presiden SBY, banyak kekecewaan di kalangan grassroot korban Lapindo.
>
> Kesepakatan
> di istana negara itu telah membawa perpecahan yang semakin meluas. Para
> wakil pengurus korban Lapindo dari berbagai kelompok yang biasanya
> rutin berdiskusi di posko, kini mereka mulai saling menjauh. Satu
> kelompok dengan kelompok lain saling curiga, saling membenci, meski ada
> pula yang sekadar saling acuh. Apakah keadaan seperti memang telah
> dikondisikan dan dirancang?
>
> Lapindo telah memaksakan berbagai
> macam cara penyelesaian yang membuat para korban terpecah-belah.
> Alasannya bermacam-macam. Kami para relawan kesulitan menyatukan
> mereka, meski tak harus memilih satu cara penyelesaian. Terserah mereka
> mau memilih cara mana, tapi sayangnya justru terbelah-belah.
>
>
> Anak-anak cucu kita dibebani oleh demokrasi yang telah rusak. Bagaimana
> tidak, seperti halnya kasus semburan lumpur Lapindo yang semestinnya
> menjadi tanggung jawab korporasi penambang, malah membebani rakyat dan
> negara. Bahkan hukum yang buruk seperti Perpres No. 14 Tahun 2007 masih
> bisa direduksi lagi (tidak dipatuhi) oleh Lapindo, anak Grup Bakrie.
>
> Presiden
> SBY pun dibuat tak berkutik. Masyarakat korban Lapindo yang mendukung
> Perpres No. 14 Tahun 2007 pun harus menanggung kekecewaan sebab
> Presiden SBY tidak mampu berbuat apa-apa ketika Lapindo tidak patuh
> pada Perpres itu. Sebuah korporasi yang makan dan menghisap kekayaan
> rakyat malah bisa melangkahi dan merusak tatanan negara. Ini negara
> demokrasi jenis apa? Demokrasi model apa? Demokrasi cara apa?
>
> Jangankan
> di soal transparansi pengelolaan migas, di soal kepatuhan dengan
> Perpres yang sudah melanggar hak rakyat itu saja tidak ada.
>
>
> Ketika ada berita tentang pembunuhan sekitar 300 warga Palestina
> membahana, reaksi keras muncul di mana-mana terutama dari komunitas
> intelektual yang berembel-embel Islam. Tapi apakah mereka kelelahan dan
> tak punya tenaga selama lebih dari dua tahun melihat 70 ribu korban
> Lapindo yang kehilangan tempat tinggal dan pekerjaan, menderita sakit,
> menjadi gelandangan, mati ngenes, sakit jiwa, terjerat dalam hidup yang
> tak pasti berkepanjangan?
>
> Apakah kemanusiaan itu hanya
> diperjuangkan dalam lingkaran ideologi, agama, golongan, suku, bangsa
> yang sama? Apakah karena lawan bangsa Palestina itu bangsa Yahudi lalu
> para hamba Allah berteriak-teriak tidak terima? Apa reaksi kita melihat
> ratusan ribu bangsa Aceh dibunuh secara kejam? Apa tanggapan kita
> ketika isteri-isteri para tentara Fretilin diperkosa oleh
> saudara-saudara kita sendiri?
>
> Apa reaksi kita ketika anak-anak
> kita dibohongi untuk mengonsumsi makanan produksi kapitalis yang
> diracuni dengan bahan pengawet, zat pewarna dan bahkan dicampuri
> melamin? Apa yang bisa kita berbuat ketika alam negeri ini dirusak para
> pemodal penambang dan perusak hutan sehingga menimbulkan bencana
> berkepanjangan dan memakan ribuan korban nyawa setiap tahun?
>
>
> Apakah dengan mengenakan jilbab dan peci serta baju takwa lalu
> beteriak-teriak Allahu Akbar – Allahu Akbar, mengecam zionis Yahudi,
> tapi diam membisu melihat kejahatan kemanusia di sekitar kita, lantas
> Tuhan akan memberikan surga indah di akhirat?
>
> Apakah kita diam
> saja jika yang melakukan kejahatan kemanusiaan itu golongan kita
> sendiri? Mengapa kita diam – tak ada tentangan dengan teriakan Allahu
> Akbar - ketika melihat pejabat yang mengeluarkan surat administrasi
> negara untuk membebaskan jerat pidana penjarah dan perusak hutan
> rakyat?
>
> Ataukah diamnya kita karena kita malah bisa turut
> menikmati uang para penjahat kemanusiaan itu, dan bahkan lantas
> disumbangkan kepada para korban kejahatan yang berdalih atas nama
> kemanusiaan?
>
> Jangan-jangan otak kita telah tertulari doktrin
> kemanusiaan yang bodoh? Bagaimana tidak bodoh, jika kita diam melihat
> kejahatan kemanusiaan karena kita turut menikmati uang penjahat
> kemanusiaan itu dan menyumbangkan kepada para korban dengan dalih
> kemanusiaan? Orang tidak sekolah pun tahu itu adalah kebodohan.
>
> Menurut
> Slank, hanya orang stupid dan tidak sekolah yang membuang comberan
> lumpur sembarangan. Lalu apakah kita tidak lebih bodoh jika mau
> menyumbangkan kekayaan para penjahat kemanusiaan kepada para korbannya?
> Itu bukan sumbangan, tapi pengembalian bagian kecil dari sekian banyak
> yang telah dirampok para perampok.
> ----
>
> Beberapa truk besar
> mendahului motorku. Beberapa kali pula coberan air hujan menampar wajah
> dan badanku dari arah ban truk-truk itu. Mulutku memaki, tapi hatiku
> menyadari bahwa aku sedang berada di jalan milik umum, bukan jalanku
> sendiri. Para sopir truk itu adalah para pekerja keras yang mengejar
> waktu, siapa tahu esok hari adalah jatuh tempo anaknya membayar uang
> sekolah, atau isterinya lagi sakit menunggu di rumah. Mereka yang dalam
> jalan kebaikan pekerjaannya adalah para syuhada, yaitu: orang yang
> bersungguh-sungguh berbuat di jalan Tuhan.
>
> Bukan syuhada, tapi
> hanya makhluk jadi-jadian alias pura-pura jika mulutnya bicara atau
> berteriak tentang kebenaran, tangannya menggoreskan tulisan keadilan
> dan kebenaran, tapi memakan makanan dan menerima uang dari para
> penjahat kemanusiaan. Jika advokat ia adalah advokat sesat. Jika ulama
> ia adalah ulama murtad. Jika guru, ia adalah guru penipu. Jika
> budayawan, ia adalah budayawan kentut monyet. Jika wartawan ia adalah
> wartawan rombeng. Jika pengusaha, ia adalah pedagang nasib orang.
>
> Intelektual
> seperti itu sebakat dengan para politisi yang biasa menjual otoritas
> atau jabatan, memboros-boroskan harta negara, membuat rakyat menjadi
> melarat.
>
> Jika seandainya Tuhan kelak di akhirat memberikan
> surga para hamba sahaya penjahat kemanusiaan seperti itu maka aku akan
> memprotesNya dan lebih baik aku tidak usah masuk surga bersama-sama
> dengan para cecunguk kemanusiaan seperti itu!
>
> Asalkan tidak
> berkumpul dengan para pengkhianat dan pembual kemanusiaan itu maka aku
> rela masuk neraka saja! Sekeras-keras sakitnya di neraka masih lebih
> menyakitkan melihat perilaku para penipu dan pembohong kemanusiaan itu
> yang mengenakan baju kemunafikan dengan bangganya, yang mereka berikan
> nama “profesi”.
>
> Matanya buta ditutupi tabir materi dunia yang
> tak akan dibawa ke liang kubur. Jiwanya mati dan hanya menjadi
> drakula-drakula kemanusiaan bergentayangan berkampanye soal humanisme
> dan keadilan. Jarak antara dirinya dengan Tuhannya dihalang-halangi
> oleh pengabdiannya kepada materi.
> ---
>
> Umurku semakin
> bertambah, tak setangguh waktu remaja. Ketika masih remaja aku malah
> senang diguyur hujan sewaktu memikul rencek kayu dari hutan, atau
> sedang mencangkul di ladang. Guyuran air hujan menambah badan mudaku
> menjadi segar. Tapi malam tahun baru kemarin itu aku sampai di rumah
> menggigil kedinginan. Isteriku sedikit memarahiku, gara-gara aku lupa
> tidak membawa jas hujan. “Kalau begitu kamu kan bisa sakit!” katanya
> agak galak. Aku suka melihat kemarahannya.
>
> Anak-anakku yang
> masih kecil-kecil menyambutku dengan tawa riang. “Ayah kok gak bawa jas
> hujan sih? Jadinya basah deh,” kata Cempluk, anak perempuanku yang
> masih berumur lima tahun itu. Aku hanya menjawab dengan senyum.
>
> Segera kubersihkan diriku. Mandi. Setelah itu, aku bermain dengan 
> anak-anakku. Rasa lelah dan gundah sejenak punah.
>
> Dalam hatiku bergumam, anak-anakku pun harus turut menanggung beban dosa 
> yang telah dilakukan para penjahat kemanusiaan.
>
> Anak
> pertamaku, Gam, terkena autis. Menurut dokter yang memeriksa hasil
> penelitian laboratorium atas darah, kotoran dan rambutnya, dalam tubuh
> Gam tercemar toksin yang diduga sejak masih di kandungan ibunya.
> Gara-garanya, isteriku senang makan kerang dan ikan laut dari pantai
> Kenjeran yang telah tercemar limbah industri. Kadar merkurinya tinggi.
>
> Sewaktu
> isteriku hamil mengandung Gam, aku memang tak bisa menungguinya cukup,
> karena menjadi relawan di Pulau Buton, mengurusi para pengungsi korban
> kerusuhan Maluku.
>
> Merawat Gam yang autis membutuhkan kesabaran
> yang ekstra. Kadang aku juga menjadi tidak sabar jika hiperaktifnya
> menyerang dan merugikan orang lain yang tidak bersalah.
>
> “Bagaimana korban lumpur Lapindo?” tanya isteriku.
>
>
> “Sudahlah, mari kita bicara yang lain! Untuk apa membahas korban
> Lapindo? Wong pemangku kewajibannya saja abai dan tidak peduli!”
> jawabku seolah serius.
>
> “Lha untuk apa ke posko relawan sampai malam?” tanya isteriku.
>
> “Hanya mau cari terompet di Porong apa sama dengan terompet Surabaya,” 
> jawabku bercanda.
>
> “Terus, kok nggak bawa terompet?” tanya isteriku.
>
> “Nggak jadi. Mending biar malaikat Isrofil saja yang meniupkan 
> terompetnya,” jawabku bergurau.
>
> “Mau kiamat?”
>
> “Jika
> seumpama Allah tidak iba melihat bayi-bayi yang menangis di malam hari,
> hewan-hewan melata dan orang-orang yang berurai air mata dalam sujudnya
> di tengah malam, maka Allah sudah murka melihat manusia-manusia yang
> telah banyak melakukan dosa.”
>
> Jika dalam waktu yang sering kita
> sudah melihat murka Tuhan dengan banjir bandang gara-gara hutan
> dihabiskan secara legal dan ilegal, semburan lumpur Lapindo gara-gara
> motif ekonomi (penghematan), tsunami Aceh, tanah longsor, dan
> lain-lain, apakah berarti Tuhan sudah tidak iba lagi melihat ketiga
> faktor penyebab iba itu?
>
> Apakah berarti kita sudah
> keterlaluan? Mungkin iya. Bahkan jangan salahkan siapa-siapa jika
> negara ini kelak akan bubar dan bercerai-berai jika ketidakadilan terus
> berkuasa.
>
> Surabaya, 1 Januari 2009.
> Matahari tergelincir ke
> arah Barat, terbitnya dari Timur. Utara dan Selatan poros bumi. Mata
> angin tak dapat bersatu kecuali di satu titik tak ada jarak. Ia adalah
> nol, netral, tawar, tak berasa, tak berwarna. Tapi dunia tak mungkin
> hanya itu.

Kirim email ke