Peanut Forget the Skin

Oleh Adhie M Massardi

PERKARA yang kita bicarakan ini sebenarnya kurang bermutu. Tapi dengan memakai 
judul bahasa Inggris, mudah-mudahan soal “kacang lupa kulitnya”, peribahasa 
yang menggambarkan tabiat klasik politisi Indonesia ini, jadi tampak 
seolah-olah ilmiah. 

Tapi memang, saat ini adalah momentum paling pas kita bicara peanut forget the 
skin itu. Karena pada 9 April ini, dengan persiapan di segala lini yang 
merisaukan, KPU tetap ngotot melaksanakan pemilu. Padahal mudah dibayangkan, 
apa akibatnya setelah pemilu dengan kepanitiaan dan persiapan yang amburadul 
seperti itu. 

Memang ada yang coba mengantisipasi berbagai kemungkinan itu. Antara lain 
memasang spanduk bertuliskan “Bersatu dan Damai” di berbagai sudut di sejumlah 
kota. Yang bikinnya institusi militer. Pihak Polri juga memasang spanduk 
sejenis. Tapi semua itu justru mengingatkan kita pada peristiwa menjelang 
terjadinya amuk massa beberapa waktu lalu. 

Pemilu sendiri, dalam terminologi demokrasi kita, merupakan proses politik 
pemisahan antara “kacang” dengan “kulitnya”. Antara janji dengan bukti, antara 
partai dan konstituen, antara caleg dan pemilihnya. Kalau pemilu 
capres-cawapres, ya proses politik memisahkan presiden dengan wakil presiden, 
antara presiden dan pendukungnya, antara janji presiden dan fakta setelah jadi 
presiden. 

Makanya, sudah jadi tradisi, setelah setahun pemilu digelar, baik itu pemilu 
legislatif, presiden, gubernur, bupati, wali kota, yang beredar luas di 
masyarakat, yang dibicarakan dari mulut ke mulut, adalah peribahasa ini: 
“Seperti kacang lupa kulitnya”. 

Cuma yang tak pernah dijelaskan para analis politik bahasa adalah, siapa 
“kacang” dan siapa “kulitnya”. Akibatnya, yang tersirat dari peribahasa ini 
justru rakyat, para pendukung, dan pemenuhan janji-janji kampanye itu yang 
identik dengan kulitnya. Sementara anggota legislatif, presiden dan wakil 
presiden jadi terasa sebagai kacangnya, bagian paling penting dari kacang 
tanah, yang kalau kita mengonsumsinya 100 gram per hari, bisa menghasilkan 135 
kkal atau setara dengan 20 % kebutuhan protein kita.

Karena itu, dalam konteks politik yang seperti ini, kulit kacang jadi layak 
dilupakan, dibuang, kecuali kulit kacang hijau yang bisa dimanfaatkan untuk, 
misalnya, bahan pencuci. Jadi membuang kulit kacang ke tempat sampah, dan 
melupakannya seumur hidup, menjadi sah. Tidak masalah!

Kacang, yang oleh kawan saya lulusan IPB disebut Arachis hypogaea L, tapi 
seratus persen tak dipahami para petani kita, memang jenis tanaman yang agak 
dekat dengan dunia politik. Karena itu, petani kacang, atau paling tidak 
pemakan kacang, biasanya paham politik. Bahkan pada akhir tahun 1970-an (1977 – 
1981), politik dunia ditentukan oleh petani kacang. Namanya Jimmy Earl Carter 
Jr alias Jimmy Carter, Presiden AS ke-39. 

Makanya, mumpung proses pemilu masih berjalan, dan mudah-mudahan tidak harus 
diwarnai keguncangan yang memaksa, para ahli bahasa politik segera memikirkan 
definisi mana “kacang: dan mana “kulit” dalam peribahasa peanut forget the skin 
ini. 

Kalau kreatif dan berpikir jernih, ahli politik bahasa bisa saja menyebut 
“janji” adalah “kacang”, dan para anggota legislatif, bupati, walikota, 
gubernur, presiden, wakil presiden adalah kulitnya. Jadi sepanjang tetap 
menyatu dengan janji, mereka akan punya arti. Sebagai kacang tanah yang 
berharga. Tapi bila meninggalkan janji, ya jadi seperti kulit kacang. Bisa 
dibuang ke tempat sampah, tanpa harus merasa bersalah.

Lalu rakyat? Rakyat tetap dikategorikan petani kacang, yang suatu saat bisa 
saja muncul sebagai pemimpin seperti Jimmy Carter. Dan yang penting, tetap yang 
mentukan kapan presiden atau kulit-kulit kacang yang lain itu, dibuang ke 
tempat sampah! • 

*) Tabloid Politik - Indonesia Monitor - edisi 41 - 08 s/d 14 April 2009




      

[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke