Saya sangat setuju dengan pendapat Anda Bung Tommy. Pemimpin kita malah membuat persoalan baru dengan mempertajam persaingan Capres/cawapres yang sebenarnya sudah hampir rampung. ss
--- On Mon, 7/20/09, Suryopratomo <suryo_prat...@yahoo.com> wrote: From: Suryopratomo <suryo_prat...@yahoo.com> Subject: [Forum-Pembaca-KOMPAS] Menanti Sang Pahlawan To: Forum-Pembaca-Kompas@yahoogroups.com Date: Monday, July 20, 2009, 7:03 AM Menanti Sang Pahlawan Sering kita diajarkan untuk tidak terus larut dalam kesedihan ketika musibah datang. Sebab di balik musibah selalu hikmah yang bermanfaat bagi pematangan kita menapaki kehidupan ke depan. Demikian pula sebaiknya kita bersikap menghadapi serangan teror hari Jumat lalu. Serangan teror di Hotel Ritz Carlton dan JW Marriot tidak boleh melemahkan kita sebagai bangsa. Justru kita harus tegak untuk menghadapinya dan menjadikan musibah itu sebagai momentum untuk makin mengukuhkan kita sebagai sebuah bangsa. Begitulah yang juga dilakukan oleh bangsa-bangsa besar dunia. Mereka selalu memetik hikmah dari setiap peristiwa yang mereka hadapi untuk memperkuat rasa kebangsaan, nasionalisme bangsa mereka, sehingga kemudian mereka tumbuh sebagai bangsa besar yang dihormati. Lepas dari persoalan ekses yang kemudian terjadi, kita merindukan situasi seperti yang dialami bangsa Amerika pascaserangan teror 11 September 2001. Presiden George W. Bush ketika itu mampu tampil untuk mempersatukan bangsa Amerika dan menyuntikkan rasa kebanggaan yang tidak boleh goyah hanya karena serangan teror tersebut. Bagaimana Bush melakukan itu? Dengan menemukan orang-orang yang gagah berani menghadapi serangan teror dan menempatkan mereka itu sebagai pahlawan baru Amerika. Pahlawan itu bukan hanya tentara yang berperang di medan tempur. Setiap warga merupakan pahlawan ketika mereka memberikan sumbangsih tanpa pamrih kepada negara. Kita masih ingat pahlawan-pahlawan baru bangsa Amerika ketika itu adalah para petugas pemadam kebakaran. Mereka pantas disebut pahlawan karena di tengah kegentingan dan kekalutan ketika itu, mereka terus berjuang untuk menyelamatkan siapa pun yang masih bisa diselamatkan. Mereka tidak lagi memedulikan keselamatan diri mereka dan terus mencoba menaiki Gedung Menara Kembar yang terbakar untuk mematikan api serta menyelamatkan ribuan orang yang terjebak di dalam gedung. Ketika Gedung Menara Kembar itu ternyata runtuh, banyak petugas pemadam kebakaran yang akhirnya menjadi korban karena tidak sempat menyelamatkan diri lagi. Kita tentu masih ingat bagaimana Presiden Bush kemudian tampil di lokasi tempat kejadian. Dengan menggunakan megaphone dan berdiri di puing-puing reruntuhan ia memuji keberanian para petugas pemadam kebakaran. Presiden Bush atas nama rakyat Amerika memberi penghormatan yang tinggi kepada mereka. Momentum itulah yang membuat bangsa Amerika bangkit berdiri menghadapi tantangan maha berat itu. Rasa nasionalisme sebagai bangsa kembali dikumandangkan. Tidak ada satu pun kegiatan di Amerika yang kemudian tidak dimulai dengan menyanyikan lagu kebangsaan, The Star Spangled Banner. Itu terus berlangsung hingga saat ini. Bagaimana seharusnya kita? Momentum serangan teror terakhir yang terjadi di Jakarta seharusnya bisa dijadikan momentum untuk menemukan pahlawan-pahlawan baru bangsa. Sudah terlalu lama bangsa ini kehilangan semangat kepahlawanan. Kalau coba kita lihat kembali saat pertama bom meledak di Ritz Carlton dan Marriot, banyak orang yang pantas diberikan apresiasi. Mereka yang dengan sigap mencoba menolong orang yang terluka dan kemudian secara berani menghentikan semua mobil yang lewat untuk membawa para korban ke rumah sakit. Di tengah begitu banyaknya orang yang merintih kesakitan dan terbatasnya jumlah ambulans yang tersedia untuk mengangkut para korban, orang-orang yang tampil secara sukarela untuk menyelamatkan begitu banyak nyawa, mereka pantas kita sebut pahlawan. Seharusnya para pemimpin tampil untuk memberi apresiasi tinggi kepada mereka. Para pemimpin tampil untuk membesarkan hati seluruh rakyat dan mendorong lebih banyak lagi warga untuk memiliki jiwa kepahlawanan seperti itu. Sayang kita menyia-nyiakan momentum itu. Yang justru muncul adalah keinginan untuk menonjolkan kepentingan pribadi atau kelompok. Bukan mendahulukan kerugian yang dialami rakyat banyak dan para korban, tetapi mempersoalkan kerugian pribadi karena pencitraan diri yang tercoreng. Sementara bangsa lain menjadikan setiap tragedi sebagai kesempatan untuk menyatukan kekuatan bangsa, kita justru menjadikan tragedi itu untuk tercerai berai. Saling tuding, saling menyalahkan di antara para elite lebih menonjol daripada ajakan untuk menyatukan kekuatan--apa pun latar belakang politiknya-- menghadapi musuh bangsa dan negara. Benarlah dikatakan, kepemimpinan seseorang teruji bukan pada keadaan normal, tetapi justru pada saat krisis. Kematangan, kenegarawanan bisa terlihat di saat krisis, karena disanalah keputusan penting harus diambil. Sebab pilihan yang dihadapi pada saat krisis bukanlah antara baik dan buruk, good or bad, tetapi antara yang buruk dan kurang buruk, evil or less evil. Perjalanan kita sebagai bangsa memang baru seumur jagung. Kita tidak boleh meratapi kenyataan yang kita hadapi. Sebaliknya kita harus tetap bersikap optimistis. Semoga semua ini menjadi pelajaran berharga dalam menapaki kehidupan berbangsa yang masih panjang. Powered by Telkomsel BlackBerry®