http://regional.kompas.com/read/xml/2009/07/28/0918136/Aduh..Mahasiswi.Ramai-ramai.Jadi.Istri.Simpanan


BOJONEGORO, KOMPAS.com — Sejumlah mahasiswi di Bojonegoro dan Tuban ditengarai 
menjadi istri simpanan tanpa adanya ikatan perkawinan yang sah. Sebagian besar 
praktik itu dilakukan ketika mereka masih duduk di bangku kuliah dan berakhir 
setelah yang bersangkutan meraih sarjana.

Alasan para mahasiswi itu bermacam-macam. Namun, alasan yang paling dominan 
adalah untuk membiayai kuliah. Dengan menjadi istri simpanan atau semacam istri 
kontrak, mereka mendapat biaya hidup secara tetap setiap bulan dari sang suami.

"Secara agama kami tidak melanggar. Kami kawin siri," tutur seorang mahasiswi 
ketika ditemui Surya beberapa saat setelah keluar dari sebuah kampus perguruan 
tinggi di Bojonegoro, pekan lalu.

Wanita yang menolak disebut jati dirinya itu mengakui, dia dengan suaminya 
nikah siri di depan oknum petugas Departemen Agama setempat. Ia terus terang 
tidak mengharapkan perkawinan secara sah sesuai undang-undang perkawinan karena 
ia tahu suaminya sudah berkeluarga.

Di tempat terpisah, seorang lelaki berusia 45 tahun bersedia bercerita panjang 
lebar tentang hubungan yang dijalaninya dengan seorang mahasiswi yang sedang 
kuliah di Bojonegoro. "Dia istri muda saya. Namun, hanya sebatas nikah siri," 
ujar pengusaha pertambangan ini sambil mewanti-wanti agar namanya tak 
dikorankan karena khawatir istri pertamanya yang sah tahu tentang hal ini.

Menurut bapak tiga anak ini, pertama kali ia bertemu dengan si mahasiswi 
tersebut sekitar satu tahun lalu. Ketika itu, ia dikenalkan salah seorang 
temannya dari Kecamatan Rengel, Kabupaten Tuban, yang belakangan diketahui juga 
punya istri simpanan yang masih kuliah.

"Saat pertama dikenalkan, saya sama sekali tidak mengira kalau wanita yang 
dibawa teman saya itu adalah istri mudanya. Saya pikir itu anak buahnya," 
kisahnya.

Berawal dari pertemuan tersebut, ia dapat cerita banyak dari sang teman 
tersebut, termasuk wanita yang baru dikenalkan kepadanya juga mengaku siap 
untuk ikut menjalani hubungan dengannya seperti yang sedang dilakoni oleh 
temannya itu. "Karena syaratnya tidak terlalu berat, saya akhirnya bersedia," 
lanjutnya.

Ia menceritakan, sejak awal mereka sudah berkomitmen bahwa harus menikah siri 
terlebih dulu sebelum berhubungan layaknya suami-istri. Hal itu lantaran si 
wanita tidak mau hubungan yang mereka lakukan menjadi sebuah perzinaan. Atau 
gampanganya, mereka ingin hubungan suami-istri itu tidak melanggar agama.

Selanjutnya, si lelaki berkewajiban memberi nafkah berupa biaya hidup 
sehari-hari selama sang wanita menjalani masa kuliah dan membayar semua biaya 
kuliah yang dibutuhkan si wanita. Adapun pertemuan mereka disepakati dua sampai 
tiga kali dalam seminggu. Itu pun dilakukan di hotel yang biayanya juga 
ditanggung sang suami.

Sejak awal berhubungan, mereka sudah berkomitmen tidak ada ikatan yang abadi 
dalam hubungan ini. Si wanita rela meski lelakinya sudah beristri dengan syarat 
setelah masa kuliahnya lulus, hubungan terputus dengan sendirinya. Atau jika 
memang sudah tidak ada kecocokan, mereka bisa cerai sewaktu-waktu.

"Dia kan ingin meniti karier untuk masa depannya. Jadi, saya juga bersedia 
menjalankan perjanjian itu. Yang penting, istri dan keluarga saya tidak tahu 
tentang semua ini," ungkap lelaki asli kelahiran Tuban ini.

Sejak saat itu, mereka berdua sudah menjalani hari-hari sebagaimana yang 
disepakati. Setelah melaksanakan akad nikah secara agama yang disaksikan salah 
satu oknum dari Depag Bojonegoro di dalam sebuah hotel, keduanya menjalani 
hidup sebagai suami istri terselubung.

Dalam menjalani hubungan pun mereka sepakat tidak mengganggu jam kuliah atau 
jam kerja si lelaki. Selain berhubungan rutin di hotel, saat masa liburan juga 
biasanya diselingi dengan rekreasi ke luar kota.

Banyak istri

Seorang lelaki lainnya, sebut saja Fadli, berusia sekitar 40 tahun, mengaku 
saat ini memiliki dua istri simpanan yang masih kuliah di Bojonegoro. Anehnya, 
keduanya tidak saling mengenal. "Saat ini saya punya dua istri (mahasiswi 
simpanan). Dua-duanya masih kuliah di perguruan tinggi swasta," ujar Fadli 
sembari menenggak secangkir kopi.

Dua mahasiswi itu, akunya, yang satu dinikahinya secara siri sekitar satu tahun 
lalu dan satunya lagi baru beberapa bulan belakangan. Namun, keduanya tidak 
tahu satu dengan lainnya. "Mereka tahu kalau saya sudah punya istri dan anak. 
Namun, memang seperti itu, para mahasiswi itu mau saja yang penting dinikahi 
secara siri dan diberi biaya hibup setiap bulan," ujarnya.

Dikisahkannya, saat itu ia menikahi sang mahasiswi di sebuah hotel dengan 
mengundang seorang oknum petugas dari Depag. Dalam pernikahan tanpa selembar 
pun surat sebagai legalitas tersebut, ia memberikan mahar Rp 300.000 sesuai 
permintaan sang istri. Adapun petugas tadi juga diberi sejumlah uang sesuai 
kesepakatan.

"Setiap bulan saya memberi jatah uang Rp 750.000 untuk biaya kos dan kebutuhan 
sehari-hari kepada istri saya. Selain itu, saat dia butuh bayar uang kuliah 
saya harus menyiapkannya," ungkapnya.

Fadli mengaku sudah lima tahun lebih memiliki istri simpanan mahasiswi di 
Bojonegoro dan kalau dihitung, jumlahnya sudah mencapai 15 orang. "Dua istri 
simpanan saya saat ini adalah yang ke-14 dan ke-15. Itu terlepas dengan istri 
saya yang sah di rumah. Namun, jumlah itu tidak secara bersamaan. Ada yang 
putus karena memang sudah lulus kuliah dan ada yang minta cerai karena memang 
sudah merasa tidak cocok lagi," ujarnya.

Siapa saja mahasiswi yang rela dijadikan istri simpanan tersebut? Fadli dan 
beberapa temannya sepakat tidak menyebutkan identitas mereka. Hanya, dikatakan 
bahwa para mahasiswi yang rela menjalani hubungan semacam ini sebagian besar 
adalah mereka yang berasal dari keluarga pas-pasan. Karena punya cita-cita 
tinggi dan harus lulus kuliah, mereka memilih jalan ini dengan pertimbangan, 
tidak melakukan perzinaan, tapi tetap bisa menyelesaikan kuliahnya.

Praktik kawin kontrak juga banyak terjadi di Tuban. Bahkan, selama satu tahun 
terakhir ada tiga mahasiswi yang berani secara terang-terangan mengakui dan 
menceritakan semua kisahnya kepada Koalisi Perempuan Ronggolawe (KPR), sebuah 
lembaga swadaya masyarakat perempuan yang bermarkas di Kota Tuban.

Menurut Direktur KPR Nunuk Fauziah, pihaknya sudah banyak mendengar kabar 
tentang keberadaan para mahasiswi yang rela menjadi istri simpanan untuk 
membiayai hidup dan kuliahnya. "Kalau secara resmi baru ada tiga mahasiswi yang 
mau terbuka soal itu kepada kami. Namun, dari penelusuran dan pengamatan kami 
di sejumlah kampus, banyak sekali mahasiswi yang terjebak pada praktik seperti 
itu," kata Nunuk. "Bahkan, banyak juga yang hanya menjadi wanita simpanan, 
tanpa ikatan nikah siri," lanjutnya.

Para mahasiswi tersebut, kata dia, adalah mereka yang kehidupannya pas-pasan. 
Selain kebutuhan yang terus menekan, mereka ini juga kebanyakan terkena dampak 
pergaulan lingkungan sekitar. "Yang sempat curhat kepada kami, dia mengaku 
menyesal karena baru saja diputuskan atau ditinggalkan oleh pasangannya. Dia 
meminta pertimbangan bagaimana langkah yang harus ditempuh menghadapi kondisi 
semacam ini," ungkapnya.

Diceritakan pula, ada beberapa dari para mahasiswi itu yang sampai hamil 
kemudian ditinggalkan begitu saja oleh lelakinya. Sebagian besar yang telah 
ditinggalkan oleh pasangannya kemudian nekat mencari uang dengan cara tidak 
benar, seperti menjadi wanita panggilan.

Karena itu, kata Nunuk, pihaknya selalu memberi masukan kepada para mahasiswi 
yang terjebak dalam dunia ini untuk segera mengubah pola hidup dan meminta 
pertanggungjawaban secara resmi kepada lelakinya. Alasannya, kalau hanya dengan 
hubungan nikah siri mereka tidak akan punya hak apa-apa, termasuk ketika 
ditinggalkan, mereka tidak bisa menuntut sama sekali. st30

Kirim email ke