Oleh Budiarto Shambazy

http://koran.kompas.com/read/xml/2009/08/01/03034195/rahasia.negara.yang.sia-sia



Setiap pemerintah memiliki rahasia negara. Namun, yang jauh lebih penting lagi 
adalah bagaimana para pejabat menjaga rahasia negara. Ada dua peristiwa menarik 
yang patut diketengahkan sehubungan dengan perlakuan terhadap rahasia negara.

Peristiwa pertama terjadi tatkala Presiden Susilo Bambang Yudhoyono 
mengungkapkan foto aktivitas teroris yang berniat membunuh dia. Jangan salah, 
Kepala Negara tentu saja berwenang untuk mengungkapkan bahaya yang mengancam 
keselamatannya.

Akan tetapi, tak urung muncul pertanyaan tentang data intelijen tersebut: 
apakah terjadi baru-baru ini atau merupakan stok foto lama? Lebih dari itu, 
masyarakat bertanya, mengapa bukti sahih tentang aktivitas teroris itu tidak 
segera ditindaklanjuti dengan penangkapan atas mereka?

Peristiwa kedua terjadi ketika media massa menyiarkan isi rekaman kamera CCTV 
beberapa detik sebelum bom meledak di Mega Kuningan. Beberapa hari lalu Polri 
mengeluhkan data yang penting untuk penyidikan itu ternyata telah dibocorkan 
kepada media massa entah oleh siapa.

Pada akhirnya pengungkapan aktivitas teroris oleh Kepala Negara dan penyiaran 
rekaman kamera CCTV hanya mengakibatkan pro dan kontra yang tidak produktif dan 
menjadi polemik setiap hari di media massa. Nyaris tidak ada hikmah yang bisa 
dipetik atau, dalam bahasa Inggris, much ado about nothing.

Oleh sebab itulah saya, sama halnya dengan rekan-rekan wartawan lainnya, merasa 
pers kerap menjadi pihak yang selalu dipersalahkan. Presiden menuding pidatonya 
saat mengungkapkan aktivitas teroris itu telah dipelintir, Polri menyesalkan 
penayangan rekaman kamera CCTV oleh media massa, bahkan Dewan Pers pun 
menyayangkan wartawan terlalu berlebihan dalam menyiarkan berita-berita 
pengeboman.

Rangkaian dua peristiwa dan berbagai akibat yang merugikan itu menunjukkan 
sebuah hal penting: ternyata kita semua kadang kala kurang mampu menjaga 
rahasia negara. Dengan kata lain, jangan-jangan kita malahan berperilaku 
sebagai pengumbar rahasia. Jika sudah begini, lalu untuk apa DPR ngotot mau 
mengesahkan Rancangan Undang-Undang (RUU) Rahasia Negara?

Selama 64 tahun usia kemerdekaan, pemerintah-pemerintah di negeri ini sudah 
menerapkan aturan-aturan baku mengenai penanganan rahasia negara. Prinsip utama 
bahwa pejabat dan instansi menjaga rahasia negara sudah dilakukan sebagaimana 
mestinya. Jadi, untuk apa menambah-nambah aturan baru RUU Rahasia Negara yang 
belum tentu ada manfaatnya?

Sekitar sepuluh tahun lalu inisiatif pembuatan RUU Rahasia Negara datang dari 
Lembaga Sandi Negara yang bermaksud baik, yakni ingin serius melindungi rahasia 
negara. Namun, dalam perjalanannya RUU Rahasia Negara ditelikung oleh invisible 
hands yang ingin mengembalikan cengkeraman kekuasaan yang represif. Tidak heran 
jika definisi, cakupan, dan detail pasal per pasal RUU Rahasia Negara versi 
saat ini tak lebih dari pembungkaman demokrasi atas nama rahasia negara.

Jika Anda membacanya, RUU Rahasia Negara sekadar menjadi alat persembunyian 
bagi para pejabat untuk melindungi dirinya dari pelanggaran HAM, dugaan 
korupsi, dan fungsi kontrol media massa. Dengan alasan ”keamanan nasional”, 
dokumen publik yang mestinya terbuka dengan sesuka hati dikategorikan sebagai 
”rahasia negara”.

Bagi pers yang masuk kategori korporasi, hal yang paling memprihatinkan adalah 
ancaman ”pemberedelan terselubung” jika salah seorang wartawannya ketahuan 
membocorkan rahasia negara. Jangankan membocorkan dokumen publik (misalnya 
bukti korupsi pejabat) yang ”rahasia”, aktivitas wartawan di sebuah lokasi 
tertentu pun dapat saja ditafsirkan sebagai pembocoran rahasia.

Masih ingat nasib harian Sinar Harapan yang ”membocorkan” RAPBN 1973/1974 
yang jelas bukan rahasia negara sebelum Presiden Soeharto membacakannya di 
depan DPR? Atau pemberedelan sejumlah media cetak karena memberitakan akibat 
kerusuhan Malari 15 Januari, peristiwa politik berskala nasional yang bukan 
rahasia negara karena diketahui ratusan juta penduduk negeri ini?

Okelah jika pemerintah menilai ”keamanan nasional” merupakan topik sensitif 
yang harus dirahasiakan, misalnya rencana serangan militer terhadap negara 
lain, operasi penangkapan teroris, latihan gabungan, atau data kegiatan 
dinas-dinas intelijen asing. Namun, tak sedikit negara yang justru mengumumkan 
secara terbuka strategi, doktrin, postur, atau kertas putih pertahanan mereka 
untuk menimbulkan dampak penggentaran (deterrence).

Misalnya Amerika Serikat (AS) yang dengan terbuka mengumumkan teknologi baru 
senjata nuklir walaupun tetap merahasiakan rute dan keberadaan kapal-kapal 
selam nuklir mereka. Atau Singapura yang kepada kalangan terbatas, termasuk 
pers internasional, dengan bangga mengungkapkan kesiagaan pertahanan militer 
dan sipil mereka jika musuh (baca: Indonesia atau Malaysia) menyerang negeri 
pulau itu meskipun tak secara rinci membeberkan bagaimana cara mereka 
mempertahankan diri.

Singapura menganggap isu keamanan nasional yang super-secret pada jumlah 
tabungan nasional mereka sebagai pertahanan terakhir keselamatan mereka sebagai 
bangsa dan negara. Kongres AS dalam era Presiden Barack Obama saat ini mulai 
mempereteli Patriot Act buatan Presiden George W Bush yang represif, 
manipulatif, tidak demokratis, dan jadi bahan olok-olok dunia.

Di negeri sebesar AS, prinsip kerahasiaan negara diterapkan secara demokratis 
karena semua rahasia itu secara konstitusional harus dibuka (declassify) kepada 
publik secara berkala. Tujuannya tak lain agar bangsa AS mempelajari sejarah 
dari dokumen-dokumen rahasia tersebut.

Sebaliknya, kita tak pernah tahu apa yang sesungguhnya terjadi dalam berbagai 
peristiwa politik yang penting pada masa silam. Akhirnya, sejarah sekadar 
menjadi rumor, spekulasi, bahkan khayalan semata. Rahasia negara sampai akhir 
masa tetap menjadi rahasia yang sia-sia saja.

Kirim email ke