Oknum polisi dan polisi sebagai lembaga negara adalah dua hal yang berbeda.
Kepolisian sebagai institusi tidak punya hati atau nafsu berkuasa. Pejabat 
polisi mungkin mematuhi perintah pemimpin politik tetapi sangat kecil 
probabilitasnya, tetapi mutlak seperti di era politik orba yang lalu.
 
Sejak berakhirnya pemerintahan Soeharto maka semua pemimpin 
negara/pemerintahan telah dihasilkan oleh proses pemilu demokratis.
 
Jika terdapat detect pada pemilu sekarang, maka kesalahan itu adalah pada UU 
pilpres dan tentu proses rekrut KPU yang juga dilakukan oleh DPR.
 
Jadi sekarang ini kecil peluangnya untuk melanggar aturan pemilu pilpres yang 
berlaku, sebab  akan menyebabkan kejatuhan pemerintah. Buktinya siapapun bebas 
mengatakan apapun di milis ini termasuk membuat opini bahwa pemboman adalah 
rekayasa.
 
 
Rakyat kecil dan menengah kita mendambakan ketenangan. Mereka semakin kritis 
terhadap perpolitikan. Mereka tidak berharap adanya lagi pilpres kedua di bulan 
Oktober, karena tidak ada kefiguran yang signifikan beda. Bahkan, jika 
dilakukan pilpres kedua, jangan-jangan rakyat lebih tegas lagi menjatuhkan 
pilihannya sehingga pasangan SBY-Boediono meraih 75 persen suara. Hal demikian 
ini lebih jelek dari posisi peraih mayoritas suara tidak sampai 67 %
 
 
   


--- On Sun, 8/9/09, wahyu handoyo <wahyu.hand...@gmail.com> wrote:


From: wahyu handoyo <wahyu.hand...@gmail.com>
Subject: Re: [Forum-Pembaca-KOMPAS] Pengamat: "Feeling" Saya Memang Noordin M 
Top
To: Forum-Pembaca-Kompas@yahoogroups.com
Date: Sunday, August 9, 2009, 5:31 PM


 



Jadi menurut anda, berapa jarak yg diperolehkan untuk menonton? 2 meter?Lalu,
apakah penonton blh masuk ke TKP setelah kejadian dberi police line?

menurut anda, apa harusnya sebelum pemilu?
atau nanti saja, kapan2, kalau jakarta sudah dibom lagi?

Kirim email ke