Karena sekolah sekolah negeri di Indonesia semakin mengutamakan bagaimana 
meningkatkan kualitas akhlak secara monolitik, maka perdebatan yang muncul 
adalah akhlak macam mana yang benar dan yang tidak benar. Karena bicara soal 
akhlak itu adalah bicara norma, maka bila  berdebat soal akhlak akan lebih 
banyak membangun "rasa" dan "kepatuhan atas norma" daripada mempertajam daya 
analisis otak anak-anak didik.  Itulah yang terlihat sekarang ketika anak-anak 
sekolah negeri lebih suka bergerombol, sulit menerima perspektif dan 
pihak lain, dan karenanya cenderung berafiliasi dengan kalangannya sendiri. 
Lihat bagaimana sekolah-sekolah negeri tidak punya semangat dan kemauan untuk 
membangun laboratorium dan perpustakaan.
 
Mereka tidak akan lagi menjadi pengikut aliran keras disiplin-disiplin berbasis 
fakta,  seperti fanatis teknologi digital, fanatis penganut astronomik, fanatis 
sastra dan hegemoni timur, fanatis matematis, fanatis filsuf ekonom Adam Smith 
atau bahkan analis sekaligus fanatis secara sains untuk  Marxis.
 
Yang kini sudah diperoleh bangsa ini adalah munculnya generasi muda yang 
fanatis-fanatis moral. Generasi macam ini sangat  mudah diperjual-belikan di 
gelora imperialisme global. Mereka yang demikian ini akan menjadi pengikut dan 
bukan leader. Generasi macam ini, ibarat membuat gedung,  akan menjadi bahan 
hasil cetakan, batako atau batubata yang sudah siap pasang untuk 
mengikuti leader yang ingin membangun imperium Barat,  atau 
sebaliknya imperium-imperium anti barat yang berbasis agama.
 
Padahal, dalam konteks peradaban modern, di mana kompetisi di depan mata, baik 
untuk berkompetisi membuat makanan maupun membuat senjata untuk 
berlindung, yang diperlukan bangsa ini adalah generasi muda yang mampu bersaing 
sekaligus bekolaborasi. Kapasitas demikian ini akan muncul jika yang 
dikembangkan adalah consern terhadap ilmu dan teknologi. Jika demikian ini yang 
dibangun, maka mereka akan bisa bersaing dan berkolaborasi tidak saja 
dengan manusia yang sama rujukan akhlaknya dengan dia, tetapi juga bisa 
berkolaborasi dengan ikan hiu sekalipun!
 
 
  

--- On Tue, 8/11/09, manneke budiman <hepaest...@yahoo.ca> wrote:


From: manneke budiman <hepaest...@yahoo.ca>
Subject: [Forum-Pembaca-KOMPAS] Re:Kurikulum Siusdiknas
To: Forum-Pembaca-Kompas@yahoogroups.com
Date: Tuesday, August 11, 2009, 4:31 AM


 



INi bukan soal pengagung-agungan ilmu fakta. Tapi sekolahan itu memang 
tempatnya ngajarin ilmu fakta. kalo bukan ilmu fakta yang diajarin, nanti opini 
pribadi guru yang jadi patokan. Iya kalo gurunya bener?
 
Saya sih kaga sudi mempercayakan ajaran moral dan agama anak saya kepada guru 
sekolahnya. Guru itu diangkat jadi guru karena ilmunya di bidang keguruan dan 
spesifikasinya (guru IPA, guru matematika, dll), bukan karena akhlak, amal atau 
ibadahnya, Jadi, tak ada jaminan guru punya akhlak dan moral superior 
dibandingkan orang lain.
 
Yang paling bisa saya percaya memberikan pendidikan agama yang baik bagi anak 
saya ya diri saya sendiri sebagai orang tua. Itu niscaya. Baik atau buruk 
hasilnya, ada di tangan saya bukan orang lain.
 
Ini saya bicara soal sekolah umum lho ya, bukan sekolah agama. kalo sekolah 
agama (pesantren, seminari), ya lain soal.
 
manneke

Kirim email ke